Kaum Tsamud merupakan sebuah kabilah terkemuka suku asli Arab (‘aribah) yang bertempat tinggal di Hijr yang terletak di antara Hijaz dan Tabuk. Nama “Tsamud” sendiri merupakan berasal dari nama leluhur mereka yaitu Tsamud saudara dari Judais ibn Aiz. Keduanya merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, karena mereka berdua merupakan putra dari ‘Atsir ibn Iram ibn Sam ibn Nuh. Sehingga bisa dikatakan bahwa kaum Tsamud merupakan kabilah dari keturunan Tsamud ibn ‘Atsir. (Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya’, 1997: 147)
Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Shalih dan kaum Tsamud disinggung sebanyak 26 kali di sepuluh tempat, yang semuanya turun pada periode makkiyah, yaitu QS. asy-Syams [91]: 11-14, QS. al-Qamar [54]: 23-31, QS. al-A’raf [7]: 73-79, QS. asy-Syu’ara’ [26]: 141-158, QS. al-Isra’ [17]: 59, QS. Hud [11]: 61-68, QS. al-Hijr [15]: 80-83, QS. Fussilat [41]: 17, dan QS. an-Naml [27]: 45-53. (Husnul H., 2018: 117)
Al-Qur’an menceritakan kaum Tsamud sebagai kabilah yang menyembah berhala sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu mereka yaitu kaum ‘Aad. Akibat hal tersebut, maka Allah kemudian mengutus seorang Nabi yang bernama Shalih ibn ‘Ubaid ibn Masih ibn ‘Ubaid ibn Hadir ibn Tsamud ibn ‘Atsir ibn Iram ibn Nuh. Sebagaimana tugas utama seorang Nabi, maka Nabi Shalih mulai memerintahkan kaum Tsamud agar meninggalkan kemusyrikan dan hanya menyembah kepada Allah semata (QS. Hud [11]: 61).
Namun, dakwah Nabi Shalih tersebut mendapat berbagai penolakan dari kaum Tsamud. Bahkan, mereka juga meragukan kebenaran agama yang diserukan oleh Nabi Shalih. Oleh karena itu, guna membuktikan kebenaran risalah kenabian yang dibawa Nabi Shalih, kaum Tsamud menantang Nabi Shalih agar mampu mengeluarkan unta dari sebuah batu besar yang mereka tunjuk.
Menurut Shadiq Hasan al-Qanuji dalam Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, batu besar tempat keluarnya unta tersebut memiliki ciri permukaan yang kasar atau dalam istilah bahasa Arab disebut shakhrah shamma’ (al-Qanuji, 1992: 207). Kemudian terkait nama batu tersebut, al-Zuhaili menyebutnya dengan nama batu al-Katibah, yaitu batu yang menyendiri di sekitar Hijr (al-Zuhaili, 2016: 508)
Setelah mendapat tantangan tersebut, Nabi shalih kemudian menyanggupi permintaan kaum Tsamud, dan berdoa kepada Allah agar diberikan mukjizat berupa keluarnya unta dari batu besar. Akhirnya atas izin Allah, keluarlah seekor unta betina dari batu besar, sebagaimana disebutkan dalam QS. Hud [11] ayat 64:
وَيٰقَوْمِ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيْبٌ – ٦٤
“Dan wahai kaumku! Inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa (azab)”
Baca Juga: Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya
Virus Sampar Sebagai Azab Allah Kepada Kaum Tsamud
Nabi Shalih membuat ketentuan-ketentuan tertentu terkait dengan unta yang harus dipatuhi oleh kaum Tsamud, antara lain adalah: (1) membiarkan unta tersebut merumput dan tidak boleh diganggu (QS. al-A’raf [7]: 73); (2) dilakukan giliran untuk mendapatkan air, sehari untuk unta, dan hari yang lain untuk kaum Tsamud (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 155); dan (3) tidak boleh menyakiti unta tersebut, karena perilaku tersebut dapat menyebabkan datangnya azab (QS. Hud [11]: 64).
Namun, bukanya mematuhi ketentuan yang diberlakukan Nabi Shalih, kaum Tsamud justru melanggar ketentuan yang berlaku dan membunuh unta betina yang menjadi tanda mukjizat kenabian Nabi Shalih. Wahbah al-Zuhaili menyebut bahwa yang menyembelih unta tersebut adalah Qidar ibn Salif. Akibat perilaku tersebut, maka azab yang dijanjikan Allah dalam QS. Hud [11]: 64 pun turun kepada kaum Tsamud.
