BerandaTafsir Al QuranBuya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Salah satu mufasir reformis Indonesia adalah Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal dengan Buya Hamka. Ia merupakan tokoh yang mempunyai multidimensi keilmuan. Bagi pecinta novel, pasti kenal dengan nama Hamka dari karya-karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van dr Wijck, atau Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, atau yang lain.

Ketiga karyanya tersebut berhasil melambungkan nama Buya Hamka sebagai sastrawan. Tak hanya itu, tokoh asal Minangkabau ini juga seorang muballigh, sejarawan, akademisi hingga politikus. Pengetahuan keilmuannya seringkali dipadukan dengan kepiawaiannya menulis. Sehingga tak ayal, jika menurut James Rush, hasil karya tulisannya mencapi 115 judul dengan bermacam bidang keilmuan.

Buya Hamka memang aktif sebagai seorang editor di beberapa majalah, penulis termasuk novelis dan cerpenis, penerbit serta wartawan. Berkat kontribusinya terhadap dakwah Islam di Indonesia, ia mendapatkan gelar penghormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, dan Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi

Selayang Pandang Biografi Buya Hamka

Sosok ulama yang sekaligus politikus ini lahir di tanah Minangkabau. Tepatnya di desa  Molek, Maninjau, Sumatra Barat pada 16 Februari 1908 M (ada juga yang menuliskan 17 Februari)/ 13 Muharram 1326 H, dan wafat 24 Juli 1981. Ayahnya adalah seorang ulama, H. Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal dengan panggilan Haji Rasul, sedangkan ibunya bernama Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah. Dan, istrinya bernama Siti Roham binti Endah Sultan.

Buya Hamka aktif di dunia pergerakan Islam yakni Muhammadiyah. Mulai dari menjabat sebagai ketua cabang Muhammadiyah Padang Panjang di tahun 1928 hingga penasihat Pusat Muhammdiyah tahun 1953. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesisa tahun 1977.

Dalam bidang politik, Buya memulai karirnya di tahun 1925 sebagai anggota dari partai politik Sarekat Islam. Kemudian menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional tahun 1947, serta menjadi anggota dari Konstituante Masyumi. Namun, tahun 1960 pemerintah Indonesia “mengharamkan” keberadaan Masyumi. Keadaan tersebut mengakibatkan Buya Hamka harus dipenjara, karena dituduh pro terhadap Malaysia.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Selama di penjara inilah, Buya Hamka meluapkan emosionalnya melalui tulisan. Dan tulisan itu, hingga kini tetap menjadi rujukan bagi pegiat kajian tafsir, yakni Tafsir al-Azhar. Selepas terbebas dari penjara, Hamka diberi amanah untuk ikut serta dalam tiga kelembagaan, yaitu Lembaga Kebudayaan Nasional, Badan Musyawarah Kebajikan Nasional dan Majelis Perjalanan Haji Indonesia.

Tafsir al-Azhar: Media Membaca Keindonesiaan

Dipenjaranya Buya Hamka selama 2 tahun 7 bulan (27 Januari 1964-21 Januari 1967) tersebut justru melahirkan karya yang fenomenal berupa tafsir, lengkap 30 juz. Dinamakan al-Azhar karena serupa dengan nama masjid yang didirikannya di Kebayoran Baru, Jakarta. Nama ini diilhami oleh Syaikh Mahmud Syalthuth, dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh intelektual tumbuh di Indonesia. Pada awalnya, Hamka mengenalkan dan mendakwahkan Tafsir al-Azhar ini di kuliah subuh pada jamaah di masjid tersebut.

Di samping itu, Tafsir al-Azhar juga sebagai bentuk tanda terimakasih dan penghargaan kepada al-Azhar, Mesir atas penganugerahan gelar Ustadziyah Fakhriyah (Doktor Honoris Causa) kepada Buya Hamka. Itu adalah beberapa faktor lahirnya Tafsir al-Azhar.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Sedangkan dalam penjelasan tafsirnya, seringkali sang mufassir mengaitkan pembahasannya dengan watak masyarakat yang melingkupi sosial-budaya yang ada pada saat itu. Dalam artian, Tafsir al-Azhar mampu merekam kehidupan dan sejarah sosio-politik umat (adab al-ijtima’i).

Karya tafsir ini merupakan pencapaian dan sumbangan terbesar Buya Hamka dalam membangun pemikiran dan mengangkat tradisi ilmu yang melahirkan sejarah penting dalam penulisan tafsir di Nusantara. Adapun tujuan terpenting dalam penulisan Tafsir al-Azhar adalah untuk memperkuat dan memperkukuh hujjah para muballigh serta mendukung gerakan dakwah. Wallahu A’lam

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU