Membicarakan Mohamad Shahrour adalah mempertanyakan kembali hal-hal yang sudah paten, final, dan disepakati oleh ulama klasik. Hasil pikirannya yang tertuang dalam buku al-Kitab wa al-Qur’an: qira’ah mu’ashirah (The Book and the Qur’an: a Contemporary Reading) itu, membuat semacam “kegaduhan” di kalangan cendikiawan, baik Barat maupun Timur.
Mereka yang bisa mencerna apa yang dipikirkan Shahrour, akan sadar dan memeriksa kembali apakah yang dikatakan Shahrour benar adanya atau tidak; sebaliknya mereka yang tak bisa mencerna, sudah tentu, protes dan mengecam pikirannya yang “melenceng”. Dan Shahrour memang sengaja melakukan pelencengan itu. Sebagaimana disebut Andreas Christmann, cara yang tepat untuk memahami pikiran Shahrour dalam diskursus studi Alquran adalah dengan pendekatan defamiliarisasi (menentang kelaziman).
Christmann dalam artikelnya, The Form is Permanent, But the Content Moves”: the Qur’anic Text and its Interpretation(s) in Mohamad Shahrour’s al-Kitab wa al-Qur’an, yang diurai dalam review ini, menjelaskan pemikiran Shahrour dengan begitu apik ihwal teks Alquran, pewahyuan (perbedaan makan tanzil dan inzal), I’jaz, dan penafsiran (Hal. 149).
Baca Juga: Tafsir Analisis Matematis ala Muhammad Syahrur
Penolakan-penolakan Shahrour terhadap pengetahuan konservatif yang sudah dianggap final, menurut Christmann, dilatarbelakangi oleh posisinya yang bukan seorang mufasir dan ahli fikih. Ia juga tidak pernah mengeyam pendidikan madrasah Islami. Shahrour hanya seorang pembelajar otodidak, di mana pikirannya juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pemikir dengan gaya yang sama dengan dirinya, seperti A.N. Whitehead, Ibn Rusyd, I. Newton, al-Farabi, al-Jurjani, F. Hegel, Fukuyama, dan lainnya.
Problem Sinonimitas Istilah dalam Tradisi Islam
Dekonstruksi yang dilakukan Shahrour terhadap terminologi dan istilah tradisional yang tak masuk akal dan kering data, menjadi sebentuk defamiliarisasi Alquran. Beberapa istilah itu antara lain: al-Kitab – al-Qur’an, muhkam – mutasyabih, dan kenabian (nubuwah) – kerasulan (risalah).
Christmann mengutip sekaligus menyederhanakan tabel yang dibuat Shahrour, berikut penjelasannya dalam tiga poin: Pertama, bagi Shahrour tidak ada satu kata pun yang dapat diganti dengan kata lain, kecuali akan mengubah konteks makna dan merusak kekuatan ekspresif dari konstruksi linguistik kata, seperti kata al-Kitab (baca: buku) dan al-Qur’an yang nampak sinonim. Baginya al-Kitab itu maknanya lebih umum sedang al-Qur’an lebih spesifik.
Kedua, Shahrour menolak atomisasi makna al-Kitab, sebab dalam keseluruhan teks Alquran terdapat berbagai tema-tema yang berbeda. Dalam keyakinan konservatif, ayat-ayat Alquran semuanya memiliki hubungan dan keterikatan satu sama lain. Namun, bagi Shahrour tidak.
Dalam Alquran, tema-tema seperti ibadah, akhak, muamalah, dll., mempunyai tempatnya masing-masing. Ini juga ada kaitannya dengan perbedaan tentang kenabian dan kerasulan Muhammad Saw. serta ayat muhkam dan mutasyabih. Muhkam berkaitan dengan kenabian dan yang mutasyabih dengan kerasulan. Dan ketiga, konsep nazm dalam Alquran. Keseluruhan konsep Shahrour tentang teks Alquran, terutama yang ketiga ini, berdasar pada teori-teori linguistik yang digagas oleh al-Jurjani.
Baca Juga: Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan
Konsep Pewahyuan: Antara Tanzil dan Inzal
Konsep pewahyuan Alquran, yakni proses turunnya, yang masyhur di kalangan umat muslim hingga saat ini adalah dimulai dari lauhil mahfuz ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.
