BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanSurah Al Baqarah Ayat 256 dalam Sudut Pandang Bisri Mustafa

Surah Al Baqarah Ayat 256 dalam Sudut Pandang Bisri Mustafa

Salah satu ayat yang menjadi dasar larangan pemaksaan dalam beragama adalah Al Baqarah ayat 256. Sumber lainnya mengatakan ayat ini sebagai legitimasi kebebasan beragama. Banyak pula tulisan di website tafsiralquran.id yang telah membahas ayat ini dari berbagai perspektif seperti yang ditulis oleh Maqdis, Senata, dan Najih dengan konsentrasi pembahasan term  Tagut. Tulisan ini mengulas kembali tafsir Surah Al Baqarah ayat 256 dalam perspektif Bisri Mustafa. Dalam tafsiran tokoh yang kerap disapa Kiai Bisri ini ditemukan pandangan berbeda dari penafsiran lain. Berikut kutipan tafsir al-Ibriz mengenai Surah Al Baqarah ayat 256:

Ora ono paksaan mlebu agomo, mergo bener lan sasari ku wus terang. sopo wong kang kufur marang braholo lan iman marang Allah ta’ala, moko wong mau wus nyekel tali kang kokoh kang ora biso pedot. Allah ta’ala iku midanget lan perso.

(Tanbih) Siro ojo kliru narjemahaken ayat iki, umpomone koyo muni mengkene: wong mlebu agomo iku merdeko, mebu agomo Islam yo keno, agomo Budho yo keno. Jalaran maksud e ayat iki ora mengkono, balik maksute mengkono: tumrap ing wong kang sehat pikirane, perkoro kang bener lan kang sasar iku wus terang bedone, dadi ora usah di pekso utowo di perde. Mestine wus biso mikir dewe yen agomo Islam iku agomo kang haqq, kangkudu di rangkul, jalaran ono katerangan kang terang. Mulane umat Islam wajib nerangake kabenerane agomo Islam serto nyontoni  bagus, sehinggo golongan kang weruh iso weruh insyaf kanthi pikirane kang wajar banjur biso ambedaake antarane kang bener lan kang sasar, sehinggo dewek e ora ganti di pekso kanti mlebu agomo Islam.(Tafsir al-Ibriz, Jilid 3, Hal. 104-105)

Baca juga: Tafsir Alquran Aksara Pegon yang Dikenal dalam Tradisi Tafsir Pesantren

Al Baqarah ayat 256 ini mendapatkan porsi penjelasan yang banyak, sebab maksud dan tujuan ayat sering disalahpahami. Hal tersebut dapat dilihat pada tulisan beliau yang mengatakan “Siro ojo kliru narjemahaken ayat iki” (janganlah kalian keliru dalam menerjemahkan ayat ini).

Kiai Bisri Mustafa menjelaskan bahwa maksud ayat ini bukanlah legitimasi umat Islam untuk dapat berpindah agama (murtad), melainkan, menjelaskan bahwa Islam telah memberikan sebuah tuntunan  tentang kebenaran dan kesalahan. Benar dan salah tersebut dijabarkan dalam sumber utama Islam berupa Alquran dan Hadis. Untuk itu, umat Islam tidak diperbolehkan memaksa orang lain untuk masuk Islam.

Sebaliknya, kiai Bisri mengkritik umat Islam supaya dapat menerangkan agama (Alquran, Hadis dan segala ilmunya), serta berlaku bagus. Seperti yang dikatakan beliau “Mulane umat Islam wajib nerangake kabenerane agomo Islam serto nyontoni  bagus”. Dari penjelasan tersebut, terdapat dua syarat yang harus dilakukan umat Islam, belajar dan mengaplikasikan tuntunan agama baik dalam lisan maupun perbuatan.

Setidaknya, terdapat 2 hal yang penting untuk digarisbawahi dari tafsiran Kiai Bisri di atas.

