Redaksi atau lafad Alquran merupakan pintu masuk pertama bagi seseorang yang ingin mengkaji Alquran. Berbagai disiplin ilmu memberi tawaran cara memahami Alquran melalui redaksinya. Salah satunya datang dari disiplin ilmu ushul al-fiqh. Kajian ini mempunyai kaidah-kaidah khusus dalam memahami Alquran dengan ‘memanfaatkan’ keunikan lafad atau redaksi Alquran.
Dikutip dari kitab Ushul al-Fiqh karya Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, terdapat empat cara memahami Alquran melalui redaksinya. Keempat cara tersebut yaitu (1) ‘Ibarah an-Nash (redaksi/ungkapan nas), (2) Isyarah an-Nash (isyarat redaksi), (3) Dalalah an-Nash (petunjuk redaksi) dan (4) Iqtidla’ an-Nash (tuntutan redaksi). Cara pertama untuk memahami makna Alquran melalui redaksinya adalah metode ‘Ibarah an-Nash (redaksi atau teks Alquran), yaitu pemahaman makna yang secara langsung ditangkap dan dipahami oleh akal melalui teks Alquran.
Baca Juga: Jenis-Jenis Teks Alquran yang Belum Banyak Diketahui
‘Ibarah an-Nash (redaksi/ungkapan teks Alquran)
Dalam metode yang pertama ini, terdapat dua makna yang dipahami dari redaksi atau teks yang dipakai oleh Alquran. Pertama adalah makna asholah (gagasan pokok) dan kedua yaitu makna tab‘an (bukan gagasan pokok). Metote ‘Ibarah an-Nash (redaksi atau teks Alquran) disebut juga dengan pemahaman tekstual terhadap redaksi Alquran.
Contoh, pemahaman atas surah Albaqarah ayat 275 yang membahas tentang hukum jual beli dan riba.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Ketika ayat di atas dibaca, akan dipahami bahwa jual beli itu sangat berbeda dengan riba, dan oleh karena itu Allah membolehkan jual beli serta melarang riba. Kesimpulan ini diperoleh dari cara kerja‘ibarah an-nash (redaksi atau teks Alquran) dengan dua pemaknaannya.
Pemahaman yang pertama, yaitu berupa penegasan dari Allah bahwa jual beli itu tidaklah sama dengan riba. Makna yang demikian disebut dengan makna asholah (gagasan pokok) karena redaksi pada ayat tersebut memang dibuat untuk menepis dan membantah pernyataan orang-orang yang melakukan praktek riba ketika itu bahwa jual beli itu juga sama (tidak jauh berbeda) dengan riba.
Sementara penjelasan mengenai hukum jual beli dan riba pada ayat tersebut disebut dengan makna tab‘an (bukan gagasan pokok) karena penjelasan tersebut dibuat guna mendukung pernyataan Allah sebelumnya yang menyatakan bahwa jual beli itu tidaklah sama dengan riba. Dengan kata lain, karena jual beli itu berbeda dengan riba, maka Allah membolehkan untuk melakukan jual beli dan melarang melakukan riba.
Baca Juga: Mengenal ‘Ideal Text’ dalam Teks Alquran
Contoh lainnya adalah pemahaman atas surah an-Nisa’ ayat 3 yang terkenal dengan ayat poligami.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dari segi susunan kalimat, redaksi ayat di atas mengandung beberapa makna yang bisa langsung ditangkap dan dipahami oleh akal ketika membacanya. Makna yang pertama berupa pemahaman mengenai kebolehan menikahi perempuan yang disenangi. Sementara makna yang kedua dan ketiga adalah pembatasan jumlah maksimal istri dan kewajiban membatasi diri dengan hanya menikahi satu orang perempuan ketika kawatir tidak bisa berbuat adil kepada mereka.
Makna asholah (gagasan pokok) pada ayat tersebut adalah makna yang kedua dan ketiga. Ini karena ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang merasa berat untuk menerima wasiat kepengurusan anak yatim, karena kawatir zalim kepadanya (memakan harta anak yatim). Di saat yang sama, orang-orang tersebut sama sekali tidak kawatir untuk bersikap tidak adil kepada istri-istri mereka yang sangat banyak jumlahnya (padahal hal itu juga perbuatan zalim). Oleh karena itu, melalui Ayat ini Allah memperingatkan bahwa jika mereka kawatir menzalimi istri-istri mereka, Allah memerintahkan untuk mempersedikit jumlah istri dengan membatasinya menjadi empat saja, bahkan cukup dengan satu orang saja.
Sementara makna yang pertama, yaitu kebolehan menikah dengan perempuan yang disenangi merupakan makna tab‘an (bukan gagasan pokok). Dapat dikatakan makna ini hanya sebagai mukadimah dari gagasan pokoknya.
Baca Juga: Konteks Historis Penurunan Alquran dan Perannya bagi Asbabunnuzul
Isyarah an-Nash (isyarat teks Alquran)
Cara yang kedua untuk memahami Alquran melalui redaksinya adalah Isyarah an-Nash (isyarat teks Alquran). Isyarah an-Nash (isyarat teks Alquran) adalah sebuah pemahaman yang bukan berasal dari redaksi atau teks Alquran dan bukan pula maksud dari susunan redaksinya. Isyarah an-Nash merupakan makna yang sejalan dengan makna langsung redaksinya (‘Ibarah an-Nash) karena Isyarah an-Nash tidak datang dari ungkapan langsung redaksi Alquran, tapi dari isyarat (ungkapan tidak langsung) teks.
Para ulama mengatakan bahwa sesuatu yang diisyaratkan oleh teks terkadang memerlukan penelitian yang mendalam serta pemikiran yang sungguh-sungguh. Namun terkadang juga hanya memerlukan pemikiran yang sekedarnya saja. Contoh pemahaman yang didapat melalui metode Isyarah an-Nash adalah hukum fardu kifayah atas keberadaan seorang ahli di bidang tertentu di suatu daerah. Pemahaman tersebut diperoleh melalui isyarat pada ayat yang berbunyi:
{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl [16]: 43).
Jika ayat di atas dipahami melalui metode ‘Ibarah an-Nash, maka akan mendapatkan kesimpulan bahwa Allah memerintahkan untuk menanyakan setiap urusab yang tidak diketahui kepada orang-orang yang ahli di bidangnya. Ayat di atas juga bisa diambil pemahaman melalui metode Isyarah an-Nash bahwa Allah mewajibkan (fardu kifayah) akan adanya orang-orang yang ahli di bidangnya pada setiap daerah, karena jika di suatu daerah tidak terdapat orang-orang ahli tersebut maka itu bisa menyebabkan suatu perkara di daerah tersebut menjadi terbengkalai dan tidak bisa diselesaikan.
Adapun untuk dua metode berikutnya, akan dilanjutkan di tulisan lain, di bagian kedua.