Definisi ini muncul dan ditransmisikan secara lanjut sejak Imam Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, hingga ulama-ulama setelahnya. Namun, bagai pelayar yang melawan arus, Shahrour menentang pendapat-pendapat itu.
Dengan pembacaan kontemporernya, ia membuat sebuah perbedaan antara dua bentuk dalam wacana keislaman, yaitu: realitas Ilahi yang kekal, tidak berubah, dan absolut; dengan pemahaman manusia yang dapat berubah, parsial, dan relatif. Dengan argumen itu, Shahrour menyimpulkan bahwa upaya-upaya kontemporer dalam menafsirkan Alquran jauh lebih baik dan maju daripada hasil kesarjanaan Islam berabad-abad yang lalu (Hal. 150).
Tanzil dan inzal adalah dua term yang sering dijumpai dalam Alquran untuk menjelaskan konsep pewahyuan. Shahrour menolak sinonimitas dua term ini. Baginya, keduanya sangatlah berbeda. Ia kemudian memberi contoh bagaimana proses wahyu itu berlangsung seperti siaran TV, yaitu melalui empat tahap.
Pertama, al-ja’l (transformasi) pertandingan sepak bola yang direkam melalui kamera dan dikirim ke dunia melalui bentuk gelombang suara dan gambar. Kedua, al-tanzil, gelombang yang mengangkut suara dan gambar ke seluruh dunia terjadi di udara dan di luar jangkauan indra manusia. Ketiga, al-inzal, TV mengubah gelombang itu menjadi suara dan gambar kembali dan tampak dengan indra manusia; Terakhir, persepsi, seorang penonton bisa melihat pertandingan sepak bola tersebut dan masuk ke dalam pengetahuannya.
Baca Juga: Membuka Kembali Perdebatan Klasik Tentang “Apa Itu Al-Qur’an?”
I’jaz dan Penafsiran Alquran
I’jaz bukanlah tentang keistimewaan dan keagungan estetika Alquran, namun jauh daripada itu I’jaz terkait dengan penafsiran atau takwil. Shahrour lebih suka menggunakan term takwil, karena baginya takwil merupakan tasyabbuh: upaya untuk menyelaraskan apa yang absolut (al-Qur’an) dengan pemahaman relatif (nisbiyat fahm) pembacanya. Lebih spesifiknya, ia sebut laku tersebut dengan ta’wil hissi. Dan tentunya takwil di sini berbeda dengan ijtihad-nya ulama fikih, sebab metodologinya pun sama sekali berbeda. (Hal. 166-167)
Christmann tak lupa menyelipkan kritik mengenai pikiran Shahrour ini. Mengutip M.H. Kamali, ia menyebutkan bahwa pandangan Shahrour terhadap perbedaan kategori ayat sangat intens, namun paradoksnya, ia tak menyebutkan secara gamblang apa saja ayat-ayat yang berbeda itu, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara membedakannya.
Namun, begitulah memang sebuah pemikiran, tak ada yang sempurna dan selalu terbuka untuk kritik. Hanya saja, apa yang dilakukan Shahrour ini sungguh membuat cakrawala keilmuan studi Alquran menemukan udara baru. Entah itu udara yang baik atau buruk, hanya waktu yang dapat menilai. Setidaknya, hingga saat ini pemikiran Shahrour masih menjadi pertimbangan para cendikiawan barat dan timur.
Terakhir, komentar dari Christmann terkait tokoh yang dibahasnya ini menarik untuk saya kutipkan, “Because he also suspends any exegetical remarks by other interpreters (which are important only as part of the turath), and because he does not contextualize the meaning of the Qur’an through its historical origin (only the form is historical, the content is moving, i.e. contemporary), his resultant readings are quite unique and have a taste of arbitrariness.”
(Karena ia juga menangguhkan komentar penafsiran para penafsir lain (yang hanya penting sebagai bagian dari turats), dan karena ia tidak mengontekstualisasikan makna Alquran melalui asal-usul historisnya (hanya bentuknya yang historis, isinya bergerak, yaitu ke ranah kontemporer), pembacaan yang dihasilkannya cukup unik dan memiliki cita rasa kesewenang-wenangan) (Hal.157).