BerandaKhazanah Al-QuranEtika Tilawah Alquran Menurut Imam Abdullah Al-Haddad (Bagian 2)

Etika Tilawah Alquran Menurut Imam Abdullah Al-Haddad (Bagian 2)

Termasuk perbuatan agung dalam Islam sehingga perlu bagi setiap orang untuk menjaga sikap, yakni ketika membaca Alquran. Akhir-akhir ini, ada kalangan yang menganggap enteng dan tidak peduli terhadap norma yang berlaku, dan mengakibatkan mereka menyamakan membaca Alquran dengan membaca buku, novel, maupun bacaan-bacaan lain. Padahal, kualitas dan kuantitas Alquran dengan yang lain tentu memiliki disparitas yang signifikan. Sehingga, perlu kiranya mengulas kembali norma-norma yang hilang melalui petuah Abdullah Al-Haddad dalam kitab An-Nasha`ih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah.

Tulisan ini ingin melanjutkan pembahasan sebelumnya, dengan membahas bagian kedua dan ketiga terkait etika-etika yang perlu dipraktikkan ketika membaca Alquran:

Baca Juga: Etika Membaca Alquran Menurut Abdullah Al-Haddad (Bagian I)

Kedua, Merenungi Kandungan Ayat Alquran

Membaca Alquran dengan metode tadabbur (merenungi kandungan ayat), dan tafahhum (memahami kata per kata lafal Alquran) merupakan etika yang harus diterapkan. Ini karena perintah Allah yang termaktub dalam surah  Shad [38]: 29:

 كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ ۝٢٩

(Alquran ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.

Ath-Thabari dalam tafsirnya Tafsir Ath-Thabari menyatakan bahwa ayat di atas merupakan perintah Allah yang mengingatkan pada Nabi Muhammad agar menyuruh umatnya untuk merenungi isi dan kandungan, serta dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran, serta segala hal yang telah disyariatkan kepada umat Muhammad, agar mereka mengetahui  sesuatu yang telah Allah janjikan.

Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir menafsiri ayat di atas sebagai perintah sebab turunnya Alquran agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, dengan cara memahaminya, menalarnya, dan mengkajinya dengan cermat, hingga mereka memahami jenis-jenis petunjuk di dalam Alquran, dan apa yang ada di dalamnya. Tak luput pula dalam ayat di atas terdapat anjuran bagi orang-orang yang berakal sehat untuk mengambil pelajaran guna menjauhi segala perbuatan maksiat yang mencacatkannya.

Baca Juga: Pesan al-Ḥaddād untuk Penanya dan Orang yang Ditanya

Ibnu Katsir mengatakan bahwa selain ayat di atas, masih banyak ayat-ayat yang menyinggung pentingnya bertadabbur dalam membaca Alquran, seperti ayat yang mencela golongan yang tidak menghayati Alquran yang dijelaskan dalam surah Muhammad [47]: 24:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Maka tidakkah mereka menghayati Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci.

Abdullah Al-Haddad melanjutkan nasihatnya dengan mengutip perkataan Sayyidina Ali:

Tidak ada kebaikan bagi bacaan Alquran orang-orang yang tidak merenung”

Beliau membenarkan pepatah tersebut dengan alasan bahwa Alquran diturunkan tidak lain agar menjadi tempat perenungan atau meditasi bagi manusia. Karena, hanya dengan cara demikian maksud dari Alquran akan tersampaikan, sehingga manusia dapat mengamalkan isi dari Alquran secara baik.

Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa membaca Alquran dengan kadar yang sedikit sembari meratapi kandungan ayatnya lebih baik dari pada membaca banyak namun tidak direnungkan. Dalam kitab ini juga dikisahkan terdapat dua orang yang sedang membaca Alquran dalam waktu yang sama. Satu orang membaca surah Al-Baqarah, sedangkan yang lain mampu membaca Al-Baqarah dan Ali-‘Imran, padahal kadar waktu mereka berdua tidak berbeda, lalu ditanyalah mana yang lebih utama?

Abdullah Al-Haddad menjawab pertanyaan di atas bahwa yang lebih utama ialah orang yang pertama. Alasannya, karena tentu orang pertama tidak hanya sekedar membaca, melainkan juga merenungi dan mencoba menangkap maksud dari Tuhan, dan ini yang membuatnya lebih unggul. Sementara, dapat diketahui bahwa pembaca kedua tidaklah melakukan seperti pembaca pertama yang membaca Alquran sembari diresapi ayat per ayatnya, dikarenakan durasi waktu yang dijalani oleh keduanya tidak berbeda.

ketiga, Metode Abdullah Al-Haddad Bertadabbur Melalui Ayat Alquran

Oleh karena itu, dalam kitab Nasihat Agama dan Wasiat Iman, Abdullah Al-Haddad ini sangat menganjurkan setiap Muslim tatkala membaca Alquran untuk merenungi, memahami, serta menangkap maksud dari setiap ayat yang dibacanya. Cara efisiennya menurut beliau, yakni ketika selesai membaca satu ayat, ia berhenti untuk memikirkan apakah kandungan ayat tersebut berisi sebuah perintah, larangan, nasihat, dll.

Baca Juga: Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Quran

Jika ayat tersebut berisi sebuah perintah atau larangan, maka seseorang harus merefleksikan isi dari ayat tersebut kepada perbuatan diri sendiri. Apakah, ia sudah termasuk golongan orang-orang yang menaati perintah-Nya, orang yang menjauhi larangan-Nya, serta orang yang sudah selaras dengan apa yang dikatakan Alquran?

Jika ia sudah sesuai dengan kandungan Alquran tersebut, maka hendaknya ia bersyukur pada Allah karena selama ini telah diberikan pertolongan dan penjagaan. Sementara, jika ia bertentangan dengan isi ayat, dalam artian ia termasuk orang-orang yang tidak melaksanakan perintah Tuhan (lalai), maka ia diharuskan untuk memohon ampunan pada Allah dari segala perbuatannya serta bertekad untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.

Dan jika ia membaca ayat-ayat yang berisi menyucikan atau menguduskan Tuhan (tauhid), maka ia dianjurkan berhenti untuk merenungi betapa agung dan mulianya Allah dengan menghadirkan perasaan yakin bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah semata.

Demikian pula jika seseorang ketepatan membaca ayat yang membahas orang-orang yang saleh, serta dijelaskan karakteristik, akhlak, serta kepribadian dari kekasih Allah tersebut, maka ia dianjurkan untuk memperhatikan itu semua untuk kemudian menirunya dengan mengaplikasikan pada semua tingkah lakunya.

Sementara, jika seseorang membaca ayat yang mengulas tentang sifat buruk dari musuh-musuh Allah berupa orang-orang kafir atau munafik, maka ia juga dianjurkan untuk melihat perbuatan-perbuatan mereka kemudian direnungkan, apakah ia sama atau tidak dengan mereka. Jika sama, tentu ia harus bersegera menghilangkan sifat tersebut. Dan apabila berbeda, maka ia dapat mengambil pelajaran untuk tidak mengikuti jejak orang-orang yang durhaka pada-Nya.

Hal itu semua, menurut Abdullah Al-Haddad tidak lain sebagai wujud dari bentuk syukur seorang hamba terkait tujuan dari turunnya Alquran itu sendiri, yakni menjadi petunjuk bagi segala hal yang berkaitan dengan urusan-urusan duniawi maupun duniawi, untuk kemudian menjadi bahan perenungan bagi mereka yang mau berpikir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat

 وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَࣖ ۝

“Kami turunkan Kitab (Alquran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.”

Wallahu A’lam.

Muhammad Ubaidillah
Muhammad Ubaidillah
Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al lail

Hikmah Sumpah Allah dalam Surah Al-Lail

0
Setiap sumpah (qasam) dalam Alquran memiliki tujuan, di antaranya sebagai isyarat atas keutamaan sesuatu yang dijadikan sumpah tersebut supaya manusia dapat mengambil pelajaran darinya....