“Wah makin langsing aja say” komentar demikian nampaknya sudah biasa terdengar di telinga kita. Namun siapa sangka, sebuah pernyataan yang dinilai biasa mengandung dua persepsi makna yang berbeda. Nampaknya kini tren majas ironi mulai berkecimpung dalam dunia komunikasi sehingga setiap cuitan yang hadir selalu menghadirkan kontroversi. Inilah yang disebut body shaming, salah satu jenis bully-an yang mengomentari fisik atau tubuh seseorang dengan perspektif yang sinis dan merendahkan.
Nathalie Chornet (2018) dalam bukunya Coping with Body Shaming mengatakan bahwa “Body shaming is all around us;it comes from many directions and may take many forms”. Maka tidak heran jika tren ini muncul berbarengan dengan merebaknya ujaran kebencian.
Baca juga: Mushaf Nusantara: Jejak, Ragam dan Para Penjaganya, Karya Intelektual Generasi Milenial
Sebutan body shaming bukan sesuatu yang baru mencuat. Hal serupa juga telah lama hadir namun belum memperoleh istilah khusus yang disebut body shaming. Munculnya body shaming tidak lepas dari pikiran atau pandangan tradisional akibat post-kolonialisme yang mengkriteriakan kecantikan dengan tubuh ideal, berkulit putih, hingga memiliki postur yang tinggi (Pijar Psikologi, 2020).
Fenomena yang barangkali terlewatkan adalah ketika body shaming mencapai angka yang serius. Tempo.co (2020) menyebut bahwa sekitar 62,2 persen wanita Indonesia mengaku pernah menjadi korban body shaming. Heineman dan Pieper (2006) menyebut dampak terparah yang dialami korban adalah ketika telah mencapai puncak kekesalannya yang disebut ‘kecanduan ketidakbahagiaan’.
Tidaklah keliru jika body shaming dapat menyebabkan seseorang tidak berkembang. Hal ini karena menurunnya motivasi dalam diri untuk menjadi seimbang dengan yang lain. Akibatnya, sikap seperti ini akan menghambat diri seseorang untuk terus maju dan berujung kepada keputusasaan. Sejatinya, fenonema body shaming hanyalah repetisi histori yang pernah termuat dalam QS. Al-Hujurat [49]: 11 sebagai berikut.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha MengetahuHai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat [49]: 11)
Baca juga: Kasus Covid-19 Terus Naik dan Tafsir Umatan Wasatan yang Terus Dipersoalkan
Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11
Mahali dalam buku Asbabun Nuzul menjelaskan bahwa diriwayatkan dari Abi Jubair Ibnu Dhahak dalam kitab Sunan Empat mengenai sebab turun ayat tersebut dijelaskan bahwa ada seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Dia dipanggil dengan nama tertentu agar orang itu tidak senang dengan panggilan itu maka diturunkanlah ayat tersebut (Mahali, 2002: 769).
Prof. Quraish Shihab (2009) dalam bukunya Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa ayat di atas melarang untuk mengejek orang lain karena dapat menyebabkan keretakan hubungan satu sama lain. Selain itu orang yang mengejek atau menghina belum tentu lebih baik dari yang menghina.
Sementara Syaikh Ali Ash Shabuni (2011) dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir mengutip pendapat Al-Baidhawi menyebut bahwa memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk adalah suatu kefasikan dan hal itu buruk dilakukan oleh seorang mukmin. Hal ini menunjukkan tentang larangan terhadap hina menghina termasuk menghina fisik orang lain yang telah lama diceritakan dalam al-Qur’an.
Demikian bahwa histori mengenai body shaming ini cukup mengingatkan kita tentang budaya orang-orang Jahiliyyah yang suka berbuat zhalim. Namun sayangnya, budaya tersebut kini direpetisi pada zaman sekarang dengan konsep yang lebih halus dan digencarkan melalui media yang lebih luas yaitu media sosial.
Padahal, standarisasi pelaku body shaming yang diberlakukan sangatlah subjektif dan memprioritaskan keberpihakan. Pada akhirnya, orang-orang saat ini tak kalah ubahnya dengan orang-orang Jahiliyyah dulu yang berbuat demikian. Maka tepat kiranya jika sebutan untuk budaya yang terulang ini adalah budaya Jahiliyyah modern.
Baca juga: Mengenal Sifat Qolqolah, Huruf dan Macam-Macamnya dalam Ilmu Tajwid
Solusi untuk Berantas Body Shaming
Maka solusi tepat pun harus diberikan. Pertama, Sosialisasi mengenai komunikasi yang baik perlu digaungkan, bahkan jika perlu tindakan tegas aparat sangat dibutuhkan. Sebab peran serta pemerintah begitu ampuh dalam merealisasikan misi penting ini.
Kedua, pendidikan karakter perlu digalakkan lebih tajam dengan memperkuat upaya pengendalian dan pembinaan moral yang terwujud dalam kegiatan-kegiatan positif terutama pada lembaga pendidikan di sekolah seperti kegiatan penguatan bimbingan akhlak yang rutin dilakukan.
Ketiga, peran keluarga sangat menentukan guna menanamkan nilai-nilai mulia yang membentuk pribadi cerdas, cermat, dan tepat dalam bersikap. Oleh karenanya pembekalan budaya santun dan komunikasi yang baik hendaknya ditanamkan sejak dini pada anak.
Akhirnya, body shaming bukan sekedar ‘nyinyir’ biasa. Tetapi body shaming menyangkut bobroknya budaya manusia modern yang membangkitkan tren Jahiliyyah. Seluruh elemen masyarakat harus bekerja sama untuk saling bersinergi membangun empati guna menuntaskan fenomena ini.
Al-Hujurat [49]: 11 cukup memberi peringatan tentang pentingnya menjaga lisan untuk tidak mencaci atau mem-bully. Bijak dalam berkata di dunia maya maupun dunia nyata adalah cita-cita bersama untuk menghidupkan kembali nilai-nilai persaudaraan yang mulai terkikis pada budaya kita. Wallahu A’lam.