Al-Khassyah (الخَشْيَة ) berasal dari kata خَشِيَ- يَخْشَى, yang tersusun dari tiga huruf kha, syin, dan ya (خشي ) yang memiliki makna khafa (خاف ). Arti khauf dalam kitab Lisan al-‘Arab yaitu takut. Seperti ungkapan khasiya al-rajul (خَشِيَ الرَّجُلُ ) yang artinya laki-laki itu takut. Kata ini juga memiliki arti Asyaddu Khaufan (اشد خوفا ) yang berarti sangat takut. Kata Khasyah memiliki makna takut secara berlebih-lebihan dan hanya diperuntukkan kepada Allah swt. Untuk itu, para nabi, rasul, dan ulama tidaklah mempunyai rasa khasyah kecuali hanya kepada Allah Swt. Sebagaimana yang terlukis dalam QS. Al-Ahzab ayat 39, bahwasanya ketakuan yang dialami nabi Muhammad saw. bukanlah menyangkut diri beliau, namun takut akan Allah.
Baca juga: Dua Dimensi Makna Puasa Menurut Sinta Nuriyah, Ragam Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183
Dalam kitab Mu’jam Mufradat, dijelaskan bahwa mana khassyah adalah rasa takut yang dilandasi dengan sikap mengagungkan. Kebanyakan penggunaan kata khassyah didasari oleh rasa takut, yang mana orang tersebut mengetahui apa yang ia takuti. Oleh karenanya kata khassyah tersebut dikhususkan hanya untuk Allah semata. Menurut Imam al-Zarkasyi, makna al-khassyah bukan berarti takut, namun memiliki arti al-ijlal (الأجلَل ) yaitu penghormatan dan al-ta’zim (التعظم ) yaitu pengagungan.
Kata Khasyah disebutkan sebanyak 48 kali dalam al-Quran. Dalam shighah masdar (kata benda jadian) disebut sebanyak 6 kali dalam al-Quran. Dalam penggunaan kata kerja lampau (khasyiya) sebanyak 13 kali, dalam bentuk fi’il mudhari’ (yakhsya atau takhsya) sebanyak 22 kali, dan dalam bentuk perintah kurang lebih sebanyak 5 kali.
Baca juga: Kajian Semantik Kata Surga dan Neraka dalam Al-Quran
Istilah al-Khassyah dalam berbagai derivasinya yang dipergunakan dalam al-Quran dengan makna keagungan (QS. Al-Hasyr: 21), ketaatan (QS. Qaf: 33), malu (QS. Al-Ahzab: 37),dan makna ibadah (QS. At-Taubah: 18).
-
Bermakna Keagungan
لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا ٱلْقُرْءَانَ عَلَىَٰ جَبَلٍ ل رَأَيْتَهۥُ خَشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ ٱ للَّه وَتِلْكَ ٱلْأ مَثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلناسِ لَعَلهُمْ يَتَفَكرُون
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir”(Q.S. Al-Hasyr [59]:21)
Prof. Wahbah Zuhaili dalam karyanya Tafsir al-Munir menguraikan, bahwa ayat ini adalah gambaran atau ilustrasi bagaimana seandainya gunung yang begitu kerasnya saja akan retak, tunduk, khidmat, terbelah-belah jika ia memahami isi al-Quran, karena bagitu takutnya kepada Allah swt. Kata خاشعاً disini memiliki makna tunduk dan patuh.
-
Bermakna Ketaatan
مَنۡ خَشِىَ الرَّحۡمٰنَ بِالۡغَيۡبِ وَجَآءَ بِقَلۡبٍ مُّنِيۡبِ
“(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”(Q.S. Qaaf [50] : 33)
Kata khasyah (خشى ) pada ayat di atas menggunakan kata kerja berbentuk lampau, yang memiliki arti telah takut, yakni takut yang lahir setelah menyadari dosa-dosa yang telah dilakukan. Kata man khasiya (من خشي ) mengandung dua makna, yaitu makna tunduk dengan mengikuti segala ucapan-Nya serta mengangkat kepala untuk bermohon kepada-Nya. Dengan kata lain, kata al-khasyah pada ayat ini memiliki makna takut, tunduk dan patuh atas segala apa yang telah Allah perintahkan.
-
Bermakna Malu
وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Q.S. Al-Ahzab[33]: 37)
Baca juga: Pengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63
Asbabun nuzul ayat di atas yakni berkenaan dengan perkawinan Rasulullah saw. dengan bekas istri Zaid bin Haritsah yakni Zainab binti Jahessy. Makna kata takhsya (تخشى ) memiliki makna malu, yakni malu meyampaikannya. Berbeda halnya dengan pandangan Ibnu Asyur yang memahami makna kata takhsya adalah tidak senang, yakni tidak senang mendengar ocehan kaum munafik jika perkawinan antara nabi saw. dan Zainab terjadi.
-
Al-Khassyah yang bermakna Ibadah
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْن
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. At-Taubah[9]: 18)
Dalam ayat di atas, makna kata (وَلَمْ يَخْشَ ألَّا الله ) wa lam yakhsya illa Allah menurut Imam Thabathaba’i dalam Tafsir fi Dzilalil Quran, adalah rasa takut yang kemudian melahirkan dorongan untuk beribadah.
Maksudnya adalah bukan takut yang bersumber dari naluri manusia melainkan takut hanya kepada Allah, yang tidak dapat dicapai kecuali oleh para nabi dan manusia-manusia istimewa yang dekat dengan Allah. Adapun pendapat Ibnu Asyur yang menguraikan, bahwa takut yang dimaksud ayat ini adalah ketika takut itu terjadi pada waktu bersamaan yang takut itu lebih dari dua atau lebih. Misal takut pada Allah dan bersamaan takut pada selain-Nya, maka ayat di atas menyatakan bahwa ketakutan itu hanya kepada Allah, dan ia tidak takut pada selain pada-Nya. Wallahu a’lam[]