Namun, sebelum azab tersebut menimpa kaum Tsamud, terlebih dahulu mereka dibiarkan oleh Nabi Shalih agar bersukaria selama tiga hari, sebagaimana disebutkan dalam QS. Hud [11] ayat 65:
فَعَقَرُوْهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوْا فِيْ دَارِكُمْ ثَلٰثَةَ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوْبٍ – ٦٥
“Maka mereka menyembelih unta itu, kemudian dia (Saleh) berkata, Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”
Dalam kitab tafsir al-Lubab fi ‘Ulum al-Kitab karya Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimasyqi, dijelaskan bahwa selama masa penungguhan tiga hari sebelum dijatuhkanya azab, terjadi perubahan warna wajah yang dialami oleh kaum Tsamud, sebagaimana disampaikan Ibnu Abbas dalam redaksi berikut:
قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ: لَمَّا أَمْهَلَهُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، قَالُوْا وَمَا عَلَامَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَصْبَحُوْا فِيْ اليَوْمِ الأَوَّلِ وُجُوْهَكُمْ مُصْفَرَّةٌ، وَفِيْ اليَوْمِالثَّانِيْ مُحْمَرَّةٌ، وَفِيْ اليَوْمِ الثَّالِثِ مُسْوَدَّةٌ، ثُمَّ يَأْتِيْكُمْ العَذَابُ فِيْ اليَوْمِ الرَّابِعِ
“Ibnu Abbas berkata: manakala (azab) ditangguhkan selama tiga hari, mereka berkata apa tanda dari hal tersebut? Lalu dijawab: pada hari pertama wajah kalian akan berwarna kuning, pada hari kedua menjadi merah, dan pada hari ketiga berubah menjadi hitam. Kemudian datang azab pada hari keempat” (al-Dimasyqi, 1998: 516)
Baca Juga: Kisah Nabi Idris: Pelopor Berbagai Ilmu dan Inovasi Umat Manusia
Menurut Dr. Opitz, jenis epidemi yang menyerang kaum Tsamud tersebut adalah virus sejenis thypus exanthematicus, yang menyebabkan keracunan disertai lautan darah dan kerusakan pembuluh darah, yang menyebabkan penyakit kuning (icterus). Kemudian, pada hari selanjutnya terjadi pendarahan pada seluruh bagian kulit. Terakhir, pada hari ketiga, kulit kaum Tsamud berubah menjadi berwarna hitam karena virus dalam daging unta tersebut telah menyerang empedu. Sehingga mengeluarkan cairan berwarna hitam. (Nasaruddin Umar, Islam Fungsional, 2014: 321)
Dalam pendapat lain, Husnul Hakim menolak pendapat yang disampaikan Nasaruddin Umar tersebut. Hal ini dikarenakan para ahli kedokteran menyampaikan bahwa virus jenis thypus exanthematicus baru tersebar di Jazirah Arab sekitar abad ke-6 M, sedangkan peristiwa kaum Tsamud tersebut terjadi pada kurun waktu 1800-1600 SM. Menurut Husnul Hakim, analisis yang lebih logis adalah peristiwa perubahan warna wajah kaum Tsamud tersebut terjadi akibat dari virus sampar (pestis haemorrhagica).
Menurut ahli kedokteran, virus sampar menyebar melalui perantara daging binatang unta. Virus tersebut membuat penderitanya mengalami perubahan warna wajah menjadi pucat (kuning), kemudian ditambah dengan demam yang tinggi (merah), hingga akhirnya mencapai kondisi yang sangat kritis yang mengakibakan warna wajah menjadi hitam. (Husnul H., 2018: 120-121)
Baca Juga: Covid-19 dan Kisah Ketakutan Kepada Selain Allah dalam Al Quran
Larangan Mendiami Tempat Bekas Wabah
Dalam sebuah riwayat hadis yang cukup panjang, diceritakan bahwa tatkala Rasulullah dan para sahabat singgah di Tabuk, kemudian beliau membawa para sahabat ke Hijr bekas puing-puing tempat kaum Tsamud. Pada saat itu, para sahabat membuat adonan roti dan membersihkan tempayan-tempayan mereka menggunakan air dari sumur-sumur bekas kaum Tsamud. Melihat hal tersebut, Rasulullah kemudian menegur mereka dan menyuruh mereka agar membuang air bekas sumur kaum Tsamud tersebut. (Ibnu Katsir, 1997: 162)
Dalam sumber lain, yaitu kitab Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an karya Imam al-Thabari. Terdapat sebuah riwayat yang secara tegas melarang para sahabat untuk masuk ke desa dan meminum air bekas kaum Tsamud. Riwayat tersebut disampaikan oleh Ibnu Juraij, sebagaimana berikut:
وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حِيْنَ أَتَى عَلَى قَرْيَةِ ثَمُوْدَ، لِأَصْحَابِهِ: لَا يَدْخُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ القَرْيَةَ، وَلَا تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهِمْ.
“Ketika Rasulullah berada di Desa bekas kaum Tsamud, beliau bersabda kepada para sahabat: tidak diperkenankan satupun diantara kalian untuk masuk ke Desa (bekas tempat kaum Tsamud), dan janganlah kalian meminum dari bekas air minum mereka (kaum Tsamud)” (al-Thabari, t.th: 278)
Dua riwayat tersebut mencerminkan bagaimana sikap Islam dalam memproteksi umat Nabi Muhammad dari sebuah fenomena wabah yang pernah terjadi pada masa terdahulu. Jika dikontekstualisasikan pada masa covid-19 saat ini, maka protokol kesehatan berupa menjaga jarak (physical distancing) atau isolasi mandiri bagi penderita covid-19 merupakan salah satu bentuk implementasi dari ajaran Islam dalam hal memberikan perlindungan kepada sesama manusia agar tidak terkena azab atau wabah sebagaimana yang pernah dialami oleh umat terdahulu. Wallahu A’lam