Jika Az-Zarqani dalam Manahil Al-Irfan fi Ulumil Quran mengatakan bahwa tafsir adalah upaya untuk mendapatkan petunjuk tentang maksud Allah dalam ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan kadar kemampuan seseorang, maka pembacaan Nyai Hj. Sinta Nuriyah tentang makna puasa yang coba diulas kali ini bisa diselipkan ke dalam riuhnya penafsiran surah Al-Baqarah ayat 183. Makna puasa menurut Sinta Nuriyah meliputi dua dimensi, dimensi peribadatan spiritual dan dimensi sosial.
Mengenal Nyai Sinta Nuriyah
Perempuan kelahiran Jombang 70 tahun lalu ini merupakan sosok pejuang kemanusiaan yang tidak kenal lelah. Di usia yang tidak lagi muda beliau masih aktif di beberapa kegiatan kemanusiaan, khususnya di yayasan yang dipimpinnya, Yayasan Puan Amal Hayati, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang advokasi dan konseling terhadap perempuan dan anak korban kekerasan.
Darah pesantren mengalir dalam dirinya, ia lahir dan besar di lingkungan pesantren. Menikah pun juga dengan orang pesantren, suaminya, KH. Abdurrahman Wahid adalah putra dari pengasuh pesantren Tebuireng, Jombang, sekaligsu cucu dari ulama besar, pendiri jamiyah besar, Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asyari. Sebelum pindah ke Jakarta, kehidupan rumah tangga di masa-masa awal ia lalui di Pesantren Manba’ul Maarif, Denanyar Jombang.
Baca Juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir
Alumni Madrasah Muallimat Tambak Beras, Jombang ini mengawali pendabdiannya dengan mengajar di Pesantren Denanyar, Pesantren Tebuireng, dan Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Tidak hanya di pesantren dengan tradisi keagamaanya yang sangat kental, Sinta Nuriyah juga bisa dengan cepat beradaptasi dengan bisingnya suasana ibu kota. Tahun 1980 ia sekeluarga pindah ke Jakarta dan di situ ia memulai karirnya yang tentu amat berbeda dengan sebelumnya.
Jurusan Qodlo’, Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga yang menjadi latar belakang pendidikannya tidak menghalangi perempuan yang sangat aktif ini untuk berkarir di dunia jurnalistik. Ia pernah menjadi seorang wartawan di majalah keluarga, “Zaman”, dan kemudian majalah pria “Matra”. Sedang untuk urusan perempuan, ibu empat orang anak ini pernah mewakili organisasi muslimat di KNKWI (Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia), juga KOWANI (Kongres Wanita Indonesia).
Keterlibatannya dalam organisasi perempuan, membuat Sinta Nuriyah tertantang untuk meyeriusi kajian tentang peran agama dalam kehidupan perempuan. Untuk itu, ia memutuskan untuk mengikuti kuliah tentang Kajian Wanita dan Gender di Universitas Indonesia. Perjuangan berat harus ditempuh nyai Sinta Nuriyah dalam menyelesaikan kuliahnya kali ini, karena di awal semester ia mengalami kecelakaan mobil yang kemudian berakibat tidak baik pada fisik beliau.
Pengalaman lain yang tidak bisa dilewatkan dari perjalanan hidup seorang Nyai Sinta Nuriyah adalah ketika ia menjadi Ibu Negara mendampingi suaminya, Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Jika sebelumnya ia pernah memimpin pesantren dan beberapa organisasi perempuan yang terdiri dari komunitas yang masih terbatas, kali ini tidak lagi. Ia menjadi ibu dari semua rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama dan budaya.
Pengalaman-pengalaman Nyai Sinta Nuriyah, mulai dari pesantren, organisasi perempuan, dunia jurnalistik, hingga menjadi Ibu Negara ini yang kemudian memberi warna dalam spektrum pola pikir beliau, sebagaimana beliau utarakan ketika menyampaikan pidato pengukuhan pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh UIN Sunan Kalijaga, Desember 2019 lalu. Pola pikir tersebut yang ia bawa ketika memaknai puasa dalam surah Al-Baqarah ayat 183.
Nyai Sinta Nuriyah juga mempunyai beberapa karya yang telah diterbitkan, antara lain Wajah Baru Relasi Suami Istri, Telaah Kitab Uqudul Lujayn, Kembang Setaman Perkawinan, Analisis Kritis Kitab Uqudul Lujayn dan lainnya.