Pertama, bahwa umat Islam dituntut untuk dapat menerangkan kebenaran agama Islam. Menerangkan suatu kebenaran tidak bisa dengan cara yang kasar, sehigga membuat audiens merasa terancam. Sebaliknya, berdakwah harus dengan cara yang lemah lembut. Cara-cara keras tersebut tidak dianjurkan dalam Islam. Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ  وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ  فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.

Dalam konteks berdakwah, umat Islam tidak bisa serta merta mengklaim kebenaran suatu ayat, sebelum melakukan riset atau telaah lebih dalam mengenai makna, penafsiran para ulama, serta sebab ayat tersebut turun. Sebab, jika ayat hanya dipahami secara tekstual, akan menyebabkan kesalahpahaman, yang dapat memberikan dampak buruk bagi penyampai maupun audiens.

Sebagai contoh surah At Taubah ayat 5 yang berisikan perintah memerangi orang-rang musyrik:

فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Apabila bulan-bulan haram telah berlalu,320) bunuhlah (dalam peperangan) orang-orang musyrik (yang selama ini menganiaya kamu) di mana saja kamu temui! Tangkaplah dan kepunglah mereka serta awasilah di setiap tempat pengintaian! Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 320) Yang dimaksud dengan bulan haram di sini adalah masa empat bulan yang menjadi tenggat bagi kaum musyrik pada waktu itu, yaitu mulai 10 Zulhijah (hari turunnya ayat ini) sampai dengan 10 Rabiulakhir.

Kedua, keharusan untuk berlaku baik seperti yang dikatakan oleh beliau “serto nyontoni  bagus”. Syarat kedua ini memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dari sebelumnya. Jika objek dari syarat pertama adalah orang lain, maka objek dari syarat kedua ini adalah diri sendiri.

Berlaku bagus berarti bahwa sebagai umat Islam, seorang muslim harus dapat mencerminkan prilaku yang Islami. Berdakwah bukan semata memberikan statemen dan dalil-dalil dari Alquran, melainkan juga dengan perbuatan umat Islam sendiri. Bertindak tidak sesuai dengan tuntunan Islam, seperti semena-mena, serakah, dan arogan dapat menyebabkan kesan buruk agama Islam pada khalayak umum.

Berlaku bagus juga dapat dipahmi sebagai akhlak yang bagus. Dalam Musnad Imam Ahmad, tertera:

حدثنا عبد الرزاق عن معمر عن قتادة عن زرارة عن سعد بن هشام قال سألت عائشة فقلت أخبريني عن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت كان خلقه القرآن

Telah menceritakan kepada kami Abdurrozzaq dari Ma’mar dari Qotadah dari Zuroroh dari Sa’ad bin Hisyam berkata: saya bertanya kepada Aisyah, saya katakan: Tolong kabarkan kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah menjawab: “Akhlak beliau adalah Al Quran.”(Musnad Imam Ahmad, bab ba>qi> musnad Al-Ansari, ‘Aisyah R.A, No. 24139)

Tafsir yang ditulis kiai Bisri dalam Al Baqarah ayat 256 tersebut agaknya cocok sebagai kritik atas fenomena yang terjadi saat ini. Berkembangnya media sosial membuka peluang bagi siapa saja untuk mengekspresikan dirinya termasuk berdakwah. Dampaknya banyak juga orang yang tidak memiliki kapabilitas agama menyampaikan ajaran agama.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (2)

Akhir kata, mengajak kebenaran bukan semata kegiatan oral, melainkan juga melibatkan perbuatan, tingkah laku, dan akhlak. Memaksa orang untuk mengakui Islam sebagai suatu kebenaran adalah tindakan yang keliru. Melalui ayat ini, Kiai Bisri Mustafa mengajak umat Islam untuk memahami nilai-nilai agama lebih dalam, supaya dapat mengajarkan Islam secara sejatinya Islam; agama damai. Wallahu a’lam[]

Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...