Tafsir Al-Azhar merupakan salah satu tafsir Al-Quran yang ditulis dengan bahasa Indonesia, karena kebetulan penulisnya berkebangsaan Indonesia. Penulisnya adalah ulama sekaligus sastrawan Tanah Air bernama Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan nama singkatnya, yaitu Buya Hamka.
Buya Hamka lahir di Desa Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada 16 Februari 1908 dan wafat di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981 di umur 73 tahun. Beliau merupakan ketua MUI yang pertama menjabat. Sepanjang hidupnya, ia aktif di partai Masyumi dan ormas Muhammadiyah. Ketokohannya diakui dunia setelah dianugerahi gelar doktor kehormatan (H.C.) oleh Universitas Al-Azhar dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Tafsir Al-Quran tidak semuanya dan memang tidak harus berbahasa Arab, meski Al-Quran berbahasa Arab. Memang untuk menafsirkan Al-Qur’an secara langsung, atau menjadi mufassir harus memiliki kemampuan pemahaman bahasa Arab yang mumpuni. Kriteria ini misalnya dapat kita lihat dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Suyuti, tapi mufassir tidak diharuskan untuk menjelaskan penafsirannya dalam bahasa Arab.
Oleh karena itu, untuk bisa memahami Al-Quran tidak perlu sampai menunggu bisa memahami bahasa Arab. Bisa dengan membaca kitab tafsir yang ditulis para ulama dengan menggunakan bahasa lokal. Tentu dengan tetap selektif memilih tafsir-tafsir yang otoritatif dan kredibel. Tafsir yang dikarang oleh Buya Hamka ini adalah salah satunya.
Ini juga yang menjadi salah satu masalah yang disadari Buya Hamka sendiri sekaligus yang memicu beliau untuk menulis Tafsir Al-Azhar ini dengan bahasa Indonesia. Dalam pengantarnya, beliau mengatakan:
“… Tetapi, sebagai kita katakan tadi ada soal lain yang mendesak, sehingga pekerjaan ini wajib diteruskan. Yaitu sangat bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa Melayu hendak mengetahui isi al-Quran di zaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Beribu bahkan berjuta sekarang angkatan muda Islam mencurahkan minat kepada agamanya, karena menghadapi rangsangan dan tantangan dari luar dan dari dalam. Semangat mereka terhadap agama telah tumbuh, tetapi “rumah telah kelihatan, jalan ke sana tidak tahu”, untuk mereka inilah khusus yang pertama “Tafsir” ini saya susun.”
Baca juga: Kenali Syarat Menjadi Mufassir
Tafsir Al-Azhar bisa menjadi alternatif bagi masyarakat awam atau pemula yang ingin memahami Al-Quran, namun terkendala kemampuan bahasa Arab. Selain itu, tafsir ini pembahasannya cukup akrab dengan dengan pembaca dari tanah air. Buya Hamka sering menghubungkan penafsirannya dengan kultur, budaya, dan momen sejarah yang terjadi di Indonesia.
Misalnya ketika beliau menjelaskan bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan takwa dengan merujuk pada kesimpulan dari Konferensi Kebudayaan Islam pada tahun 1962 di Jakarta (hal. 115).
Begitu pula ketika beliau menjelaskan keragaman penyebutan Allah atau Tuhan di Nusantara. Suku Jawa misalnya menyebut-Nya Gusti Allah. Orang Sunda dengan sebutan Pangeran. Orang Bugis dengan gelar Poang. Dan orang Hindu-Bali menyebut Tuhannya dengan Sang Hyang Widhi. Buya Hamka menerangkan bahwa penyebutan Tuhan bisa saja berbeda-beda di tiap daerah atau bahasa, namun Dia tetap Zat Yang Maha Esa, tak berbilang (hal. 69).
Tafsir Al-Azhar ini konon berasal dari materi pengajian tafsir yang disampaikan Buya Hamka secara rutin di Masjid Agung Al-Azhar di Kemayoran, Jakarta. Ketika beliau berselisih dengan pemerintah dan dipenjarakan, beliau mendapatkan ilham untuk menuliskan materi pengajian tersebut di balik jeruji besi. Hingga kemudian beliau berhasil menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar selama dua tahun berada di penjara.
Baca juga: Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab