BerandaKisah Al QuranKisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Ada banyak kisah yang ditampilkan dalam Alquran. Tujuannya tentu bukan untuk sekadar mengisahkan suatu peristiwa sejarah. Namun, yang paling penting adalah supaya kisah tersebut menjadi ibrah atau pelajaran bagi pembacanya.

Di antara sekian kisah tersebut adalah kisah Nabi Syu’aib a.s. yang disinggung dalam Q.S. Asysyu’ara [26]: 181-183 yang bunyinya;

أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

(181) Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, (182) Timbanglah dengan timbangan yang adil, (183) Janganlah kamu merugikan hak orang lain dan berbuat kerusakan di muka bumi dengan melampaui batas.

Potongan ayat di atas menggambarkan kisah antara Nabi Syu’aib dengan kaumnya yang disebut dengan Ashab al-Aikah. Mereka adalah kaum yang dijelaskan oleh al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir (10/233) telah dianugerahi dengan tanah yang subur sehingga memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah.

Hanya saja, masih menurut al-Zuhaili, kelimpahan sumber daya itu tidak menjadikan mereka memiliki peradaban yang gemilang karena ada tiga penyakit fatal yang menjangkiti kaum Nabi Syu’aib tersebut (10/234-235), yaitu;

  1. Suka mencurangi timbangan dalam transaksi jual beli dan yang semisalnya.
  2. Biasa menzalimi hak-hak orang lain.
  3. Senang berbuat kerusakan di muka bumi, seperti merusak lahan, menipu, berperang, dan berbagai jenis kerusakan lainnya.

Karena kaumnya ini tidak mengindahkan nasihat Nabi Syu’aib tersebut dan tetap “istikamah” dengan tiga sifat buruk di atas, maka Allah menurunkan hukumannya kepada mereka.

Baca juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran

Jihad melawan korupsi

Jika mencurangi timbangan dalam jual beli saja dilarang oleh syariat, tentu lebih terlarang lagi mengkorupsi uang rakyat. Sebab, skala mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkan korupsi lebih luas dan besar jika dibandingkan dengan “sekadar” mencurangi timbangan.

Maka tepat sekali ketika Hamka dalam Tafsir al-Azhar (7/5162) mengatakan bahwa di antara turunan ayat ini dalam konteks sekarang adalah praktik korupsi. Menurutnya, praktik semacam ini akan membawa mudarat yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat karena hubungan masyarakat yang harmonis itu dibangun di atas landasan saling percaya.

Jika praktik-praktik kecurangan tersebut muncul di masyarakat, maka akan terjadi apa yang Hamka sebut dengan “kerusakan budi” seluruh masyarakat. Akan muncul ketidakpercayaan, ketidakpuasan, hingga pada akhirnya bisa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Artinya, perilaku korup, curang, dan mengambil hak orang lain secara zalim memiliki dampak buruk yang berkepanjangan bagi masyarakat dan peradaban.

Tiga ayat mulia ini seakan-akan berpesan kepada umat manusia di sepanjang zaman agar tidak berlaku curang, korup, dan mengambil hak orang lain secara zalim. Baik itu dalam bentuknya yang “kecil” seperti mencontek ketika ujian atau plagiat karya orang lain dalam penelitian, hingga dalam manifestasinya yang lebih besar seperti menyalahgunakan kekuasaan dan mengkorupsi uang rakyat.

Setelah memberikan tiga nasihat ini, Alquran memberikan solusi untuk tiga penyakit tersebut, yaitu dengan melihat dan mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada umat sebelumnya (termasuk penduduk Madyan) yang telah dibinasakan Allah karena berbuat maksiat dan kerusakan di muka bumi. Demikian dikatakan oleh al-Suyuthi dalam al-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur (11/290-291).

Harapannya, dengan merenungi hal tersebut akan muncul ketakwaan kepada Allah. Dengan takwa tersebut seseorang akan memiliki self-awareness untuk mengontrol tindakannya. Sebab, tidak ada batasan bagi nafsu dan keserakahan manusia. Yang bisa mengendalikannya hanyalah takwa kepada Allah.

Demikian kisah Nabi Syu’aib dalam melawan praktik korupsi yang dilakukan oleh kaumnya, meskipun pada akhirnya kaumnya menentang nasihat beliau seperti yang digambarkan pada ayat-ayat selanjutnya, tepatnya dari ayat 185-189.

Beliau mengkritisi perbuatan kaumnya bukan karena rasa benci, tetapi karena rasa cinta terhadap kaumnya; karena kecurangan semacam itu mungkin bisa memberikan keuntungan semu dan sesaat, sedangkan dampak jangka panjangnya bisa mengancam keharmonisan kehidupan bermasyarakat hingga bernegara. Wallahu a’lam.

Baca juga: Perempuan dan Hak untuk Bekerja dalam Kisah Dua Putri Nabi Syu’aib

Achmad Syariful Afif
Achmad Syariful Afif
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, peminat kajian Ilmu Al-Quran dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...