BerandaKisah Al QuranDialektika Teologis dalam Kisah Nabi Syuaib a.s.

Dialektika Teologis dalam Kisah Nabi Syuaib a.s.

Kisah para nabi dan umat terdahulu banyak disebutkan dalam Alquran sebagai bentuk perumpamaan untuk menyampaikan pesan Tuhan. Di antara kisah nabi yang sering disinggung di dalam Alquran adalah kisah Nabi Syuaib a.s. Kisah ini tersebar di berbagai tempat dengan 11 kali penyebutan. Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur’ān al-Karīm, rincian penyebutannya terdapat pada Q.S. al-A’rāf [7]: 85, 88, 90, dan dua kali pada ayat 92; Q.S. Hūd [11]: 84, 87, 91, dan 94; Q.S. asy-Syu’arā’ [26]: 177; dan Q.S. Al-‘Ankabūt [29]: 36 (‘Abd al-Bāqī: 659).

Baca Juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran

Profil Nabi Syuaib dan Kaum Madyan

Nabi Syuaib a.s. dan kaum Madyan yang menjadi objek dakwahnya masih memiliki hubungan kekerabatan. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Nabi Syuaib a.s. adalah anak dari Mikail, keturunan dari kaum Madyan. Banyak pendapat tentang keturunan kaum Madyan dengan Nabi Syuaib as. Keragaman pendapat tersebut salah satunya dihimpun oleh Al-Qurthubī (9: 281).

Alquran juga mengafirmasi hal tersebut dengan bunyi penggalan ayat “wa ila madyana akhāhum syuaiban”. Mayoritas pakar tafsir mengatakan bahwa akhāhum pada ayat tersebut bermakna saudara dalam nasab, bukan persaudaraan pada perkara agama karena Nabi Syuaib a.s. memiliki keyakinan teologis yang berbeda dengan kaum Madyan. Perbedaan itulah yang menjadi alasan diutusnya Nabi Syuaib as., yakni untuk mengajak mereka kembali menyembah Allah swt.

Selain seruan kembali ke tauhid, kaum Madyan juga diminta meninggalkan aktivitas kecurangan dalam praktik perniagaan mereka. Kaum Madyan identik dengan kecurangan mengurangi takaran dan timbangan barang dagangan mereka. Dalam kebanyakan tulisan, aspek ini sering menjadi sorotan utama dan dihubungkan dengan aktivitas perekonomian berbasis tauhid. Sementara itu, sisi lain yang luput dari perhatian kita adalah perdebatan teologis yang disisipkan oleh pakar tafsir dalam kisah Nabi Syuaib a.s.

Baca Juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Mukjizat Nabi Syuaib

Perdebatan tersebut berangkat dari ketiadaan keterangan Alquran mengenai keberadaan dan jenis mukjizat Nabi Syuaib a.s. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah Nabi Syuaib tidak memiliki mukjizat sehingga statusnya berbeda dibandingkan nabi-nabi pada umumnya?

Perdebatan mengenai mukjizat tersebut berawal dari penjelasan perkataan Nabi Syuaib kepada kaum Madyan pada QS. al-A’raf [7]: 85: “qad jā’atkum bayyinatun min robbikum” (telah datang kepada kalian bayyinah dari Tuhanmu).

Dalam menjelaskan makna bayyinah, az-Zuhailī (4: 658) memberikan dua opsi pemaknaan, yakni bayyinah dalam artian ‘argumentasi yang jelas (hujjah zhāhirah)’ atau ‘mukjizat’. Bayyinah meliputi mu’jizat kauniyyah, bukti rasional (al-burhān al-‘aqlī), sesuatu yang menyalahi kebiasaan (khawāriq al-‘ādāt). al-Qurthubī (9: 282) menjelaskan maksud dari bayyinah tersebut adalah kehadiran Nabi Syuaib itu sendiri dengan syariatnya sebagai penjelasan.

az-Zuhailī (4: 661) menegaskan keberadaan mukjizat pada setiap nabi dengan menyertakan hadis yang dikutipnya dari al-Bukhārī no. 7274.

ما من الأنبياء من نبيٍّ ، إلا و قد أُعطَى من الآيات ما مِثلُه آمنَ عليه البشرُ ، و إنما كان الذي أُوتيتُه وحيًا أوحاه اللهُ إليَّ ، فأرجو أن أكون أكثرَهم تابعًا يومَ القيامةِ

“Tidak ada seorang Nabi pun kecuali telah diberi keistimewaan-keistimewaan khusus yang tidak diberikan kepada manusia lainnya sehingga orang-orang beriman padanya. Dan ada pun yang diberikan padaku adalah wahyu yang Allah turunkan kepadaku. Maka aku berharap, bahwa adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.” 

ar-Rāzi (14: 180-181) dan az-Zamakhsyarī (2: 472), keduanya meyakini bahwa mukjizat merupakan bagian penting dan krusial dari seorang Nabi. Tanpa mukjizat, maka yang bersangkutan tidak dianggap sebagai nabi, akan tetapi hanya berpura-pura menjadi nabi saja (al-mutanabbi).

Adapun tidak ditemukannya keterangan Alquran mengenai mukjizat Nabi Syuaib, kedua mufasir tersebut berpendapat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa. Tidak hanya Nabi Syuaib as., beberapa nabi lainnya juga tidak diberitakan mukjizatnya oleh Alquran. Ini bukan berarti bahwa nabi yang dimaksud tidak diberi mukjizat sama sekali.

Meskipun tidak ditemukan dalam Alquran, az-Zamakhsyarī merujuk kepada suatu riwayat yang menyatakan bahwa mukjizat Nabi Syuaib  a.s. adalah tongkat yang diberikan olehnya kepada Nabi Musa a.s. Mukjizat lainnya adalah kebenaran prediksi mengenai kelahiran anak kambing berwarna putih dan hitam yang juga disampaikannya kepada Nabi Musa a.s.

Serangkaian kejadian yang diyakini sebagai mukjizat tersebut terjadi sebelum Nabi Musa a.s. menerima nubuwwah. Golongan Mu’tazilah yang diwakili oleh az-Zamakhsyari dan golongan Asy’ariyyah yang diwakili oleh ar-Rāzī berbeda pemahaman dalam mencerna kejadian tersebut.

Baca Juga: Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

Kelompok Mu’tazilah meyakini bahwa mukjizat diberikan setelah nubuwwah, sedangkan kaum Sunni tidak meyakininya harus seperti itu.  Jika mengikuti alur pikiran kaum Mu’tazilah, maka kejadian yang disebutkan di atas merupakan mukjizat Nabi Syuaib as. Sebaliknya, menurut kelompok Sunni kejadian tersebut merupakan mukjizat Nabi Musa as. karena tidak ada ketentuan mukjizat harus diberikan sesudah nubuwwah. Sebab, dalam realitasnya, ada beberapa mukjizat yang diberikan oleh Allah swt. sebelum seorang nabi menerima nubuwwah.  Kaum sunni menyebutnya sebagai irhas.

Terlepas dari kebenaran antara dua kubu aliran teologi tersebut, perdebatan keduanya menunjukkan bahwa perdebatan teologis tidak hanya dipantik dari ayat-ayat yang sedari awal memang bernuansa teologis, akan tetapi juga dapat hadir pada ayat-ayat kisah. Wallah a’lam

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

0
Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan...