BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiEmpat Falsafah Pendidikan Islam dalam Q.S. Al’alaq: 1-5

Empat Falsafah Pendidikan Islam dalam Q.S. Al’alaq: 1-5

Manusia merupakan makhluk yang mendapatkan karunia Allah Swt. berupa kesempurnaan bentuk dan kelebihan akal (Q.S. 95: 4). Karunia tersebut memberikan konsekuensi logis kepada manusia sehingga Allah Swt. menjadikannya sebagai khalifah fi al-ardh. Akal yang dimiliki manusia memiliki potensi untuk berkembang melalui bimbingan dan tuntunan yang terarah, sistematis, dan berkesinambungan. Bimbingan tersebut menurut Marimba dilakukan melalui proses pendidikan yang merupakan upaya optimalisasi potensi manusia untuk memperoleh kehidupan bermakna, baik secara individu maupun kelompok.

Pada hakikatnya, pendidikan merupakan upaya untuk memberdayakan segala potensi yang ada pada diri manusia. Menurut Widodo (2018: 10), pendidikan bertanggungjawab pada pemberdayaan manusia yang potensial secara intelektual melalui proses transfer of knowledge dan potensial secara emosional dan spiritual melalui proses transfer of values yang terkandung di dalam pendidikan. Dengan demikian, pendidikan hendaknya mampu memperhatikan segala aspek perkembangan peserta didik sebagai manusia seutuhnya. Artinya, nilai luhur pendidikan tidak direduksi sehingga hanya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan praktis sesaat.

Islam melalui kitab sucinya, Alquran, banyak mengajarkan manusia bagaimana pendidikan seharusnya dilaksanakan. Salah-satunya firman Allah Swt. dalam Q.S. Al’alaq ayat 1-5 berikut:

﴿ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥ ﴾

“1)  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, 2)  Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3)  Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, 4)  Yang mengajar (manusia) dengan pena. 5)  Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Ayat tersebut secara eksplisit dan implisit menggambarkan bagaimana pendidikan merupakan sebuah proses yang sistematis untuk membentuk manusia yang cakap dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sebagai wahyu pertama yang Allah Swt. turunkan kepada Rasulullah saw., barangkali Q.S. Al’alaq ayat 1-5 ini menyimpan rahasia besar yang sangat mendasar bagi umat manusia dan kehidupannya, yakni rahasia pendidikan. Allah melalui firmannya ini hendak mengabarkan pada manusia bahwa pendidikan adalah modal dan bekal yang sangat fundamental dan penting bagi manusia. Nilai-nilai falsafah pendidikan Islam yang terkandung dalam Q.S. Al’alaq ayat 1-5 ini setidaknya ada empat hal sebagai berikut.

Baca juga: Tafsir Iqra’: Perintah Alquran untuk Tanggap Literasi

Empat Falsafah Pendidikan Islam

Pertama, pendidikan Islam nondikotomik. Konsep nilai ini merupakan paradigma pendidikan Islam yang tidak berkonotasi hanya pada nilai-nilai agama (‘ulumuddin) atau juga tidak semata-mata berkonotasi pada nilai-nilai sains atau keduniaan (‘ulumuddunya) (Mas’ud, 2020: 22). Artinya,  keduanya harus terintegrasi secara dinamis dan harmonis dalam sistem pendidikan Islam yang komprehensif (kaffah). Dalam Q.S. Al’alaq ayat 1-5, pendidikan Islam nondikotomik tercermin pada redaksi iqra` dan ‘alaq. Kata iqra` dalam surah tersebut bertempat pada dua ayat, yakni ayat pertama dan ketiga yang berarti membaca. Membaca di sana bersifat universal, artinya proses membaca tidak terbatas hanya mengenai bacaan agama saja, tapi juga bacaan yang bersifat umum.

Redaksi tersebut menegaskan bahwa dalam proses intelektual seseorang pemahaman komprehensif mengenai pengetahuan (knowledge) sangat penting, baik itu ilmu agama atau ilmu umum. Sementara kata ‘alaq yang bertempat pada ayat kedua surah tersebut secara bahasa berarti segumpal darah yang beku. Jika dipahami secara general, ayat tersebut menjelaskan mengenai proses biologis penciptaan manusia. Dengan demikian, ayat tersebut menegaskan bahwa pengetahuan yang harus ditelaah (iqra`) oleh manusia tidak hanya terbatas pada pengetahuan agama, akan tetapi pengetahuan umum juga memiliki urgensitas yang tinggi.

Kedua, pendidikan karakter. Dalam Q.S. Al’alaq tersebut, konsep pendidikan karakter tercermin dalam makna transendental yang terdapat pada ayat keduanya dalam redaksi “bi ismi rabbika”. Menurut Al-Zuhaili (2013: 598), redaksi tersebut bermakna peringatan untuk senantiasa mengingat Allah ketika membaca (iqra`). Kalimat senada juga diungkapkan Quraish Shihab (1998: 167) dalam bukunya, Membumikan Al-Quran. Menurutnya, redaksi tersebut merupakan syarat muqayyad dari membaca, sehingga tujuan perintah membaca pada akhirnya bermuara pada sikap religious-transendental kepada Allah.

Sikap transendensi tersebut akan berimplikasi pada terwujudnya pribadi yang berakhlak mulia, baik secara vertikal (habl min Allah) maupun secara horizontal (habl min al-nas). Hal ini sesuai dengan prinsip humanis religius yang senantiasa mengutamakan pembentukan karakter seseorang menuju pribadi yang sempurna (insan kamil), sehingga pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya bertujuan untuk transfer of knowledge saja, tapi juga transfer of values.

Baca juga: Spirit Literasi dalam Nama-nama Alquran

Ketiga, pendidikan sepanjang hayat (long life education). Konsep ini merupakan salah satu prinsip penting dalam paradigma pendidikan Islam berbasis humanis religius, sehingga manusia mampu menunaikan seluruh tugas-tugas kemanusiaannya, baik sebagai ‘abdullah maupun khalifah fi al-ardh. Dengan demikian, kedua tugas dan tanggung jawab manusia tersebut memberi konsekuensi logis berupa keharusan manusia dalam mengembangkan sisi intelektualitasnya sepanjang hayat.

Dalam surah Al’alaq tersebut, prinsip pendidikan sepanjang hayat tercermin pada kandungannya mengenai keutamaan membaca, menulis, dan ilmu pengetahuan. Diksi al-qalam pada ayat keempat merupakan simbol transofrmasi nilai, ilmu pengetahuan, dan keterampilan dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Mas’ud, 2020: 49). Hal ini menegaskan bahwa proses transmisi pengetahuan pada diri manusia tidak terbatas waktu.

Selain itu, pengulangan pada kata iqra` (ayat 1 dan 3) dan ‘allama (ayat 4 dan 5) menunjukkan keutamaan menuntut ilmu bagi manusia. Bahkan secara eksplisit Allah Swt. mengatakan, “’allama al-insana ma lam ya’lam” yang berarti bahwa sampai kapanpun manusia membutuhkan pendidikan untuk mengetahui apa yang belum diketahuinya. Syahdan, manusia secara hakikat memiliki tanggung jawab belajar sepanjang hayat untuk mewujudkan kemanusiannya yang paripurna (kamil).

Keempat, pendidikan berbasis riset. Dalam surah Al’alaq ayat 1-5 tersebut, pendidikan berbasis riset dan pembiasaan tergambar pada pengulangan perintah iqra`. Menurut Al-Zuhaili (2013: 596), pengulangan tersebut bermakna penguatan yang berarti bahwa membaca adalah hal yang sangat penting. Hal ini menegaskan bahwa membaca itu tidak akan membekas dalam jiwa seseorang kecuali dengan pengulangan dan pembiasaan.

Perintah tersebut mengandung makna bahwa untuk menjadi manusia yang paripurna, pondasi utamanya adalah dengan spirit literasi. Tersebab, manusia yang literat pada akhirnya akan membentuk pribadinya menjadi manusia yang cakap keilmuannya dan luas wawasannya. Sementara pembiasaan sikap literat ini secara konsekuen akan memantik manusia menuju paradigma kritis, sehingga manusia akan memiliki semangat dalam riset dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam.

Baca juga: Tadabbur Alhujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Mahasiswa Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bisa disapa di FB: Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi dan IG: @ayiyusrilisme
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU