BerandaTafsir TematikEmpat Catatan Muchlis M. Hanafi atas Perkembangan Tafsir Tematik di Indonesia

Empat Catatan Muchlis M. Hanafi atas Perkembangan Tafsir Tematik di Indonesia

Tafsir tematik merupakan salah satu jenis metode penafsiran yang populer di Indonesia, namun oleh sebagian pendapat tafsir ini dianggap hanya menonjolkan sisi retorik dan cocokologi dari penulisnya saja. Pendapat inilah yang kemudian direspon Muchlis M Hanafi dalam Diskusi Dosen Nasional Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Rabu (30/06) lalu. Setidaknya ada empat catatan yang ia tuturkan atas perkembangan tafsir tematik di Indonesia.

Catatan Pertama, ada banyak definisi dan model penulisan dalam tafsir tematik yang perlu diketahui oleh muslim Indonesia. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an itu menyampaikan beberapa definisi yang beragam. Misalnya definisi dari Abdul Hayy Al-Farmawi, Musthafa Muslim, hingga Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi.

Menurutnya, definisi yang paling populer di Indonesia yaitu dari Abdul Hayy Al-Farmawi. Tafsir tematik menurut Al-Farmawi merupakan metode tafsir dengan menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan satu topik masalah, kemudian disusun berdasarkan kronologi serta turunnya ayat tersebut. Kemudian penafsir menganalisisnya hingga membuahkan suatu kesimpulan.

“Di Indonesia, model ini populer dan banyak sekali yang menggunakan,” ujar Muchlis Hanafi.

Ia melanjutkan definisi dari Musthafa Muslim dalam Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’I. Menurut Musthafa Muslim, tafsir tematik merupakan ilmu yang mengkaji satu surah atau lebih untuk memahami sebuah perkara berdasarkan perspektif maqashid Al-Qur’an. Bagi Hanafi, definisi tafsir tematik dari Mushtafa Muslim ini belum begitu berkembang di Indonesia. Terkait pembahasan ini, Moch Rafly Try Ramadhani pernah menuliskannya dengan judul Paradigma Tafsir Maudhu’i dalam Pandangan Mushtafa Muslim.

Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 24, Isyarat Larangan Cinta Dunia yang Berlebihan

Sementara definisi menurut Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi lebih luas lagi, yakni mencakup penulisan istilah-istilah tematik dalam Al-Qur’an. Muchlis Hanafi mencontohkan karya di Indonesia seperti Ensiklopedia Al-Qur’an garapan Dawam Rahardjo dan Tim Quraish Shihab.

Catatan Kedua terkait problem metodologisnya. Menurut Hanafi, tafsir tematik itu bukan sekedar menghimpun ayat dan menganalisis saja. Tetapi tafsir tematik itu harus sampai pada penjelasaan hakekat Quraniyahnya, sehingga menafsirkan dengan metode tematik justru membutuhkan energi yang ekstra.

Menurutnya, ada beberapa kompetensi yang perlu dipahami oleh penulis tafsir tematik. Pertama harus memiliki kompetensi dalam memahami nash (teks Al-Qur’an). Artinya, seorang penafsir harus memahami gramatikal bahasa Arab secara menyeluruh. Kemudian seroang penafsir harus mengetahui konteks ayat yang akan di tafsirkan. Dalam bahasa Amin Al-Khulli disebut dengan ma fin nash wa ma haulan nash.  Selanjutnya kompetensi yang berkaitan dengan realitas, dengan pengetahuan itu, penafsir akan mudah dan bijak dalam mengaktualisasikan ayat dalam realitas. Hal ini bertujuan untuk menghindari cocokologi.

Catatan ketiga, bijak dalam merujuk. Perihal rujukan ini, Hanafi menyebut ada dua yakni Al-Qur’an dan Al-Waqi’ (realitas). Kalau hanya merujuk pada kosakata Al-Qur’an maka temanya sangat terbatas. Berbeda dengan sebaliknya, Hanafi justru mengkhawatirkan kalau berangkat dari waqi’, yang bisa berpotensi jauh dari penafsiran sesungguhnya. Bagi Hanafi, pendekatan minan nash ilal waqi’ (dari teks menuju realitas) dan minal waqi’ ilan-nash (dari realitas menuju teks) saling dibutuhkan. Ini penting untuk menghindari pra-konsepsi yang subjektif.

Baca juga: Keutuhan Al-Qur’an: Warisan Paling Berharga Umar bin Khattab bagi Umat Islam

Catatan Keempat, para penulis tafsir tematik di Indonesia perlu penguatan metodologinya. Muchlis Hanafi menjelaskan dengan mengutip teori dari Fazlur Rahman yakni double movement. Selain itu, ia juga menekankan agar penafsir memahami tafsir tahlili, munasabat, maqasid Al-Qur’an dan ulumul Qur’an lainnya. Dengan begitu, wawasan sang penafsir lebih matang dan kuat.

Menyajikan Tafsir Layaknya Hidangan

Muchlis Hanafi dalam diskusi tersebut mengibaratkan karya tafsir layaknya hidangan makanan.

“Kalau kita melihat Al-Quran sebagai ma’dhubatullah atau hidangan Allah, maka cara kerja seseorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an itu seperti menyajikan hidangan. Tentu tak semua orang bisa menyajikannya, namun hidangan itu bisa dicicipi oleh siapa saja,” ungkapnya.

Ia kemudian mencontohkan, jika ada anak kecil akan memakan hidangan tersebut, maka anak kecil itu lebih baik diambilkan oleh orang tua yang mengerti hidangan mana yang cocok. Begitu juga dengan penafsiran, Hanafi menyebut bahwa upaya menafsirkan secara tematik ini akan memudahkan kalangan umum untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Ia menambahkan bahwa orang umum akan kesulitan jika merujuk pada tafsir tahlili yang biasanya sampai berjilid-jilid.

Baca juga: Background Sosial-Budaya Penulisan Tafsir di Nusantara Menurut Islah Gusmian

Dalam Diskusi tersebut, Hadir juga Prof. Muhammad Ali Associate Professor dari University of California dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.  Prof. Muhammad Ali menyampaikan perkembangan tafsir tematik di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Sementara Dr. Lilik Ummi Kaltsum menyampaikan Tematisasi Al-Qur’an: Solusi Masyarakat Modern. Untuk menyimak diskusi tersebut, berikut pranala yang bisa diikuti dengan klik di sini.

Demikian catatan Muchlis M Hanafi terkait tafsir tematik, khususnya di Indonesia.

Wallahu a’lam[]

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU