Eksklusivitas Islam dalam Alquran dan Kesalahpahaman Tentangnya

Eksklusivitas Islam dalam Alquran dan Kesalahpahaman tentangnya
Eksklusivitas Islam dalam Alquran dan Kesalahpahaman tentangnya

Kata “eksklusif” merupakan serapan dari bahasa Inggris exclusive yang bermakna terbatas pada personal atau kelompok tertentu. Secara etimologi, kata exclusive digunakan pada pertengahan abad 15M dari bahasa Latin, exclusivus dari kata dasar excclus, istilah tersebut digunakan dalam monopoli, warlaba. Istilah yang lebih tua lagi, exclude digunakan sejak abad 14M yang bermakna menjauhkan, menutupi, dan menghalangi.

Melalui definisi tersebut, eksklusif memiliki inti makna berupa membatasi dan berbeda. Dalam KBBI sendiri, eksklusivisme diartikan sebagai paham yang berkecenderungan memisahkan diri dari masyarakat. Dari pemahaman ini, seseorang yang berkebiasaan menutup diri dari hiruk pikuk sosial masyarakat dapat dikatakan sebagai eksklusif.

Dalam diskursus toleransi, eksklusivisme adalah lawan dari Inklusivisme. Didalam konteks beragama, Inklusivisme adalah satu sikap kesadaran individu akan adanya kesamaan nilai-nilai atas perbedaan baik itu agama maupun kepercayaan. Sebaliknya, eksklusivisme adalah paham yang menganggap kelompok atau dirinya saja yang paling benar.(Al-Quran Kitab Toleransi, hlm. 176 )

Perlu diketahui, hampir semua agama memiliki ajaran eksklusif. Sebagai contoh, dalam ajaran katolik, konsili vatikan II tentang ketiadaan keselamatan diluar Gereja.(Mencari Dasar Bersama, hlm. 50) Dalam Islam, sebagaimana diutarakan Gus Dur dalam suatu pengajian juga menyatakan bahwa Agama paling benar adalah Islam. Ajaran eksklusif terkhusus pada akidah dan ibadah sebagaimana ditegaskan pada fatwa MUI tahun 2005.

Salah satu sebab yang menjadikan sikap eksklusivisme mengganggu stabilitas publik adalah ekspresi yang dilakukan oleh orang yang meyakininya. Sikap eksklusif tidak menjadi masalah bila diterapkan dalam bentuk keyakinan, tetapi menjadi sebuah permasalahan bila sikap tersebut diimplementasikan dalam bentuk ekspresi beragama yang berlebihan. Pada tingkatan selanjutnya, tindakan beragama yang dilatarbelakangi oleh sikap eksklusif dapat bermuara pada ekstrimis dan terorisme.

Dua sikap tersebut (inklusivisme dan eksklusivisme) seakan menjadi dua kutub yang saling bertentangan. Sebagaimana penelitian yang ditulis Abu Bakar bahwa Inklusivisme dan Eksklusivisme merupakan dua kelompok yang berbeda. Letak perbedaan terdapat pada cara pandang terhadap Ajaran dan nilai-nilai Islam. (Argumen Al-Qur’an Inklusivisme Dan Pluralisme, Jurnal Toleransi, Vol. 8, No. 1)

Eksklusivitas Islam dalam Alquran

Dalam Islam meski banyak mengajarkan tentang nilai-nilai inklusif tetapi ada kalanya ajaran tersebut terprivatisasi milik Islam semata. Salah satunya dapat dilihat pada sebab turunnya surah Alkafirun. Salah satu riwayat tentang turunnya surah Alkafirun adalah tentang perjanjian antara Kafir Quraisy dengan nabi. Kaum Kafir Quraisy menawarkan kepada nabi untuk bersedia menyembah Allah (masuk Islam) selama satu tahun dengan syarat nabi mengikuti agama mereka selama satu tahun. Atas penawaran tersebut, turunlah surat Al-Kafirun secara utuh sebagai balasan. (Asbabun Nuzul al-Musamma: Lubbabu an-Nuqul fi Asbabin an-Nuzul, hlm. 310)

Pada ayat yang lain, Allah berfirman:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan(-Nya).(Q.S Al-Imran[3]:19)

Dalam Tafsir at-Thabari, makna dari ad-Din disini adalah taat, takut. Maksudnya, Islam adalah bentuk kepasrahan kepada Allah dengan rasa takut dan khusyu’, termasuk tunduk dengan perintah dan menjauhi larangannya. (Tafsir Ath-Thabari, jilid. 5, hlm. 281-2)

Ayat ini sekaligus sebagai penjelas bahwa Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad Saw. bukanlah agama yang baru, melainkan sebagai penutup dari risalah dan dari agama-agama sebelumnya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa waktu itu, penganut Alkitab saling dengki terhadap yang lain. Sehingga dari kedengkian tersebut, mereka saling membenci dan berselisih dalam hal kebenaran.(Terjemah Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. 2, hal. 25)

Letak Permasalahan Eksklusivisme

Dari penjelasan diatas, terdapat perbedaan terkait pemahaman eksklusivisme. Penelitian Abu Bakar memposisikan eksklusivisme sebagai cara pandang, sehingga yang memiliki pandangan berkebalikan dengan eksklusivisme disebut inklusivisme. Akhirnya dua kutub tersebut terkesan sebagai dua kelompok yang berbeda, sekalipun keduanya sama-sama memiliki dasar dari Alquran.

Kedua, eksklusivisme dipandang sebagai bagian dari Islam sebagaimana Inklusivisme. Fatwa MUI terkait keharaman pluralisme tidak bisa terlepas dari akidah dan amaliyah. Begitu juga seperti yang diutarakan Gus Dur maupun hasil Konsili Vatikan II, yaitu dalam tataran akidah dan ibadah, tiap agama memiliki nilai eksklusivisme. Adapun dalam hubungan sosial, Islam mengajarkan sikap Inklusivisme.

Untuk menjawab persoalan ini kiranya pernah diulas pada tulisan sebelumnya terkait surah Albaqarah ayat 256. Daripada memperdebatkan kebenaran Isa apakah ia seorang anak ataukah tuhan, atau terkait kebenaran satu agama atas lainnya. Lebih baik merenungi kembali surah Albaqarah ayat 256 untuk berlaku baik kepada siapa saja, sebagaimana kata-kata Gus Dur yang banyak diingat “tidak penting apa suku atau agamamu, kalau engkau bisa berbuat baik kepada manusia, maka orang tidak akan tanya apa agamamu.” Wallah a’lam