Dalam ranah penafsiran Alquran, antusiasme pendekatan linguistik ini tidak bisa terhindarkan. Bagaimana tidak, Alquran sebagai suatu kalam mengisyaratkan bahwa bahasa adalah alat pokok dalam memahaminya. Terlepas dari apakah surface structure dari Alquran masih dalam bentuk oral atau sudah berbentuk scripture, tetap saja bahasa, lebih khusus lagi pemahaman bahasa Arab, menjadi sebuah alat esensial untuk menafsirkan Alquran.
Minat sarjana Muslim dalam menggunakan bahasa sebagai pendekatan penafsiran Alquran bisa dibilang cukup besar, khususnya pada penafsiran era klasik. Kita menemukan nama Abu Zakaria al-Farra’, seorang pakar bidang linguistik yang kemudian menuangkan pengetahuannya dalam kitab berjudul Ma’ani al-Qur’an. Nama semisal al-Zamakhsyari yang menciptakan magnum opus berjudul Tafsir al-Kasysyaf juga muncul sebagai seorang mufassir yang menggunakan bahasa menjadi alat penafsirannya. Hadirnya mufassir-mufassir ini menunjukkan bahwa pendekatan bahasa sangat masif digunakan pada era klasik. Namun, kiranya pada era pertengahan tidak banyak karya tafsir yang mengangkat bahasa sebagai satu metode tafsir secara keseluruhan.
Setelah sedikit melemah pada era pertengahan, nama Aisyah Bint al-Syathi’ hadir untuk mewakili mufassir modern yang menggunakan pendekatan linguistik. Dengan memperkenalkan metode yang dinamakannya dengan metode referensi silang. Metode referensi silang ini berupaya menafsirkan Alquran dengan konsep Alquran yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (satu bagian dari Alquran menafsirkan bagian yang lain) (Syamsuddin, 2022, hlm. 58).
Baca Juga: Bint As-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah
Pada dasarnya, metode referensi silang ini bukanlah metode yang semata-mata diperkenalkan secara ‘baru’ oleh Bint al-Syathi’. Metode ini sudah digunakan dalam periode yang cukup tua dalam histori ilmu tafsir Alquran. Hanya saja, penamaan metode ini dengan sebutan “metode referensi silang” kiranya merupakan satu hal yang diperkenalkan oleh Bint al-Syathi’.
Dalam klaimnya, Bint al-Syathi’ menyebut bahwa prinsip-prinsip yang digunakan dalam metode ini adalah prinsip yang diadopsinya dari yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh Amin al-Khulli di dalam bukunya yang berjudul Manahij Tajdid. Dijelaskan bahwa prinsip pertama adalah al-tanawul al-mawdu’i, yakni sebuah metode pemahaman objektif yang digunakan untuk memahami Alquran dengan cara menghimpun seluruh surat dan ayat yang membahas mengenai tema yang sama.
Selain itu, untuk memahami konsep historisitas yang mengelilingi nash, dibutuhkanlah metode pengorganisiran ayat dengan memperkirakan asbab al-nuzulnya. Ketiga, untuk memahami makna lafadz pada ayat Alquran, diperlukan perhatian mendasar bahwa bahasa Arab merupakan bahasa Alquran. Dari sinilah, kita bisa mencari makna lughawi yang asli dengan memokuskan kepada rasa bahasa yang diberikan oleh ayat-ayat Alquran, dimana penggunaannya akan berbeda di setiap tempat menurut hissiyah dan majaziyahnya. Keempat, untuk memahami rahasia ungkapan yang ada dalam Alquran, kita perlu mencari konteks yang ada di dalam nash (siyaq al-nash), baik yang terkandung secara tekstual maupun secara esensial (Syathi’, 1990, hlm. 10-11).
Dalam prinsip yang telah dijelaskannya di atas, terlihat jelas bahwa Bint al-Syathi’ mengutamakan konsep keobjektifan dari Alquran itu sendiri. Pernyataan ini semakin terlihat dengan menilik kritik-kritik Bint al-Syathi’ yang dilayangkan kepada mufasir-mufasir sebelumnya dengan memokuskan kritikannya kepada pendekatan mereka yang –dalam pandangan Syathi’– tidak tepat dalam menginterpretasi Alquran. Ketidaktepatan pendekatan penafsiran yang dimaksud oleh Syathi’ adalah bahwa mufasir-mufasir sebelumnya telah mengadopsi hal-hal di luar Alquran kemudian memasukkannya ke dalam tafsirnya. Dalam hal ini, kritik-kritik Bintu Syathi’ dikerucutkan kepada penafsiran bernuansa israiliyyat, sektarian, esoteris, dan saintifik.