Baca Juga: Mengulik Makna Puasa Ramadhan: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183
Makna Puasa menurut Sinta Nuriyah
Ulasan tentang makna puasa ini ia sampaikan dalam pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa oleh UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Desember 2019 silam dengan judul Inklusi dalam Solidaritas Kemanusiaan, Pengalaman Spiritualitas Perempuan dalam Kebhinnekaan.
Ayat tentang puasa dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Dalam memaknai puasa pada ayat ini, Nyai Sinta Nuriyah tampak sekali menekankan pada awal dan akhir ayat, yaitu tentang puasa dan hubungannya dengan takwa. Menurutnya, puasa bukan hanya sebagai seremonial ibadah tahunan belaka, tapi ibadah puasa adalah media atau jalan untuk berproses menjadi manusia yang bertakwa, sebagaimana petunjuk yang tertera pada ayat.
Terinspirasi dari penjelasan Hasan Al-Bashri tentang takwa, Nyai Sinta Nuriyah meyakini bahwa ukuran takwa itu tidak hanya di hati, ketakwaan seseorang dapat dilihat dari perilakunya, yaitu ketika ia melakukan interaksi sosial dengan sesamanya. Lebih jelas lagi, ia mengatakan bahwa ketakwaan bukan hanya urusan akhirat, tetapi sangat berkaitan dengan fakta kehidupan sehari-hari, yaitu ketika berinteraksi sosial dengan sesamanya.
Dengan demikian, puasa bagi Nyai Sinta Nuriyah bukan hanya ibadah yang melibatkan Allah saja, tetapi juga erat hubungannya dengan manusia yang lain. Tidak heran kemudian jika ia memahami puasa sebagai ibadah yang mempunyai dua dimensi makna.
Puasa menurut Sinta Nuriyah mempunyai dua dimensi makna, dimensi spiritual dan dimensi sosial. Memiliki dimensi spiritual karena puasa adalah perintah dari Allah, dan seseorang yang menjalankan perintah Allah berarti ia taat dan patuh kepadaNya.
Baca Juga: Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187
Sedangkan dimensi sosialnya adalah, puasa dapat meningkatkan empati dan solidaritas sosial terhadap sesama manusia, meningkatkan kepekaan terhadap penderitaan orang lain, menghargai kemanusiaan, dan berakhlak. makna dimensi sosial puasa ini dapat diperjelas dalam poin-poin berikut:
- Puasa sebagai sarana pengendalian diri, karena pada saat berpuasa seseorang harus mampu menguasai dirinya dari dorongan-dorongan yang bersifat kesenangan atau materi, karena menahan diri untuk tidak makan-minum, juga tidak berhubungan seksual, padahal sebenarnya mampu untuk melakukan semua itu.
- Puasa meningkatkan empati dan solidaritas sosial terhadap sesama manusia. Rasa lapar dan haus ketika berpuasa memberi kesempatan tubuh seseorang untuk ikut merasakan penderitaan orang lain yang tidak makan-minum berhari-hari.
- Puasa mengajarkan tentang persaudaraan sejati. Dengan melatih diri ikut merasakan penderitaan orang lain, maka mulai muncul kepedulian terhadap orang lain tersebut, tanpa memperhitungkan latar belakang agama, suku, budaya, status sosial dan seterusnya. Inilah yang sebelumnya di sebut dengan menghargai kemanusiaan, satu bentuk perilaku takwa.
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2000, Sinta Nuriyah menyelenggarakan kegiatan sahur keliling bersama kaum dhuafa, kaum marjinal, tukang becak, pengamen, pemulung, dan semacamnya. Sangat dimungkinkan berawal dari pengalaman inilah makna dimensi sosial dari puasa diproduksi oleh seorang Sinta Nuriyah, atau kemungkinan lainnya adalah karena mengetahui dimensi sosial dari puasa maka kegiatan-kegiatan sosial bernilai kemanusiaan semakin ia semarakkan.
Memaknai puasa dengan pengendalian diri bukan hal yang baru, namun melihat puasa sebagai ajaran tentang persaudaraan sejati, memanusiakan manusia, terlebih lagi dikonkritkan dengan kegiatan sahur keliling, membuat pemaknaan puasa Nyai Sinta Nuriyah melampaui tafsir dari para mufasir dan ulama sebelumnya.
Semoga Nyai Sinta Nuriyah dan keluarga senantiasa diberi kesehatan, dan kita bisa meneladani apa yang dicontohkan beliau. Amin
Selamat Berpuasa!