Alquran merupakan sumber utama dalam merumuskan hukum Islam. Nas-nas yang memuat aspek hukum ternyata tidak selalu disajikan dengan redaksi yang jelas dan tegas. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar nas Alquran maupun hadis yang memuat hukum Islam hadir dengan ungkapan yang memicu perbedaan penafsiran di kalangan ulama.
Dalam ilmu ushul fikih, nas-nas yang sudah jelas maknanya itu disebut al-nushus al-qath’iyah, sedangkan teks yang memiliki relativitas makna diistilahkan dengan al-nushus al-zhanniyah. Menurut Prof. Umar Shihab (kakak kandung Quraish Shihab), istilah qathi dan zhanni merupakan hasil kreasi dan ranah kajian ulama ushul fikih meskipun sejatinya ia erat kaitannya dengan kajian tafsir Alquran dan hadis. [Kontekstualitas Alquran, hal. 338]
Baca juga: Nalar Balaghah Sebagai Metodologi Penggalian Makna Ayat-ayat Hukum
Secara sederhana, qath’i diartikan sebagai suatu kepastian atau keputusan final, sedangkan zhanni sebaliknya. Dalam kajian ushul fikih, pembahasan mengenai qhat’i dan zhanni ini secara umum bercabang menjadi dua hal. Pertama, qath’i dan zhanni dalam aspek dalalah (signifikasi), dan yang kedua adalah qhati dan zhanni dalam hal wurud (transmisi). Artinya, Alquran dan hadis dapat dikaji dengan pendekatan qath’i dan zhanni baik dari aspek signifikasi redaksinya dan validitas keabsahan proses transmisinya.
Alquran dari Aspek Wurud-nya
Dilihat dari aspek wurud-nya (proses transmisi), Alquran adalah qath’i al-wurud. Artinya, tidak ada keraguan bahwa Alquran yang kita baca sekarang ini bahkan sampai hari kiamat merupakan Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. 14 abad yang lalu tanpa ada perubahan dan distorsi sedikitpun. Hal ini karena Allah Swt. telah menjamin validitas dan keabsahan Alquran sampai hari kiamat. Allah berfirman dalam Q.S. Alhijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” Q.S. Alhijr [15]: 9
Ditinjau dari sudut pandang ilmiah, proses transmisi Alquran dari satu generasi ke generasi berikutnya berlangsung secara mutawatir. Artinya, jumlah perawi (transmiter) Alquran dari tiap-tiap generasi mencapai jumlah sangat banyak, sehingga karena jumlah tersebut mustahil terdeteksi adanya pemalsuan dan kebohongan. Selain itu, ayat di atas juga secara langsung memaklumatkan penjaminan Allah terhadap eksistensi Alquran sampai hari kiamat sehingga segala upaya pemalsuan dan distorsi terhadapnya akan selalu gagal. [al-Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 16]
Hal ini berbeda dengan hadis. validitas atau keabsahan hadis Nabi secara umum terbagi menjadi dua; ada yang qath’i al-wurud ada yang zhanni al-wurud. Artinya, hadis-hadis Nabi tidak semuanya dapat dinilai valid atau absah berasal dari Nabi saw.. Buktinya, dalam ilmu hadis kita mengenal banyak sekali klasifikasi hadis seperti hadis sahih, hadis dhaif, bahkan ada hadis maudhu’ (palsu). Yang dapat dinilai qath’i al-wurud dari hadis-hadis Nabi adalah yang diriwayatkan secara mutawatir.
Alquran antara Qath’i al-Dalalah dan Zhanni al-Dalalah
Sedangkan Alquran dilihat dari aspek dilalah-nya (signifikasi), terbagi menjadi dua; yaitu qath’i al-dalalah dan zhanni al-dalalah. Hadis pun demikian, ada yang qath’i al-dalalah dan ada yang zhanni al-dalalah. Syekh Wahhab Khallaf mendefinisikan qath’i al-dalalah sebagai suatu kalimat atau lafal yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mengandung kemungkinan adanya makna lain. Sedangkan zhanni al-dalalah adalah sebaliknya, yaitu suatu lafal atau kalimat yang mengandung sebuah makna tetapi masih berkemungkinan adanya makna lain.
Di antara teks atau ayat Alquran yang masuk kategori qath’i adalah ayat-ayat yang menunjukkan makna bilangan atau ukuran. Contoh ayat Alquran yang dinilai qath’i al-dalalah seperti Q.S. Annur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,” Q.S. Annur [24]: 2.
Ayat di atas dinilai qath’i karena sudah dengan tegas disebutkan bahwa hukuman bagi pelaku zina adalah seratus kali cambukan. Jumlah ini tentu tidak bisa kita maknai dengan makna lain karena makna dari angka-angka sudah jelas.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak
Beda halnya dengan ayat-ayat yang bersifat zhanni. Memahami maksud dari ayat jenis ini kerap menjadi ajang perbedaan pandangan ulama dalam menafsirkan ayat tersebut. Hal ini karena secara redaksional, ia memang berkemungkinan untuk dimaknai dengan berbagai makna atau penafsiran.
Sebagai contoh, dalam Surah Albaqarah ayat 228 Allah Swt. Berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’” Q.S. Albaqarah [2]: 228.
Dalam bahasa arab, kata قُرُوءٍ mengandung dua arti; yaitu haid dan suci. Ambiguitas suatu kata inilah yang menyebabkan ulama kemudian berbeda dalam memutuskan ketentuan iddah berdasarkan ayat ini.
Imam al-Syafi’i dan Imam Malik yang memahami bahwa قُرُوءٍ adalah suci berpendapat bahwa masa iddah seorang perempuan yang dicerai suaminya adalah tiga kali suci. Sedangkan, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal memahami kata قُرُوءٍ sebagai haid. Oleh karenanya, beliau berpendapat bahwa waktu yang diperlukan perempuan untuk menyelesaikan masa iddahnya adalah tiga kali haid. [Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, juz 1, hal. 232-234].
Kesimpulan
Dari penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran secara keseluruhan adalah qath’i al-wurud, artinya validitas dan keabsahannya tidak dapat diragukan. Berbeda dengan Alquran, hadis-hadis Nabi tidak semuanya dipastikan valid. Artinya, ada hadis yang qath’i al-wurud yaitu hadis-hadis mutawatir, dan ada hadis yang zhanni al-wurud yakni hadis-hadis ahad.
Sedangkan dari aspek dalalah-nya, Alquran dan hadis sama-sama terbagi menjadi dua, ada yang qhat’i al-dalalah dan ada yang zhanni al-dalalah. Sekian.