Melimpahnya literatur tafsir di abad ini tak lepas dari keseriusan para mufasir terdahulu dalam menyusun karya tafsir. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan tafsir 30 juz. Beberapa mufasir bahkan lebih dulu wafat sebelum merampungkan karya tafsirnya, sehingga karyanya tak pernah terselesaikan oleh penulis aslinya, di antaranya; Ar-Razi dalam menulis Mafatih al-Ghaib, Rasyid Ridha dalam menulis Tafsir al-Manar, Jalaluddin al-Mahaly dalam menulis Tafsir Jalalain dan Abu Zahrah dalam menulis Zahrat al-Tafasir.
Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir)
Tafsir karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H/ 1210 M) ini terdiri dari 32 jilid dengan model penafsiran ensiklopedis/muthawwalat. Tafsir ini pernah menjadi sandaran utama kitab-kitab tafsir lain pada masanya. (Walid Saleh, Preliminary Remarks on the Historiography of tafsir in Arabic: A History of the Book Approach, 20). Namun, Ar-Razi ternyata tak sempat untuk menyelesaikan penulisan Mafatih al-Ghaib.
Ar-Razi menulisnya hanya sampai Surah Al-Anbiya’ [21] sebagaimana dikutip Sayyid Murtadha dalam Syarah Asy-Syifa li Syihab. Akan tetapi, klaim tersebut ditampik oleh Adz-Dzahabi yang mendasarkan argumennya pada teks Tafsir Mafatih al-Ghaib, tepatnya saat menjelaskan Surah Al-Waqi’ah [56] ayat 24 yang bertuliskan:
المَسْأَلَةُ الأُوْلَى: أُصُوْلِيَّةٌ ذَكَرَهَا الإِمَامُ فَخْرُ الدِّيْن رَحِمَهُ اللهُ فِيْ مَوْضِعٍ كَثِيْرَةٍ وَنَحْنُ نَذْكُرُ بَعْضَهَا
“Persoalan pertama: persoalan pokok, sebagaimana disebutkan oleh Imam Fakhruddin -semoga Allah merahmatinya- pada banyak kesempatan. Kami (penulis) hanya menyebutkannya sebagian” (Fakhruddin Ar-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Juz 29, 398).
Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam pernyataan di atas diduga kuat mengindikasikan bahwa bukan Ar-Razi sendiri yang menulisnya, melainkan penulis lain. Mengenai hal ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai pernyataan itu adalah dari Syihabuddin al-Khubi (w. 639 H). Sedangkan Haji Khalifah (pengarang kitab Kasy al-Dzunun), mengklaim bahwa tulisan tersebut berasal dari Najmuddin Al-Makhzumi Al-Qamuli (w. 727 H).
Adz-Dzahabi menyimpulkan, penulisan Mafatih al-Ghaib dilanjutkan oleh dua tokoh; Al-Khubi (w. 639 H) dan disempurnakan oleh Al-Qamuly (w. 727 H). Sayangnya, seberapa porsi penulisan dari kedua tokoh ini sukar terlacak. Sebab, tak ditemuinya riwayat atau petunjuk yang secara tegas menjelaskan hal ini. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 1, 207-208).
Baca Juga: Simpang Siur Penyempurna Tafsir Mafatih al-Ghaib Setelah al-Razi
Tafsir Jalalain
Penyusunan Tafsir Jalalain diinisiasi oleh Jalaluddin Al-Mahali (w. 864 H/1495 M) yang mengawali penulisannya dengan paruh akhir dari Alquran, yakni dari Surah Alkahfi [18] sampai Surah Annas [114]. Kemudian melanjutkannya dengan bagian paruh awal. Sayangnya, ajal lebih dulu menjemputnya seusai menafsirkan Surah Alfatihah [1].
Penafsiran kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Jalaluddin As-Suyuti (w. 911 H/1505 M). As-Suyuthi melengkapi penafsiran Al-Mahali dengan menafsirkan Surah Albaqarah [2] hingga Surah Alisra’[17]. Sehingga, penamaan karya tafsir ini menjadi Jalalain (dua Jalal), terambil dari kesamaan nama penyusunnya, yakni Jalaluddin. Di sisi lain, As-Suyuthi secara mandiri juga memiliki karya tafsir, diantaranya Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur dan Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, 238).
