Bertindak Bijak pada Perilaku Seks Menyimpang, Jangan Benci Pelakunya!

Bijak pada Perilaku Seks
Bijak pada Perilaku Seks

Homoseksual atau gay yang sempat menjadi tren dibanjiri reaksi negatif dari sebagian kalangan Muslim. Mungkin homosekstual ini bisa dibenarkan sepanjang ia dimaknai sebagai kecenderungan seksual saja (sex orientation). Karena memang orientasi seks bersifat kodrati, alami, peran perasaan kasih sayang yang tidak bisa dipaksa atau direka. Tetapi orientasi seks yang demikian akan berubah menjadi hal terlarang bila diwujudkan dalam perilaku seks menyimpang. Praktik inilah yang disebut sexual behavior (perilaku seksual) yang menyalahi fitrah manusia. Kendati pun demikian, kita tetap harus bijak pada perilaku seks menyimpang.

Kemudian masalah ini, kita tidak boleh semena-mena mencela pelakunya. “Dimensi Insaniyyah-nya harus kita hormati!”, jelas Abdul Mustaqim, guru besar ilmu al-Quran dan tafsir UIN Sunan Kalijaga dalam Serial Diskusi Tafsir tafsiralquran.id seri 3 (24/10).

Dalam Al-Quran, perilaku seks menyimpang identik dengan kebiasaan kaum Nabi Luth, yang antara lain digambarkan dalam Surat Al-A’raf ayat 80-81, As-Syu’ara ayat 165, dan Al-Ankabut ayat 29. Seluruh ayat itu menunjukkan perilaku seks menyimpang, karena dilakukan pada sesama jenis.


Baca juga: Aplikasi Pendekatan Tafsir Maqashidi Atas Surat al-Mujadilah: Perlawanan Perempuan Terhadap Diskriminasi


Untuk menjawab alasan munculnya larangan perilaku seks sesama jenis, Abdul Mustaqim menjelaskan dengan detil beserta bagaimana cara mengambil sikap bijak tatkala dihadapkan dengan pelaku seks menyimpang ini.

Manusia Diciptakan Berpasang-Pasangan

Berdasarkan teori maqashid, perilaku seks meyimpang ini tidak sejalan misalnya dari analisis linguistik. Hal ini dapat dicermati dari firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 1:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Redaksi rijalan dan nisa’ menunjukkan bahwa Allah mengembangbiakkan manusia ke dalam jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dan selanjutnya, diksi azwaj menunjukkan makna pasangan. Maka dapat kita pahami, Allah mencipta laki-laki dan perempuan untuk menjadi pasangan.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Zina dan Alasan Perempuan Disebutkan Lebih DuluJ


Pasangan Itu Bersifat Biner

Secara semantik, kata azwaj selalu menunjukkan binary opposition. Binary oposisition dalam kacamata semantik linguistik -sebagaimana Ferdinand de Saussure-, bermakna sistem yang membagi sesuatu menjadi dua hal yang saling berhubungan. Seperti terang dan gelap, pagi dan malam, dan lain sebagainya.

“Kalau kemudian orang berpikir bahwa keberpasangan bisa sejenis itu secara semantik ndak kena, bahasa Al-Quran menggunakan azwaj, keberpasangan selalu menunjukkan oposisi biner”, tegas Abdul Mustaqim.

Maka, sejalan dengan analisis semantik tersebut, azwaj yang notabene bermakna pasangan, pada konteks ayat itu, menunjukkan bahwa perempuan, pasangannya laki-laki. Pun laki-laki, pasangannya selalu perempuan. Kesimpulan itu berdasarkan pelacakan yang dilakukan Abdul Mustaqim dalam Al-Quran, diksi azwaj selalu menunjukkan pasangan yang bersifat biner. Semisal dalam konteks lain ada siang dengan malam, barat dengan timur.

Rasa suka pada sesama jenis yang dilanjut dengan perilaku seks menyimpang sudah pasti dilarang karena menyalahi ketentuan binary opposition di atas, atau dalam sudut pandang maqashid, menyalahi fitrah manusia, yang tercipta berpasang-pasangan.


Baca juga; Mushaf Istiqlal, Masterpiece Kebudayaan Islam di Era Soeharto


Larangan ini juga diisyaratkan dari kisah kaum Nabi Luth. Abdul Mustaqim memperkuat larangan seks sesama jenis ini dengan maqashid dari kisah Kaum Luth. Yakni, kaum yang mendapat azab dahsyat berupa hujan batu sebab perilaku seks sesama jenis. Azab dahsyat inilah yang menunjukkan tahdid (ancaman) kepada umat selanjutnya agar tidak meniru.

Homoseksual Menghalangi Maqashid Hifdzul Nasl (menjaga keturunan)

Konsep pernikahan di dalam Al-Quran antara lain untuk menjaga keturunan (hidzun Nasl). Yang berarti, min haytsul wujud (dari segi produktivitasnya) bisa menjamin eksistensi generasi yang akan datang. Hifdzun nasl yang menjadi salah satu maqashid dalam pernikahan tidak bisa dicapai bila pernikahan dilakukan oleh sesama jenis, karena tidak akan bisa menghasilkan anak biologis.

Karena itu, populasi manusia bisa terjamin bila pernikahan dilakukan dengan lawan jenis. Sehingga, hubungan seks hanya bisa dilakukan melalui peraturan yang legal, yang tak lain pernikahan antara laki-laki dan perempuan.

Tetap Hormati Pelaku Seks Menyimpang

Meski melakukan perbuatan terlarang, pelaku seks menyimpang tersebut juga tetap kita hormati. Tidak boleh kita mengintimidasi dan menghakiminya. Abdul Mustaqim membedakan antara dimensi insaniyyah-nya dengan perilakunya. “sebagai manusia, tetap harus kita hormati dimensi insaniyyahnya. Yang kemudian tidak sependapat adalah perilakunya”, tegas Abdul Mustaqim.

Dengan tetap menghormati pelaku, Hak Asasi Manusia (HAM) bisa terjaga, serta bisa melestarikan toleransi (as-samahah), yang menjadi salah satu maqshad Al-Quran. Begitulah sikap bijak menyikapi perbedaan yang menurut kita tidak sesuai dengan rambu agama. Dengan menjunjung toleransi lewat penghormatan atas dasar kemanusiaan.

Lalu, bagaimana dengan pelaku atau orang yang memiliki kecenderungan seks menyimpang? Abdul Mustaqim mengatakan, ia harus berusaha untuk merubah haluan ke jalan yang semestinya. Karena,–menyitir Ahli Psikologi-, kecenderungan itu masih ada potensi untuk dirubah. Di lain sisi, Abdul Mustaqim juga menggaris bawahi, bahwa perilaku seks menyimpang tidak akan bisa hilang tanpa ada usaha, Sebagaimana firman Allah ‘innallaaha la yughayyiru maa bi qawmin hatta yughayyiruu ma bi anfusihim’ (Allah tidak merubahah nasib kaum sampai mereka merubahnya sendiri”. (Al-Quran, 13:11)


Baca juga: Aplikasi Tafsir Maqashidi, Ulya Fikriyati: Beda Maqashidus Syariah dan Maqashidul Qur’an


Abdul Mustaqim adalah Guru Besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang konsen pada kajian Tafsir Maqashidi dan moderasi Islam. Dalam pengukuhan Guru Besar tahun lalu (10/19), Pak Mustaqim menyampaikan Orasi Ilmiahnya bertajuk Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi sebagai Basis Mederasi Islam. Ia aktif dalam berbagai forum diskusi ilmiah baik skala nasional mau pun internasional. Produktivitasnya dalam dunia akademik juga ia buktikan dalam puluhan karya. Di antara karya itu, yang bersinggungan dengan Tafsir Maqashid ialah; at-Tafsir al-Maqashidi (al-Qadayal Mu’asyirah fi Daw’il Quran wassunnah Nabawiyyah), Epistemologi Tafsir Kontemporer, dan Homoseksual dalam Perspektif Al-Qur’an:  Pendekatan Tafsir Kontekstual Al-Maqāṣidī.  Wallahu a’lam[]