Penafsiran ayat-ayat relasi gender menghasilkan beberapa kesimpulan berbeda. salah satunya adalah cenderung mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan, sementara pihak yang lain menolak adanya kesetaraan. Perselisihan ini muncul tidak secara tiba-tiba, tetapi ada faktor yang memicu terjadinya perbedaan tersebut.
Menurut Adnan Gunawan dalam Women and The Glorious Qur’an, setidaknya, terdapat dua faktor yang menjadi pemicu, yakni; faktor bahasa dan non-bahasa.
Faktor Non-Bahasa
Pertama, adanya bias metodologi tafsir. Dua metodologi tafsir, yakni tahlili/tajzi’i dan maudhu’i (tematik) memiliki perbedaan hasil penafsiran yang sangat signifikan. Karakteristik tahlili yang dalam penerarapannya menghasilkan tafsir Al Quran secara parsial berdasarkan urutan mushaf utsmani menjadikan metodologi ini terkesan atomistik.
Hal ini jauh berbeda dengan metodologi maudu’i yang menurut Quraish Shihab, diartikan dengan metode tafsir yang berorientasi pada satu topik. Kemudian menginventarisir ayat-ayat tentang topik itu untuk digali nilai universalnya.
Dengan langkah ini, akan menghasilkan tafsir yang holistik, karena telah melalui proses penelusuran topik itu di seluruh ayat yang berkesinambungan lalu menemukan ide pokok/maksud umum dari ayat-ayat itu.
Perbedaan penerapan dua metodologi tersebut dapat kita lihat misalnya, pada firman Allah QS. An-Nisa’ ayat 3 tentang poligami. Bila menggunakan metodologi tahlili, maka akan memunculkan kesimpulan kompensasi berupa poligami.
Lain halnya bila memakai metodologi maudhu’i, yang akan melahirkan hasil akhir berupa larangan berbuat tidak adil.
Kedua, adanya bias pada literatur Fiqh. Fiqh yang seharusnya menjadi perangkat hukum Islam yang fleksibel, sesuai dengan kultur dan pengalaman masing-masing kelompok masyarakat pada praktiknya terasa rigid, karena diasumsikan sebagai suatu aturan yang fundamental dan tidak bisa diubah.
Hal ini misalnya dapat kita jumpai di sebagian besar masyarakat muslim Indonesia, yang fanatik pada fiqh empat madzhab (Syafi’iyyah, Hanabilah, Malikiyah, dan Hanafiyah). Menurut mereka, 4 madzhab itulah yang benar. Padahal, tidak ada satu pun dari pendiri madzhab itu yang mendeklarasikan ajarannya sebagai ajaran mutlak di daerah tertentu.
Bias-bias penerapan Fiqh yang tidak lagi fleksibel memicu berbedaan tafsir ayat relasi gender. Para pemegang otoritas keagamaan yang tidak melakukan pengembangan fiqh, akan menerapkan pranata fiqh berdasarkan literatur jadul, sehingga kebijakannya kurang relevan dengan situasi aktual.
Ketiga, pengaruh kisah Isra’iliyyat. Banyak dari kisah Isra’iliyyat yang bersinggungan dengan relasi laki-laki dan perempuan mengindikasikan bahwa perempuan adalah kaum marginal. Misalnya, tentang asal penciptaan perempuan.
Adnan Gunawan melampirkan beberapa kisah Israi’iliyyat tentang asal mula perempuan. Di antara kisah itu; perempuan adalah makhluk kedua, keberadaannya hanya pelengkap laki-laki, dan perempuan penyebab manusia diusir dari surga.
Kisah Isra’iliyyat di atas bertentangan dengan dakwah Nabi, yang sarat akan egaliterianisme, toleransi, dan kesetaraan. Menurut Al-Hilali dan David S Power, penggantian Nama Yatsrib menjadi al-Madinah al-Munawwarah adalah karena kota itu dihuni beragam agama dan suku.
Nabi Muhammad juga berhasil menjunjung martabat perempuan yang semula hina di masa Jahiliyyah. Ia bahkan sukses menunjukkan kesetaraan posisi antara laki-laki dan perempuan di ranah sosial, mulai dari pengusaha, politisi, hingga menjadi prajurit di medan perang.
Faktor Bahasa
Pertama, perbedaan dalam dan memahami diksi. Penafsiran yang bervariasi kerap timbul dari perbedaan pemahaman pembaca terhadap suatu diksi dalam Al Quran. Sebagai contoh senderhana, pemahaman firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah ayat 6 tentang hal yang membatalkan wudhu. Berangkat dari perbedaan pemahaman diksi aw laamasatumunnisa’, lahirlah beragam penafsiran.
