Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

kh. mustofa bisri
KH. Mustofa Bisri

Penafsiran Al-Quran dengan beraksara Jawi atau Arab Pegon menjadi suatu kearifan lokal tersendiri bagi ulama Nusantara. Sebut saja, Tafsir al-Ibriz, Tafsir al-Iklil, Tarjuman al-Mustafid, kesemuanya berbahasa lokal guna memudahkan masyarakat mempelajari dan memahami Al-Quran.

Selanjutnya, pada dekade 1980-an sebagaimana dipaparkan oleh Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi, meskipun bahasa Melayu-Jawi tidak terlalu populer sebab target pembacanya hanya dari golongan tertentu saja, bukan Umat Muslim se-Indonesia, tetapi masih dapat ditemukan literatur tafsir dengan metode penulisan pegon Jawa yakni Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa.

Selanjutnya di tahun 1999 terbit juga karya tafsir dengan metode aksara Jawi (Arab Pegon) sebagai media penulisannya yakni Tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaib Al-Quran al-‘Aziz karya KH. Mustofa Bisri, di mana merupakan putra dari KH. Bisri Mustofa. Pada pembahasan kali ini kita akan mengulas biografi KH. Mustofa Bisri.

Sebuah Biografi

KH. Mustofa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 10 Agustus 1944. Beliau lahir dari pasangan KH. Bisri Mustofa bin H. Zaenal Mustofa dan Hj. Ma’rufah binti KH. Kholil Harun. Gus Mus merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Adapun ketujuh saudaranya yaitu Kh. Kholil Bisri, KH. Adib Bisri, Hj. Faridah, Hj. Najihah, Nihayah, Labib dan Hj. Atikah.

Beliau dibesarkan di lingkungan yang religius dan pesantren. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang. Beliau juga berkawan dekat dengan Abuya Prof. Quraish Shihab, sang Maestro Tafsir Nusantara. Pada tahun 1971 beliau menikah dengan Nyai Siti Fatmah dan dianugrahi 6 anak, 1 putra dan 5 putri, yakni Ienas Tsuroiya, Kautsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiatul Bisriyyah, Nada Fatma, Almas Mustofa, dan M. Bisri Mustofa.

Selain itu, beliau juga memiliki hobi yaitu menulis, sastrawan, dan pelukis. Beliau juga menggemari sepakbola dan bulu tangkis. Ketenarannya sebagai kiai tak menyurutkannya untuk berkiprah sebagaii sastrawan, penulis, cendekiawan, dan budayawan. Kiprahnya dalam Nahdlatul Ulama pun tak diragukan lagi. Saat ini KH. Mustofa Bisri menjadi Mustasyar Nahdlatul Ulama. Dalam kesehariannya, beliau termasuk kiai yang bersahaja dan tidak ambisius.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul

Rihlah Pendidikan

KH. Afifuddin Dimyathi dalam Jam’u al-Abir fi Kutub al-Tafsir menjelaskan bahwa Gus Mus memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat 6 tahun (1950-1956). Ia juga nyantri kepada Kiai Mahrus dan Syaikh Marzuki di Pesantren Lirboyo Kediri (1956-1958). Di samping itu, Ia juga nyantri kepada Kiai Ma’shum dan Kiai Abdul Qadir bin Kiai Munawwir di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1958-1962), serta di Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang (1962-1964) yang merupakan pesantren ayahnya sendiri.

Selepas mengenyam pendidikan di Pesantren, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar Mesir pada jurusan al-Qism al-‘Ali li al-Dirasat al-Islamiyah wa al-‘Arabiyah (1964-1970). Selanjutnya di tahun 2009, ia dianugerahi Doktor Honoris Causa (Dr. H.C.) dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya, pada 30 Mei 2009.

Selain berkiprah di dunia pendidikan, Gus Mus sangatlah aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai informasi, Gus Mus pernah terjun ke dunia politik dan menduduki posisi sebagai anggora DPRD Jawa Tengah (1982-1992) dan Anggota MPR RI (1992-1997). Kiprah politiknya tak bisa dielakkan karena pertimbangan tanggungjawab yang tak bisa dielakkannya, mengingat kapasitasnya yang mumpuni.

Gus Mus merupakan tokoh yang paling disegani dan dita’dzimi dibandingkan ulama-ulama lainnya. Pandangannya tentang keindonesiaan sangatlah pantas untuk diakui sebagai ulama Nusantara yang cinta akan Indonesia. Beliau berpandangan mencintai Indonesia adalah mencintai rumah kita bersama. Indonesia adalah rumah kita bersama yang harus kita jaga dan kita rawat. Pada tahun 2015, beliau dipercaya untuk menjadi dewan Mustasyar Nahdlatul Ulama sembari tetap mengasuh Pondok Pesantren milik ayahnya.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Karya-Karya

Belau termasuk ulama yang sangat produktif baik di bidang sastra, maupun keagamaan. Sudah tak terhitung lagi berapa ratus karyanya yang telah dimuat di berbagai media ataupun buku yang diterbitkannya. Berikut karya-karya beliau,

  1. Ensiklopedi Ijmak (terjemahan bersama K.H. M.A. Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta).
  2. Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya).
  3. Awas Manusia dan Nyamuk yang Perkasa (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta).
  4. Maha Kiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta).
  5. Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Cet.I, Al-Huda, temanggung; Cet II, Mata Air Publishing, Surabaya).
  6. Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Ummat (Risalah Gisti, Surabaya).
  7. Al-Muna, Terjemah Syair Asmaul Husna (Al-Miftah, Surabaya).
  8. Mutiara-Mutiara Benjol (Mata Air Publishing, Surabaya).
  9. Fikih Keseharian Gus Mus (Cet I, Yayasan Al-Ibriz bekerjasama dengan penerbit al-Miftah, Surabaya; Cet. II dan III, Khalista, Surabaya, bekerjasama dengan Komunitas Mata Air).
  10. Canda Nabi dan Tawa Suci (Hikmah, Bandung).
  11. Tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaib Al-Quran al-‘Aziz
  12. Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogyakarta). Kompensasi (Mata Air Publishing, Surabaya).
  13. Metode Tasawuf Al- Ghazali (terjemahan dan komentar, Pelita Dunia, Surabaya).
  14. Kimiya-us Sa’adah (Assaqqaf, Surabaya).
  15. Dasar-dasar Islam (Penerbit Abdillah Putra Kendal)
  16. Koridor, Renungan A. Mustofa Bisri (Penerbit Buku Kompas, Jakarta)
  17. Membuka Pintu Langit, Momentum Mengevaluasi Diri (Penerbit Buku Kompas, Jakarta) dan lain-lain.

Beberapa karya cerpen yang dimuat di berbagai harian , seperti dalam Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, dan lain-lain. Buku kumpulan Cerpennya, antara lain

  1. Lukisan Kaligrafi (Penerbit Buku Kompas Jakarta), mendapat anugrah dari Majelis Sastra Asia Tenggara tahun 2005).
  2. Horison Sastra Indonesia;
  3. Buku Puisi Horison Edisi Khusus Puisi Internasional 2002;
  4. Takbir Para Penyair;
  5. Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air Ketika Kata Ketika Warna, dan lain sebagainya.

Wallahu A’lam.