Selain mengutamakan konsep objektifitas dari Alquran, Bint al-Syathi’ juga menekankan adanya perbedaan setiap ungkapan yang ada dalam Alquran. Hal ini diperkuat oleh pernyataan fenomenal Bint al-Syathi’ yang mengatakan bahwa tidak ada sinonimitas dalam Alquran, bahkan pada contoh dengan lafadz yang sama. Hemat saya adalah agaknya Bint al-Syathi’ berpikir bahwa menemukan perbedaan ungkapan-ungkapan yang disuguhkan dalam Alquran adalah tugas bagi mufassir. Berkaitan dengan prinsipnya, penggalian perbedaan konsep pada setiap ungkapan Alquran ini dengan tetap memperhatikan objektifitas Alquran yang yufassiru ba’dhuhu ba’dhan.
Dari antitesa yang dilayangkan oleh Bint al-Syathi’ kepada mufasir-mufasir terdahulu beserta ide yang ditawarkan olehnya mengenai metode referensi silang, selanjutnya muncullah pertanyaan yang terlintas. Pertanyaan pertama adalah “apakah metode yang ditawarkan oleh Bint Syathi’ adalah metode yang memenuhi standar ideal dan bisa menjawab persoalan dalam penafsiran Alquran?” Pertanyaan kedua adalah “jika pendekatan ala Bintu al-Syathi’ adalah pendekatan yang ideal, apakah Syathi’ mampu konsisten menggunakan prinsip pendekatannya dalam menafsirkan Alquran?”
Baca Juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi
Kritik Penafsiran Bint Syathi’
Sahiron Syamsuddin Dalam bukunya, Studi Kiritis Atas Metode Penafsiran Bin al-Syathi’ mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa ketidakkonsistenan Syathi’ dalam penggunaan metode yang diusungnya. Hal ini terlihat dalam beberapa penafsiran, misalnya pada kasus hurriyat al-aqida (Syamsuddin, 2022, hlm. 86-94).
Menyikapi kasus ini, langkah pertama yang dilakukan Syathi’ adalah menghimpun ayat-ayat yang menjelaskan mengenai pluralisme dalam Alquran. Dalam bukunya yang berjudul Alquran wa Qadhaya, dua ayat utama yang dijadikan pijakan Bint al-Syathi’ adalah Q.S. 10: 99 dan Q.S. 2: 256. Setelahnya, Syathi’ menghimpun ayat-ayat yang menjadi penguat bagi dua ayat tersebut. Kesimpulan argumen penafsiran yang didapatnya adalah bahwa Alquran memperlihatkan konsep-konsep positif terhadap hadirnya agama-agama lain. Oleh Syathi’, hal ini mengindikasikan bahwa Islam mengakui kebebasan beragama bagi semua orang (Syathi’, 1978, hlm. 99-103).
Penafsiran Bint al-Syathi’ ini oleh Sahiron dinilai belum begitu kuat. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia gagal dalam menerapkan metode referensi silang yang diusungnya secara konsisten. Hal ini adalah karena Syathi’ mengabaikan dua ayat yang biasa digunakan untuk menolak gagasan pluralisme, yakni Q.S. 3: 19 dan Q.S. 3: 85, padahal dua ayat ini merupakan ayat yang krusial dalam pembahasan hurriyat al-aqida.
Sahiron meluruskan bahwa kontradiksi Syathi’ dalam persoalan ini adalah karena kesalahan penerapan metode silang yang ia kembangkan. Jika saja ia memaknai kata Islam dengan melihat konteks tekstual yang ada di Alquran dan tetap kukuh pada metodologi yang dikembangkannya, bisa saja penafsiran yang didapatnya akan menjadi hasil yang sempurna. Sebagaimana diketahui, bahwa kata Islam dalam Alquran tidak hanya dimaknai dengan arti agama saja, namun lebih banyak kepada makna keberserahan diri (Syamsuddin, 2022, hlm. 93-95).
Walhasil, dari coretan saya di atas, didapat kesimpulan bahwa metode Bint al-Syathi’ bisa menjadi metode yang ideal jika diterapkan secara konsisten. Tentunya hal ini bukan hal yang mudah, dengan melihat bahwa Syathi’ sendiri tidak bisa menerapkannya secara sempurna. Terkait kritiknya yang mengatakan bahwa Alquran tidak bisa ditafsirkan dengan sesuatu di luar Alquran, kiranya bisa dibahas lebih lanjut.
Wallahu a’lam.