Corak Tafsir Lughawi: Menilik Penafsiran Al-Quran Quraish Shihab

Tafsir Lughawi
Tafsir Lughawi M. Quraish Shihab (src: Narasi TV)

Sebagai sumber primer ajaran Islam, Al-Quran menyimpan segudang multi tafsir tergantung bagaimana cara kita meresepsi dan memperlakukan Al-Quran. Di sinilah letak keragaman, kompleksitas sekaligus universalitas Al-Quran sehingga tidak ada tafsir tunggal atas Al-Quran itu sendiri. Bahwa kebenaran Al-Quran itu absolut sudah barang tentu, namun ada banyak sekian ragam penafsiran Al-Quran dan itu semua dibenarkan sepanjang tidak melanggar ketentuan syariat.

Berkaitan dengan itu, kiranya corak tafsir lughawi dan tafsir waqf adalah dua corak tafsir yang menurut Ulama kenamaan Indonesia, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, seringkali digunakan oleh pakar tafsir sebagai landasan dalam menafsirkan Al-Quran. Ambil contoh, mufasir yang menjadikan lughawi (kosakata) ayat Al-Quran sebagai bagian integral dalam penafsirannya adalah Quraish Shihab.

Pola Khas Corak Tafsir Lughawi ala Quraish Shihab

Gus Baha mencontohkan penafsiran Quraish Shihab, misalnya, dalam Surat Al-Isra’ ayat 24,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

“Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 24)

Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan pola lughat, yaitu dengan membahas arti dasar perkata. Kata janaha (جَنَاحَ), pada ayat di atas oleh Quraish Shihab diartikan sayap. Lalu ia menganalogikannya dengan burung. Seekor burung, kata Shihab dalam Tafsir al-Misbah, merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, demikian juga bila ia melindungi anak-anaknya. Sayapnya terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul, serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis serta perlindungan dan ketabahan.

Baca Juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

Inilah penafsiran khas dari Quraish Shihab dalam amatan Gus Baha. Menurutnya, Pak Quraish, sapaan Gus Baha kepada beliau, itu dengan mudah mengatakan bahwa janaha itu artinya sayap. Sayap itu berfungsi untuk melindungi, seperti halnya ayam melindungi anaknya dengan kedua sayapnya. Dengan orang tua juga harus seperti itu. Lindungi orang tuamu dengan sayapmu. “Pokoknya beliau itu bisa mencocokkan, othak athik gathuk kalau istilah Jawanya”, ujar Gus Baha.

Hal ini cukup beralasan mengingat Quraish Shihab dalam Kosakata Keagamaan, mengatakan satu kata bisa menimbulkan multi interpretasi. Ia lalu mengibaratkannya dengan sebuah wadah. Setiap wadah mestinya menampung semua isi dan menyingkirkan selain isinya. Di sisi lain, bisa jadi satu kata telah berisi penuh semua muatannya sebagaimana yang dikehendaki oleh penutur bahasa, tapi bisa jadi juga hanya sebagian lalu diisi yang bukan muatannya. Bahkan, bisa jadi tidak terisi sama sekali.

Pengguna bahasa, demikian juga yang mendengarnya, kata Shihab, seyogyanya menangkap semua muatannya dan mengesampingkan yang bukan muatannya. Di sinilah, menurut Shihab, letak kepelikan dan kerumitan dalam memilih kata-kata/ kalimat yang ditulis dalam bahasa diplomasi atau perjanjian apalagi bahasa agama. Faktanya, hampir sekian banyak kata yang digunakan hanya dipahami/ diterjemahkan/ ditafsirkan sebagian dari kandungannya.

Tak heran, jikalau Quraish Shihab menjadikan lughat sebagai landasan dalam menguak kandungan Al-Quran. Karena dengan begitu ia mampu obyektif dalam menafsirkan Al-Quran, tidak hanya mengandalkan rasionalitas sebab acapkali rasio tercampuri nafsu dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kerangka demikian, Quraish Shihab banyak merujuk ke kamus-kamus bahasa Arab klasik yang menjelaskan makna dasar satu kata, terkhusus buku Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Abu Al-Husain Ahmad bin Faris (941-1004 H), al-Mufradat fi Gharib Al-Quran karya al-Raghib al-Asfahani (w. 1108 M) dan juga Kitab al-Ta’rifat karya Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 1413 M) yang memang mereka tulis untuk menjelaskan makna dasar kosakata dan istilah-istilah keagamaan.

Kaidah Tafsir Lughawi

Quraish Shihab menggarisbawahi, para pakar dan ulama Islam, sejak semula menekankan bahwa kalimat harus menghasilkan manfaat, bukan sekadar manfaat dalam arti mengungkap pikiran yang utuh sebagaimana dijelaskan para pakar bahasa tersebut, melainkan makna yang dikandungnya harus bermanfaat bagi pengucap dan pendengarnya sehingga bisa diresapi dan direnungi.

Baca Juga: Surah Al-Nisa’ Ayat 3: Poligami Perspektif Quraish Shihab dan Amina Wadud

Lebih lanjut, Shihab menekankan semestinya satu kalimat yang ditafsiri idealnya melahirkan kekuatan yang mampu menggerakkan manusia untuk berbuat kebaikan secara konkrit, tak sekadar informasi belaka. Ambil contoh, ketika Al-Quran berbicara tentang berhala-hala yang disembah kaum musyrikin yang mereka namai “Tuhan”; Latta, Manat, Uzza, Allah melukiskannya sesembahan mereka itu dengan firman-Nya, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu buat sendiri, Allah tidak menurunkan suatu sultan (kekuatan baginya).” (Q.S. al-Najm [53]: 23).

Artinya, berhala-berhala itu tidak lebih hanyalah nama-nama belaka, sekadar tulisan atau kata-kata belaka yang tidak memiliki kekuatan apapun, tetapi hakikatnya tidak ada. Inilah yang kami maksud bahwa kalimat harus menghasilkan kandungan yang bermanfaat, tak sekadar informatif. Karena itu, penting bagi penafsir Al-Quran di era kontemporer ini untuk bisa dan mampu menguak makna suatu kalimat dari sisi kebahasaannya terlebih dahulu (lughat), baru kemudian beranjak kepada pemaknaan yang utuh dari berbagai sudut pandang. Wallahu a’lam.