Baca Juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya
Tafsir Al-Manar
Tafsir al-Manar ditulis oleh Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M) yang merupakan hasil pembukuannya dari ceramah Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) saat memberikan kuliah tafsir di Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir). Abduh sendiri adalah tokoh pembaru Islam, murid dari Jamaluddin Al-Afghani (w. 1314 H/1897 M). Abduh juga aktif mengisi halaqah dan kajian tafsir di berbagai tempat, seperti di Beirut dan Masjid Basyurah (Masjid Agung Aljazair).
Perjumpaan pertama Ridha dengan Abduh terjadi di Mesir, delapan tahun sebelum wafatnya Abduh (tahun 1315 H). Ridha memutuskan untuk berguru padanya dan mendorongnya agar menulis tafsir 30 juz dengan format penulisan sebagaimana dalam majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang pernah ditulis Abduh bersama Jamaluddin Al-Afghani.
Awalnya, Abduh menolak dengan alasan bahwa Alquran tak perlu ditafsirkan seluruhnya secara sempurna dari segala sisinya, sebab penafsirannya bisa sangat luas sedang umur manusia terbatas. Prinsip ini juga mendasari Abduh dalam menulis Tafsir Juz ‘Amma (1321 H) yang relatif singkat. Namun, akhirnya Abduh memenuhi usulan Ridha dengan mulai menyampaikan penafsiran-penafsiran ayat dalam perkuliahan di Universitas Al-Azhar. Sayangnya, perkuliahan hanya berjalan enam tahun dan penafsirannya sampai pada Surah Alnisa’[4] ayat 126 karena Abduh lebih dulu tutup usia.
Penafsiran Abduh kemudian dihimpun, dilanjutkan dan diterbitkan Rasyid Ridha di majalah al-Manar yang didirikannya sendiri. Namun, Ridha meninggal dunia saat penafsirannya sampai pada Surah Yusuf [12] ayat 101. Tafsir Al-Manar akhirnya terbit sebanyak 12 jilid dan hanya sampai pada Surah Yusuf [12] ayat ke 51. Adapun 50 ayat sisanya terbit secara terpisah dalam kitab berjudul Tafsir Surah Yusuf. (Rasyid Ridha dan Bahjat al-Biythar, Tafsir Surah Yusuf, 6).
Selanjutnya, karya tafsirnya disempurnakan oleh Bahjat al-Biythar (w. 1396 H/1976 M) dengan menambah penafsiran 10 ayat terakhir Surah Yusuf (dari ayat 102 hingga ayat 111). Hasil penyempurnaan ini secara terpisah tertuang dalam Tafsir Surah Yusuf karya Bahjat Al-Biythar yang tetap dinisbatkan pada Rasyid Ridha. Selain menulis Tafsir Al-Manar, Rasyid Ridha juga menulis tafsir singkat Surah Al-Kautsar, Al-Kafirun, Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas. (Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 2, 423).
Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam
Zahrat at-Tafasir
Tafsir ini ditulis oleh Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), seorang ahli fiqih dari Mesir yang terinspirasi dari tawaran yang pernah ia terima untuk mengisi rubrik dalam majalah Liwa’ al-Islam. Kemudian, ia menulis tafsir, namun hanya sampai pada Surah Alnaml [27] ayat 73. Pada Hari Jum’at, 12 April 1974 M, Abu Zahrah wafat dalam kondisi tersungkur di atas lembaran naskah (draft) tafsirnya yang masih terbuka. Tafsir ini belum ada yang melanjutkannya hingga sekarang. (Fadhal Hasan Abbas, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis, Juz 3, 373).
Uraian di atas paling tidak menjadi pelajaran betapa berartinya sebuah karya tulis sebagai media dokumentasi pemikiran penulisnya. Andai praktik tulis menulis tak jadi bagian dari jalan hidup para mufasir tersebut, sanad penafsiran tak akan sampai pada generasi sekarang. Para mufasir mutaqaddimin (terdahulu) sudah sepatutnya menjadi role model (teladan) dalam berliterasi.