Imam al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul (2/809) menerangkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama akan kebolehan me-nasakh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis ahad dengan hadis ahad atau me-nasakh hadis ahad dengan hadis mutawatir. Lalu bolehkah menasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir atau hadis ahad?
Kata nasakh secara bahasa sebagaimana disebutkan oleh al-Suyuthi dalam al-Itqan memiliki empat kemungkinan makna yakni al-Izalah (menghapus), al-Tabdil (menggantikan), al-Tahwil (mengalihkan) dan al-Naql (memindahkan).
Adapun secara istilah sebagaimana disebutkan oleh al-Ak’ dalam Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, nasakh adalah ketika ada satu dalil syar’i yang turun lebih akhir dari dalil syar’i yang sebelumnya dengan membawa hukum yang berbeda dari pada dalil yang turun lebih awal. Sehingga dalil atau ayat yang turun lebih akhir menghapuskan hukum ayat yang turun lebih awal, ini disebut nasikh dan ayat yang turun lebih awal disebut mansukh.
Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58
Pengetahuan tentang ayat-ayat mana saja yang telah di-nasakh ini tidak bisa diketahui melalui pendekatan akal, seperti qiyas maupun ijtihad. Melainkan hanya bisa diketahui melalui riwayat yang shahih, karena penghapusan ayat atau hukumnya ini merupakan sesuatu yang harus berdasarkan wahyu dari Allah kepada nabi Muhammad, sehingga tidak terbuka ruang ijtihad di dalamnya.
Menurut al-Qattan dalam Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an pengetahuan mengenai hal ini bisa diperoleh melalui tiga cara, 1). Riwayat yang jelas dari Nabi ataupun sahabat, 2). Ijma’ atau konsensus umat terkait mana yang nasikh dan mansukh, dan 3). Riwayat sejarah yang valid, yang menunjukkan mana ayat yang turun terlebih dahulu dan mana yang turun di akhir.
Kembali ke kitab Ushul al-Tafsir, Khalid al-‘Akk menjelaskan bahwa menurut Abu Ishaq al-Marwazi, Ibn al-Sam’ani dan sebagian ulama lain terdapat enam macam bentuk nasakh dalam Al-Qur’an, ditinjau dari segi apakah yang dihapus itu lafal ayatnya atau hukumnya, ataukah keduanya. Namun artikel ini tidak akan membahas hal ini secara terperinci.
Al-‘Akk hanya menyebutkan empat dari enam macam bentuk nasakh tersebut, yaitu 1). Ayat yang hukum dan lafal ayatnya dihapuskan, 2). Hukumnya dihapuskan, namun lafal ayatnya tetap ada, 3). Lafal ayatnya dihapuskan, namun hukumnya tetap ada dan 4). Ayat yang dihapus hukumnya (mansukh) lafal ayatnya tetap ada, akan tetapi di sisi lain lafal ayat nasikh-nya dihapus dan hukumnya-lah yang berlaku. Sehingga lafal mansukh-nya masih ada, namun hukum yang berlaku adalah hukum ayat yang me-nasakh (nasikh).
Baca juga: Kemuliaan Bekerja Sebagai Petani, Tafsir Surah Yasin Ayat 34-35
Menasakh Al-Qur’an dengan Hadith Menurut Ulama
Dalam al-Itqan, al-Suyuthi menukil adanya kesepakatan (ijma’) kaum muslimin akan keberadaan nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Namun para ulama berbeda pendapat apakah Al-Qur’an itu hanya boleh di-nasakh oleh Al-Qur’an juga, atau Al-Qur’an itu boleh di-nasakh dengan hadis.
Imam al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul (2/809) menerangkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama akan kebolehan me-nasakh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis ahad dengan hadis ahad atau me-nasakh hadis ahad dengan hadis mutawatir. Lalu bolehkah me-nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir atau hadis ahad? Al-Qattan dalam Mabahith membedakan keduanya.
Pertama, tentang me-nasakh Al-Qur’an dengan hadis ahad. Jumhur ulama mengatakan hal ini tidak boleh, dikarenakan Al-Qur’an itu diriwayatkan secara mutawatir yang berimplikasi yakin (qath’iy al-thubut), sedangkan hadis ahad itu masih dalam ranah dugaan kuat (zhanniy al-thubut), dan tidak sah menghapus sesuatu yang qath’i dengan sesuatu yang masih zhanni.
Baca juga: Mengenal Konsep, Model, dan Makna Kata Imam dalam Al-Qur’an
Kedua, me-nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir. Terkait hal ini maka jumhur ulama membolehkannya, karena kedudukannya yang sama-sama pasti dan keduanya merupakan wahyu dari Allah. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat.
Al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul menyebutkan pendapat ini juga dipegangi oleh Abu al-Thayyib al-Thabari, Ibn Burhan, Ibn al-Hajib, Ibn Faurak dan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau menambahkan contoh nasakh dalam bentuk ini terdapat pada kandungan hukum Q.S. Al-Baqarah [2]: 180 yang digantikan oleh hukum yang dibawa oleh hadis mutawatir. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Terjemahnya, ‘Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta, agar berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (sebagai) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.’
Oleh para ulama yang membolehkan nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir, hukum yang dibawa oleh ayat ini yakni kewajiban memberi wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat menjelang kematian telah diganti (di-nasakh) dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasa’i, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan lain-lain. Potongan hadisnya berbunyi,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Terjemahnya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang memiliki haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris’.
Sehingga berdasarkan hadis di atas mereka berpendapat bahwa orang tua dan kerabat yang termasuk ke dalam golongan ahli waris tidak boleh mendapatkan wasiat, karena kedudukan hadis di atas berlaku sebagai nasikh atas hukum yang dibawa oleh ayat tersebut (mansukh). Wallahu a’lam[].