BerandaKhazanah Al-QuranDinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Sejarah panjang perjalanan dinamika pembelajaran dan perkembangan tafsir Al-Qur’an di Indonesia dimulai terhitung sejak masuknya ajaran Islam di Indonesia. Informasi tentang kapan masuknya Islam di Indonesia tercatat memiliki beragam versi dari masing-masing sumber. Salah satu sumber sejarah menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H dan dibawa dari Arab (Rahman, 2017).

Munculnya tesis baru terkait sejarah masuknya Islam di Indonesia pada abad pertama hijriyah ini merupakan pembetulan dari pendapat yang berkembang sebelumnya. Sehingga dengan masuknya Islam di Indonesia, otomatis sejarah perjalanan dinamika tafsir di Indonesia juga telah dimulai.

Tafsir Periode Pra-Kolonialisme

Munculnya kajian Al-Qur’an di Indonesia tidak terlepas dari awal datangnya Islam di Indonesia, bahkan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kitab suci Al-Qur’an diajarkan dan disampaikan pesan-pesannya oleh penyebar Islam awal baik dari Arab, Gujarat, maupun Persia kepada penduduk pribumi di Nusantara.

Pada tahapannya, kajian Al-Qur’an di Indonesia ini terbagi menjadi dua, yakni memberikan penjelasan tentang model-model kajian awal terhadap Al-Qur’an yang meliputi ruang-ruang sosialnya dan tata-aturan membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Dan selanjutnya adalah mengarah pada proses pergumulan muslim di Indonesia dengan Al-Qur’an yang lebih bersifat akademis dalam bentuk karya tulis atau produk tafsir (Gusmian, 2003).

Sistem pendidikan Islam awal di Indonesia memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “pengajian Al-Qur’an” di surau, langgar, dan masjid. Pengajian tersebut diberikan kepada anak-anak didik sebelum mereka diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (fiqh). Setelah menamatkan pengajian Al-Qur’an, para murid kemudian melanjutkan ke pengajian kitab dengan berbagai disiplin ilmu keislaman (Gusmian, 2003). Dalam pengajian kitab inilah, Al-Qur’an diperkenalkan dengan lebih mendalam melalui kajian kitab tafsir Al-Qur’an.

Baca juga: Empat Catatan Muchlis M. Hanafi atas Perkembangan Tafsir Tematik di Indonesia

Tafsir Periode Kolonialisme Awal

Beralih pada masa kolonialisme awal di Indonesia, dinamika kajian Al-Qur’an tidak selesai hanya pada sebatas kajian mempelajari Al-Qur’an. Berawal dari pentingnya Al-Qur’an yang disampaikan dengan gaya lokalitas, dari sini kemudian muncul para mufasir yang menulis karya tafsir untuk disampaikan kepada masyarakat setempat. Baik itu dalam wilayah lokal, pesantren, maupun dalam skala nasional.

Salah satu literatur karya tafsir yang ditemukan pada masa kolonialisme awal adalah adalah Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya dari Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693). Banyak sumber mengatakan bahwa bahwa tafsir tersebut merupakan tafsir pertama yang disusun lengkap 30 juz di Indonesia. Tafsir ini dicetak dan tersebar luas di daerah Malaysia, Sumatra, dan Jawa. (Riddel, 2001) Adapun corak yang mendominasi pada tafsir ini adalah penafsiran dengan corak sufistik.

Jika ini dikaitkan dengan sejarah awal masuk Islam di Nusantara, khususnya di Indonesia, penafsiran dengan corak sufistik ini memiliki keterkaitan dan kecocokan antara penyebar awal Islam di Indonesia yang notabenenya adalah para pendakwah dengan latar belakang tasawuf.

Ajaran tasawuf sendiri terbilang cukup kental di daerah Gujarat, India. Selain itu, Al-Sinkili sendiri merupakan salah seorang pendatang yang datang dari daerah Sinkil, India. Dan beliau juga merupakan salah seorang tokoh yang ahli dalam bidang tasawuf, sehingga corak yang muncul dalam karya kitab tafsirnya sangat kental dengan corak sufistik yang sesuai dengan latar belakang beliau.

Tafsir Periode Kolonialisme Akhir

Berlanjut pada masa kolonialisme akhir (abad 19 akhir), muncul sebuah karya tafsir yang berbahasa Melayu-Jawi, yakni Kitab Faraid Al-Qur’an. Tafsir ini tidak diketahui penulisnya, alias anonim. Tafsir tersebut ditulis dalam bentuk yang sederhana, tampak seperti artikel tafsir. Objek kajian pada tafsir ini adalah pembahasan mengenai harta waris (Gusmian, 2003).

Dilihat dari judul tafsirnya, sudah sangat terlihat bahwa tafsir tersebut kental dengan corak fikihnya. Umat Islam pada masa itu sudah berkembang sedemikian rupa, dan ajaran Islam yang dibutuhkan pada masa tersebut adalah persoalan praktik sosial-ubudiyah. Dalam hal ini fikih menjadi alternatif dalam pembelajaran dan memberikan jawaban masalah atas problem umat yang terjadi pada saat itu.

Selain itu ditemukan pula penulisan tafsir secara utuh, yakni al-Tafsīr al-Munīr li Ma’ālim al-Tanzīl karya Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879 M). Tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Meski ditulis oleh putra tanah air, tafsir ini ditulis di luar Indonesia, yakni di Makkah (Ma’arif, 2017). Tidak banyak tafsir yang ditemukan pada kurun waktu periode kolonialisme ini. Sebagaimana yang diketahui, bahwa menafsirkan dan memahami Al-Qur’an dibutuhkan waktu yang lama serta butuh ilmu yang banyak dan kompleks.

Minimnya kemunculan tafsir di periode ini boleh jadi disebabkan kondisi bangsa Indonesia saat itu yang sedang berada dalam jajahan Belanda. Di mana kondisi yang begitu intens dengan perlawanan dan peperangan untuk mengusir penjajah agar mendapatkan kemerdekaan.

Baca juga: Serial Diskusi Tafsir: Pengaruh Kesarjanaan Barat dalam kajian Tafsir di Indonesia

M. Zia Al-Ayyubi
M. Zia Al-Ayyubi
Mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa disapa di @zia_muhammad15 atau di FB, M Zia Al-Ayyubi
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...