Seorang ‘alīm era Mamlūk As-Suyūṭī (w. 919/1505) menarasikan bagaimana otoritas ‘ulamā’ awal tampak terbuka ketika menyebutkan qur’ān dengan nama tawrāt dan injīl. Ini diaksesnya melalui dua riwayah yang berbeda—satu berasal dari Ibn Durays dan satunya lagi dari Qatāda b. Di‘āma (w. 117/735).
Pada masa hidupnya di era Mamlūk, menurut As-Suyūṭī, penyebutan itu sudah tidak lazim dan pasti tidak diperkenankan, meskipun hal itu juga sebenarnya berlaku sama ketika tawrāt disebut dengan furqān—salah satu di antara nama-nama qur’ān—seperti terekam dalam firman Tuhan: “Dan ingatlah, ketika Kami memberikan kepada Mūsa al-kitāb dan al-furqān” (al-Baqarah [2]: 53).
Dalam riwayah yang terekam dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (1993, v. I, 165) ini, As-Suyūṭī menunjukkan spirit intelektual yang berani dan terbuka dalam mengasosiasikan penamaan qur’ān dengan tawrāt dan injīl, sama halnya dengan penamaan tawrāt dengan furqān. Dalam konteks ini, furqān lebih diasosiasikan dengan bentuk wahyu dalam tradisi monoteistik yang terkait dengan wahyu-wahyu pra-Islam, terutama tawrāt dan injīl.
Baca Juga: Makna Qur’an yang Plural dan Kontradiktif, Makna Awal Qur’an yang Terlupakan
Terma Furqan yang tidak pernah bermakna satu dan sama
Sama dengan makna wahyu, najm, dan qur’ān, furqān pun tidak pernah bermakna satu dan sama, tetap dan stabil, tetapi justru cair, plural, dan kontradiktif. Pemaknaan furqān sebagai bentuk wahyu hanyalah salah satu dari kemungkinan makna furqan dalam tradisi kesarjanaan Islam. Konflik atas makna furqan ini telah menjadi perdebatan intelektual Islam. Hanya saja, paham ortodoksi Islam menafsirkan furqān dengan makna yang tunggal dan monolitik, tidak terkait dengan fenomena pewahyuan dalam tradisi monoteistik. Karena itu, penafsir agung Abū Ja‘far b. Jarīr al-Ṭabarī (w. 310/923) menolak ide bahwa furqān bermakna tawrāt.
Dalam menafsirkan kalam Tuhan, “Dan Kami sungguh telah memberikan kepada Musa dan Harun, furqān, iluminasi dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (al-Anbiyā’ [21]: 48), At-Ṭabarī menegaskan bahwa “jika furqān adalah tawrāt, maka ayat itu akan berbunyi: Tuhan memberikan kepada Musa dan Harun, furqān sebagai kriteria.” Padahal, ayat itu memiliki penghubung “dan” antara furqān dan diyā’ (iluminasi, penerangan), yang dapat dijadikan sebagai bukti bahwa furqān bukanlah tawrāt (At-Ṭabarī, Jāmi‘ al-bayān ‘an ta’wīl āy al-Qur’ān,1954).
Secara umum, furqān lebih sering dipahami secara tradisional sebagai kriteria pembeda antara benar dan salah. Penafsiran ini terefleksikan dalam sejumlah literature tafsīr. Dalam Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl (Beirut, vol. 2), al-Bayḍāwī (w. 688) menafsirkan Dia menurunkan al-furqān (Ali-Imrān [3]: 4) sebagai rujukan atas sejenis wahyu dari kitāb-kitāb ilahi, karena mereka membedakan antara yang benar dan yang palsu.
Dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (1993, v. I, 163) As-Suyūṭī merujuk penghafal wahyu dan penafsir awal Mujāhid b. Jabr (w. 102/720) sebagai otoritas awal yang berargumen bahwa furqān, sebagai nama kitab suci al-Qur’ān, berasal dari akar kata farraqa karena “terma ini membedakan antara apa yang benar dan apa yang salah.” Dalam memori umat Islam, makna furqan sebagai kriteria pembeda antara yang benar dan yang salah telah menjadi konsensus, kebenaran tunggal, dan absolut.
Baca Juga: Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran
Penafsiran di luar makna itu tidak pernah dieksplorasi secara intelektual. Saya ingin mengeksplorasi makna lain dari furqān, yang tidak melulu ditafsirkan sebagai hal yang identik dengan qur’ān, identik dengan tawrāt yang diberikan kepada Musa, sebagai kriteria pembeda antara kebenaran dan kebatilan, dan dengan makna hari kemenangan yang dianugerakan oleh Tuhan (yawm al-furqān).
Makna al-furqān yang saya ajukan melalui risalah ini lebih terfokus pada suatu gagasan utama bahwa furqān harus dipahami dalam konteks pewahyuan al-Qur’ān yang bersifat gradual sehingga Nabi Muhammad dapat membacakan satu, dua, tiga āyāt atau sūrat kepada pengikutnya secara perlahan, sedikit demi sedikit. Karena itu, furqān merujuk pada al-Qur’ān yang diturunkan kepada Nabi Muḥammad secara gradual dalam rentang waktu sekitar dua puluh, dua puluh dua, atau dua puluh tiga Tahun.
Sejumlah penafsir agung seperti al-Māturīdī (w. 333/945), al-Zamakhsharī (w. 538/1144), dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606/1210) berargumen bahwa al-Qur’ān diberikan nama untuk sūrat 25 sebagai Furqān, karena wahyu yang diturunkan kepada Muhammad hanya terjadi secara gradual, sedikit demi sedikit pada satu waktu, ketimbang “sekaligus” (jumlatan wāhidatan, all at once). Dalam tafsīr yang belum lama ditemukan dan diterbitkan, Ta’wīlāt al-Qur’ān (Turkey: Dār al-Mīzān, 2005-2011, 18 volumes), al-Māturīdī memberikan penafsiran furqān yang tidak lazim di kalangan ortodoksi Islam Sunni.
Sembari mengakui kemungkinan makna furqan sebagai kriteria untuk membedakan kebenaran dan kebatilan, antara halal dan haram, al-Māturīdī mengeksplorasi penafsiran atas makna baru furqān untuk merujuk pada karakter utama pewahyuan al-Qur’ān yang bersifat gradual, tahap demi tahap, dan tidak turun sekaligus.
Menurut al-Māturīdī, “al-Qur’ān diberikan nama furqān karena ia diturunkan secara gradual, sedikit demi sedikit, berkeping-keping, sementara seluruh Kitab Suci lain turun dalam satu jumlah, secara sekaligus” (Ta’wīlāt al-Qur’ān, 2008, vol. 10, 218). Meskipun al-Māturīdī menolak penafsiran ini, dan lebih setuju pada penafsiran tradisional, usahanya untuk membuka makna baru atas furqān layak diapresiasi secara intelektual.
Baca Juga: Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman
Saya sendiri lebih memilih dalam menafsirkan furqān sebagai proses pewahyuan al-Qur’ān yang bersifat gradual, karena Sūrat al-Furqān/25:32 ini merekam perdebatan antara mereka yang tidak meyakini misi profetik Islam dan otentisitas al-Qur’ān dengan Muhammad: “Dan orang-orang yang menolak [kenabian Muhammad] berkata, ‘Kenapa al-Qur’ān tidak diturunkan kepadanya [Muḥammad] sekaligus (jumlatan wāhidatan, all at once)? Demikianlah [al-Qur’ān diturunkan secara berangsur-angsur], agar Kami memperteguh/memperkuat hatimu (Muḥammad) dengannya [al-Qur’ān] dan membacakannya secara tartīl.”
Watak dasar wahyu ini adalah polemik antara mereka yang menolak pewahyuan al-Qur’ān secara gradual dan kerasulan Muḥammad, karena mereka mengajukan pertanyaan yang kritis tentang metode pewahyuan al-Qur’ān yang tidak mengikuti standar pewahyuan Kitab-Kitab Suci dalam tradisi monoteisme, yang turun sekaligus. Al-Qur’ān justru turun secara gradual, untuk merespons pertanyaan kritis orang-orang kafir, yang identitas aslinya tidak tampak, sehingga mereka kadang diasosiasikan dengan orang-orang Quraysh (al-quraysh), orang-orang Musyrik (al-musyrikūn),dan bahkan orang-orang Yahudi (al-yahūd) (lihat, As-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 4 vols. Beirut: al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, 1997, 1:122).
Watak wahyu yang responsif (responsive nature of the divine revelation) inilah yang menjadi karakter utama al-Qur’ān, karena wahyu kadang turun kepada Muḥammad untuk merespons pertanyaan umatnya. Dalam konteks inilah, Tuhan hadir bersama Muhammad dalam sejarah, untuk merespons setiap pertanyaan, keluhan, dan bahkan keraguan atas pewahyuan al-Qur’ān dan misi profetik Muḥammad.
Akhirnya, kita disuguhkan pada makna furqan yang plural dan kontradiktif. Konflik atas makna furqan ini memberikan inspirasi intelektual untuk mengajukan pertanyaan akademis yang seringkali terlupakan: dimanakah lokus makna furqan? Apakah makna furqan inheren dalam teks-teks wahyu? Ataukah makna suatu teks justru terletak pada otoritas komunitas penafsir al-Qur’ān? Dengan kata lain, otoritas penafsir menjadi faktor kunci di balik proses pemaknaan teks-teks wahyu al-Qur’ān. Saya menunggu momen yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang menantang secara metodologis ini.