Menurut Imam Syafi’i, diksi tersebut berarti menyentuh lawan jenis yang bukan mahram secara mutlak. Sementara itu, menurut Imam Malik, berarti menyentuh lawan jenis dengan adanya hasrat seksual.
Berbeda dengan dua penafsiran sebelumnya, Imam Abu Hanifah tidak mengartikan diksi tersebut dengan menyentuh, melainkan melakukan hubungan badan.
Kedua, bias pada rujukan kata ganti (dhamir). Misalnya, pada penafsiran QS. An-Nisa’ ayat 1 yang menuai kontroversi. Rujukan dari kata ganti ha’ pada frasa minha zawjaha menjadi pemicunya. Menurut sebagian mufassir klasik seperti az-Zamakhsyari, kata ganti ha’ kembali pada nafsin wahidah yang diartikan dengan Adam.
Sementara itu, beberapa mufassir seperti Abu Muslim ash-Ashfahani, menyatakan bahwa kata ganti ha’ kembali pada nafsin wahidah, yang ia artikan sebagai jenis yang tunggal. Perbedaan ini berimplikasi pada pemahaman muasal laki-laki dan perempuan, apakah dari satu jenis yang sama seperti pendapat kedua, atau perempuan dari tulang rusuk laki-laki seperti pendapat pertama.
Ketiga, perbedaan qira’at. Cara baca Al Quran yang bervariasi juga dapat berimplikasi pada perbedaan pemahaman terhadap ayat relasi gender. Misalnya, pada QS. Al-Baqarah ayat 222, tentang waktu suci bagi perempuan yang telah usai menstruasi.
Diksi “yathurn” yang menjadi kata kunci memiliki dua variasi qira’at. Pertama, dibaca dengan tashdid, yang berimplikasi pada pehaman bahwa status suci dari hadas bagi perempuan yang mesntruasi ialah ketika sudah mandi besar. Kedua, dibaca tanpa tashdid, yang berimplikasi pada pemahaman bahwa status suci dari hadas ialah ketika darah menstruasi telah berhenti.
Keempat, bias pada struktur bahasa dan kamus Bahasa Arab. Bias yang ditimbulkan oleh struktur Bahasa Arab dapat dijumpai pada kata qawwamuna dalam QS. An-Nisa’ ayat 34. Al-Hilali dan Yusuf Ali menafsirkan kata itu dengan penjaga.
Lain halnya dengan Tafsir Departemen Agama, yang mengartikannya dengan pemimpin (laki-laki merupakan pemimpin perempuan). Hal ini menunjukkan, struktur Bahasa Arab yang memiliki banyak makna, berimplikasi pada kontradiksi pemaknaan ayat relasi gender.
Di sisi lain, Kamus Bahasa Arab yang cenderung mengidentikkan kekuatan atau hal-hal positif lainnya pada laki-laki, juga turut mempengaruhi penafsiran ayat relasi gender. Sebut saja, Kamus Lisanul Arab, salah satu kamus babon Bahasa Arab.
Di dalamnya, diksi imam (diksi yang menunjukkan kepemimpinan dan otoritas), yang bahkan dijelaskan sebanyak 3 halaman tidak memiliki bentuk feminin. Begitu pula diksi khilafah (pemimpin), meski secara redaksi berbentuk feminin, kamus Lisanul Arab justru menegaskan bahwa khilafah menjadi istilah untuk laki-laki saja.
Parahnya lagi, di beberapa tempat, diksi yang mengarah pada perempuan dikonotasikan dengan kerendahan. Misalnya, kata al-untsa, derivasi dari antsa diartikan dengan “lemah dan lembut”.
Sedangkan kata adz-dzakar diidentikan dengan kekuatan, seperti rajulun zakarun (laki-laki kuat lagi berani), atau matharun zakarun (hujan lebat). Inilah yang kemudian mengantarkan kita pada pehamanan bahwa perempuan itu makhluk yang lemah, sementara laki-laki kuat dan berani.
Dua faktor yang kompleks itu masih menjadi PR besar bagi kita untuk menghilangkan kekaburan pemahaman ayat relasi gender. Sekaligus, membangkitkan kembali ruh kesetaraan, keadilan, dan toleransi yang dahulu telah diajarkan oleh Nabi. Wallahua’lam[]