Makan makanan yang halal dan baik merupakan tuntunan agama. Makanan disebut halal ketika ia termasuk makanan yang boleh dimakan dan didapatkan dengan cara yang baik pula. Memakan makanan yang halal dan baik merupakan bukti ketakwaan kita kepada Allah Swt.
Di dalam Alquran ada empat istilah untuk menyebutkan makan dan makanan; ta’am, maidah, aklun, dan ghidaun. Berikut penjelasannya:
Ţa’am
Lafaz ta’am disebutkan dalam Alquran sebanyak 48 kali dan tersebar dalam 26 surah. Secara bahasa, kata ţa’am diartikan sebagai segala sesuatu yang dimakan (Lisan al-‘Arab, h. 363).
Quraish Shihab berpendapat bahwa kata ṭa’am yang diungkapkan dalam Alquran bermakna segala perkara yang dapat dicicipi atau dimakan, termasuk air. Ini misalnya terlihat ketika kata syariba (minum) dan yath’am (makan) dikaitkan dengan air. Firman Allah dalam Q.S. Albaqarah ayat 249;
فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنّي
Siapa di antara kamu meminum airnya, ia bukanlah pengikutku. Dan siapa yang tiada memakannya (meminumnya), maka ia adalah pengikutku.
Berdasarkan ayat di atas ini, kata ṭa’am diungkapkan umumnya untuk segala sesuatu yang dapat dimakan dan kadang diungkapkan pula untuk sesuatu yang dapat diminum.
Maidah
Selain kata ṭa’am, makanan di dalam Alquran disebutkan juga dengan lafaż maidah yang mempunyai arti hidangan. Lafaż maidah juga digunakan untuk sebuah nama surah yang ada dalam Alquran. Kata ini sendiri terulang lima kali di dalam Alquran.
Menurut al-Ashfahani, Ibrahim Madzkur, serta al-Farisi, lafaż maidah merupakan hidangan atau pinggan yang di atasnya terdapat makanan dan minuman. Sedangkan di dalam Alquran, lafaż maidah digunakan untuk menunjukan makna hidangan. Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Alma’idah: 112;
إِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ ۖ قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
(Ingatlah) ketika pengikut-pengikut Isa berkata, “Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman.”
Baca juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi
Ghada’
Kata ghada’ atau ghida’ dalam bahasa Arab berarti makanan siang, sarapan, dan makanan pokok. (Kamus Al-Munawwir, h. 1071).
Di dalam Alquran, kata ghada’ terulang sebanyak 12 kali yang mempunyai beberapa arti. Namun, yang mempunyai arti makanan hanya terdapat dalam satu ayat saja, yaitu dalam Q.S. Alkahfi: 62:
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبً
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Kata ghada’ di ayat di atas memiliki arti yang lebih khusus, yaitu makanan untuk menu makan siang.
Aklun
Lafaz aklun berasal dari bentukan lafaz akala yang mengandung arti mengambil sesuatu kemudian menelannya setelah mengunyahnya. al-Asfahani mengartikannya mengambil makanan dan segala cara atau upaya yang menyerupai perbuatan tersebut.
Menurut Quraish Shihab, Alquran menggunakan kata tersebut dalam berbagai bentuk untuk menunjukkan pada aktivitas “makan”. Tetapi, kata tersebut tidak semata-mata berarti “memasukkan sesuatu ke tenggorokan”, tetapi juga menunjukkan arti segala aktivitas dan usaha. Hal ini misalnya tercermin dalam Q.S. Annisā’: 4, yaitu:
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat