Ingrid Mattson adalah seorang aktivis, professor dalam kajian Islam dan seorang muallaf. Ia aktif di berbagai kegiatan sosial kegamaan seperti pernah menjadi Presidan Masyrakat Islam Amerika Utara (ISNA). Suatu waktu ia menulis sebuah buku fenomenal yang berjudul “The Story of The Qur’an” yang sudah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul “Ulumul Qur’an Zaman Kita”.
Buku yang ia tulis bertujuan untuk mengkounter eksrimis fundamentalis yang non-Islam. Sebagian mereka walaupun tidak semua, begitu tekstualis memaknai Alquran maupun teks Alquran seperti memahami kitab suci mereka. Karena pemaknaan yang tekstualis itu akhirnya terjadi justifikasi yang buruk terhadap Alquran juncto Islam. Padahal menurut Ingrid, ayat Alquran tidak bisa lepas dari konteks.
Baca Juga: Dialektika Alquran dan Budaya dalam Kerangka Pikir Ingrid Mattson
Sebagian non Muslim juga ada yang berusaha menggali makna Alquran dengan maksud yang benar. Oleh karena itulah Ingrid menulis sebuah buku yang diharapkan menjadi solusi bagi mereka yang ingin memahami Alquran secara benar. Memahamkan Alquran kepada orang skeptis ini tidak bisa diakali dengan mendefinisikan Alquran seperti yang dicetuskan oleh ulama tafsir atau Islam. “Alquran adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang memberi mukjizat dengan surat-suratnya serta membacanya termasuk ibadah”. Jika definisi ini diutarakan, mereka akan menolak Alquran mentah-mentah karena mereka sendiri bukan Islam. (Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, 2013).
Ketika Alquran turun di tanah Arab, ia mengenalkan dirinya menyesuaikan (akulturatif) dengan kultural saat itu. Orang Arab sangat suka dengan sastra, musik, syair dan sajak. Alquran mengkondisikannya dengan meniru pola, rima dan bunyi sastra tersebut. Tetapi Alquran menegaskan dirinya bukanlah syair (Q.S. Yasin [36]: 69-70), sajak ataupun yang lain-lain.
Ketersesuaian ini akhirnya menimbulkan ketertarikan orang Arab dengan Alquran. Walaupun penerimaan itu mendapat reaksi negatif orang Arab dengan dalih Alquran adalah karya Muhammad, bukan dari Tuhan. Berbagai stigma seperti dukun, penyair, orang kerasukan dan lain-lain melekat ke diri sang Nabi.
Baca Juga: Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2: Memaknai Kehadiran Al-Quran Perspektif Ingrid Mattson
Tuduhan tersebut adalah implikasi dari gaya sastra tingkat tinggi yang dibawa oleh Alquran membuat orang Arab takjub dan heran. Mereka berkeyakinan gaya bahasa yang tinggi ini bukan semata dari Muhammad, melainkan bantuan dari jin.
Alquran juga mengenalkan dirinya sebagai agen perubahan. Dulu, orang Arab juga sudah mengenal konsep ketuhanan. Akan tetapi konsep tersebut berbeda dengan apa yang dibawa Alquran. Jika orang Arab menganggap Tuhan punya anak, malaikat adalah anak perempuan Tuhan, maka Alquranmenyangkal semua itu.
Konsep yang diyakini orang Arab tersebut hanya ingin menunjukkan kedekatan mereka dengan Tuhan. Alquran mengubahnya dengan konsep tauhid tetapi tidak melupakan kondisi psikis orang Arab. Bahkan Alquran mengatakan Tuhan itu lebih dekat dari urat nadi mereka. Penyebutan nama Tuhan yang kadang-kadang berganti dari orang ketiga, kedua dan pertama itu menunjukkan bukti kedekatan Tuhan dengan makhluknya.
Baca Juga: Konteks dan Keterampilan dalam Memahami Al-Quran Menurut Ingrid Mattson
Ini adalah bukti Alquran sebagai agen perubahan yang kondusif dan solutif sekaligus transformatif. Artinya, Alquran mentransformasikan kebiasaan orang Arab yang mengkonsepsikan Tuhan adalah sesuatu yang berbentuk fisik kepada sesuatu yang bersifat abstrak, namun akan selalu ada dan hadir seperti Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui dll.
Di sisi lain, Alquran juga mendeskripsikan dirinya dengan kitab yang humanis. Ayat mengenai peperangan banyak sekali disebutkan oleh Alquran terutama dalam surat-surat Madaniyah. Sekali lagi, Alquran tidak menyebutkan secara detail kisah dan tokoh. Hal demikian hanya bisa ketahaui melalui sirah.
Yang menjadi hal unik adalah walaupun Alquran banyak menceritakan ayat perintah berperang, tidak otomatis menjadikan berperang sebagai opsi pertama. Berperang hanya digunakan untuk alat pertahanan ketika diserang musuh. Spirit utama yang dijunjung Alquran adalah spirit perdamaian, kemanusiaan dan kebebasan. Alquran melarang umat Islam untuk memaksa orang non-Islam masuk keagamanya (al-Baqarah [2]: 256.
Alquran juga menjamin hak dan kebebasan non-Muslim menjalakan keyakinannya. Menurut Sahiron Syamsuddin di dalam bukunya “Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an” bahwa ayat-ayat peperangan adalah bagian sekunder (parts/ab’adl) dari keseluruhan (the whole/al-kulli) dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin. Artinya, di atas peperangan sebenarnya masih ada nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi yakni kasih sayang (Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, 2017).
Demikianlah menurut Ingrid Mattson bagaimana langkah-langkah mengenalkan Alquran kepada orang non-Muslim. Intinya, pendekatan yang digunakan haruslah melihat kondisi audiens. Jika audiensnya orang yang tidak percaya konsep Islam, maka gunakanlah nilai-nilai yang sekiranya bisa mereka terima secara akal dan moral, di antaranya mendefinisikan Alquran itu adalah kitab yang adaptif, membawa perubahan atau solutif dan humanis atau menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Wallahu a’lam.