Berbicara tentang agama atau kehidupan, tidak terlepas dari “figur sentral” yang disebut dengan tuhan. Kata ini merupakan poros dan inti dari ajaran baru agama. Di dalam Alquran ada beberapa kata yang menunjukkan pada makna Tuhan. Di antaranya adalah kata “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun”( إِلٰهٌ).
Kata ilahun muncul dalam surah Al-Baqarah ayat 221. Kata rabbun muncul dalam Alquran surah Al-Fatihah ayat 2. Dalam terjemah standar mushaf Indonesia terbitan Kementerian Agama (Kemenag) RI, dua kata ini diartikan sebagai tuhan.
Maka dari itu terdapat kemenarikan untuk mengkaji pembahasan ini dengan mengambil perspektif salah satu ulama tafsir, yakni Ash-Shabuni. Artikel ini akan memaparkan pandangan Ash-Shabuni tentang kedua lafaz bermakna tuhan, yaitu “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun” ( إِلٰهٌ).
Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Rabbun” (رَبٌّ)
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (Q.S. Al-Fatihah: 2).
Dalam kitab Safwat al-Tafasir, Ash-Shabuni menafsirkan kata rabbun yang diambil dari potongan Q.S. Al-Fatihah: 2 sebagai berikut.
“Ar-rabbu (الرَّبُّ) merupakan derivasi dari kata tarbiyah (تَرْبِيَّةُ), yang memiliki arti memperbaiki perkara-perkara orang lain dan memelihara urusannya. Al-Harawi berkata, dikatakan terhadap orang yang melakukan upaya perbaikan sesuatu dan menyempurnakaannya dengan istilah qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), artinya orang tersebut telah memperbaikinya atau telah mebuat baik baginya. Dari kata Rabbun (رَبٌّ) muncul kata Rabbaniyu (رَّبَّنِيُّوْنَ), karena mereka melaksanakan perbuatan-perbuatan berdasarkan kitab.
Kata Ar-rabbu (الرَّبُّ) dimutlaqkan atas banyak makna, yaitu al-malik artinya pemilik, al-mushlih artinya orang yang membuat baik atau perbaikan, al-ma’bud yang disembah, dan sayyid al-mutha’ artinya tuan yang ditaati.”
Baca juga: Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran
Keempat makna ini saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang keagungan nama “Ar-rabbu”. Ketika seorang muslim menyebut “Ya Rabb”, ia tidak hanya mengakui Allah sebagai pemilik, tetapi juga sebagai pengatur, pemelihara, yang berhak disembah, dan tuan yang wajib ditaati.
Jika kita tarik lebih dalam, pemaknaan kata rabbun yang didasarkan pada perkataan Al-Harawi qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), bahwa kata rabbun digunakan untuk menggambarkan tindakan memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu.
Ini sebagaimana contoh penggunaan rabbun dalam salah satu doa yang terdapat dalam Q.S. Ibrahim ayat 14 berikut.
رَبَّنَا ٱغْفِرْ لِى وَلِوَٰلِدَىَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ ٱلْحِسَابُ
Ya Tuhan kami, berilah ampunan kepadaku, kedua ibu bapaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).
Di sini, “rabbun” digunakan dalam konteks permohonan kepada Allah sebagai Tuan yang memiliki kekuasaan untuk mengampuni.
Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Ilahun” ( إِلٰهٌ).
وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Menurut As-Shabuni dalam kitab tafsir Safwat al-Tafasir:
“Al-Ilahu (الإله) adalah sesuatu yang disembah, baik benar atau batil. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 163, ilahun ( إِلٰهٌ) di sini bermakna zat yang disembah dengan hak, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam.”
Menurut Ash-Shabuni, surah Al-Baqarah 163, bermakna “Tuhan kalian yang berhak untuk disembah adalah Tuhan Yang Esa. Tidak ada yang menyamainya dalam zat-Nya dan tidak ada pula yang menyamainya dalam sifat-sifat-Nya maupun dalam perbuatan-perbuatan-Nya.”
Baca juga: Sepuluh Perintah Tuhan dalam Alquran dan Al-Kitab: Membaca Argumen Sebastian Günter
Penjelasan Ash-Shabuni mengenai kata “ilahun” yang pada dasarnya berarti sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil, memberikan konteks penting mengapa penekanan dalam Islam adalah pada “ilahun” yang hak, yaitu Allah Swt. bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam zat, sifat, maupun perbuatan.
Begitu pula dengan penafsiran kalimat “La ilaha illallah” yang tidak hanya sekadar peniadaan sesembahan selain Allah, tetapi juga penegasan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah, sumber segala nikmat dan kebaikan.
Kesimpulan Analisis Rabb dan Ilah Perspektif Ash-Shabuni
Menurut Ash-Shabuni, kata rabb (رَبٌّ) dan ilah ( إِلٰهٌ), meskipun keduanya diterjemahkan sebagai “Tuhan”, tetapi memiliki perbedaan konseptual yang signifikan. Rabb memiliki makna yang lebih luas, berakar dari kata tarbiyah yang mencakup kepemilikan, perbaikan, pengaturan, pemeliharaan, ketaatan, hingga penyembahan.
Ini mengimplikasikan peran aktif Tuhan dalam memelihara, membimbing, dan menyempurnakan seluruh alam semesta, baik secara spiritual maupun material. Fokus konseptual rabb terletak pada relasi antara Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur dengan ciptaan-Nya, mengakui kekuasaan dan bimbingan Allah dalam segala aspek kehidupan.
Baca juga: Otoritas Keagamaan dan Upaya Menafsirkan Kehendak Tuhan
Sebaliknya, kata ilah (إِلٰهٌ) secara fundamental merujuk pada sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil. Dalam konteks Islam, ilah yang hakiki adalah Allah Swt, dan penekanannya terletak pada aspek ketauhidan, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Zat yang berhak diibadahi.
Fokus konseptual ilah tertuju pada akidah dan ibadah, sebagaimana termanifestasi dalam kalimat la ilaha illallah, yang menegaskan keesaan Tuhan dalam peribadatan dan menolak segala bentuk penyekutuan. Dengan demikian, rabb menyoroti peran aktif Tuhan dalam pemeliharaan alam semesta, sementara ilah menekankan keesaan dan hakikat Allah sebagai satu-satunya yang layak disembah.