BerandaTokoh TafsirFakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb

Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb

Fakhruddin Ar-Razi adalah panggilan masyhurnya. Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Umar ibn al-Husain ibn al-Hasan ibn Ali al-Tamimi al-Bakri al-Thabrastani Ar-Razi. Ia juga memiliki panggilan terkenal lainnya yakni Ibn al-Khatib al-Syafi’i yang diambil dari penisbatannya terhadap ayahnya.

Ar-Razi lahir pada tahun 544 H di Ray (Razi), sebuah daerah yang saat ini dikenal sebagai bagian dari Ibu Kota negara Iran. Ia mendapati ilmu agama pertama kali melalui ayahnya, Dhiyauddin yang dikenal juga sebagai al-Khatib al-Rayy, yang merupakan seorang ulama di daerahnya. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu kepada al-Sam’ani dan al-Majid al-Jilli serta kepada para Ulama lainnya yang terkenal di zamannya.

Tughrul Tower
Tughrul Tower (Monumen terletak di Kota Ray dibangun abad 12) foto: wikipedia

Dari hasil pengembaraannya mencari ilmu, Ar-Razi mampu menguasai berbagai keilmuan baik keilmuan agama dan humaniora (seperti Tafsir, Kalam, Ushul Fiqh, Bahasa, Filsafat, Logika) maupun Sains (seperti pengobatan dan astronomi). Maka tepat jika dikatakan bahwa Ar-Razi adalah seorang ulama yang tidak mendikotomi ilmu.

Ia juga dikenal pandai dalam beretorika, sampai ia dijuluki sebagai orang yang mampu beretorika dengan lisan orang Arab maupun A’jam. Kemampuannya ini juga ia gunakan untuk melakukan kritik dan berdebat dengan orang-orang maupun kelompok-kelompok yang dianggapnya menyimpang dan tidak sesuai dengan pandangan yang ia pegang, terutama dalam bidang Aqidah.

Ar-Razi meninggalkan warisan pemikirannya dalam karya-karyanya di berbagai bidang keilmuan. Karyanya yang dianggap paling agung adalah karyanya dalam bidang Tafsir yang diberi judul Mafatih al-Ghaib. Adapun dalam bidang Kalam ia memiliki karya yang berjudul al-Mathalib al-‘Aliyah dan Kitab al-Bayan wa al-Burhan fi Radd Ahli al-Zaig wa al-Thugyan. Kemudian dalam bidang Ushul Fiqh, karyanya berjudul al-Mahshul dan Syarh al-Wajiz fi al-Fiqh li al-Ghazali.

Dalam bidang Hikmah atau Filsafat, ia menulis sebuah karya yang merupakan catatan atas karangan Ibn Sina yakni al-Mulakhash wa Syarh al-Isyarat li Ibn Sina. Di bidang bahasa, ia menulis syarah atas karya nahwu Imam al-Zarkasyi yang berjudul Syarh al-Mufasshal fi al-Nahwi li al-Zarkasyi. Serta dalam bidang pengobatan ia menulis Masa’il fi al-Thib.

Baca Juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Fakhruddin Ar-Razi wafat pada tahun 606 H dan tidak diketahui pasti di mana daerah terakhir yang menjadi persinggahan terakhirnya. Al-Dzahabi mengatakan bahwa Ar-Razi wafat di tanah kelahirannya di Rayy, adapun pendapat lainnya mengatakan bahwa kota Hirrah merupakan tempat terakhir yang disinggahi Ar-Razi sebelum menghembuskan nafas terakhir. Sebagaimana tempat wafatnya, penyebab kematian Ar-Razi juga masih simpangsiur. Al-Dzahabi mengatakan bahwa wafatnya Ar-Razi disebabkan oleh racun yang diberikan oleh lawan debatnya dalam masalah Aqidah.

Mengulas Sekilas Magnum Opus Ar-Razi (Mafatih al-Ghaib)

Fihi kullu syai’ illa al-tafsir (di dalamnya terdapat banyak sekali pembahasan kecuali tafsir itu sendiri) begitu kiranya salah satu pendapat yang masyhur tentang Mafatih al-Ghaib. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ar-Razi adalah sosok cendekiawan Islam yang tidak mendikotomi ilmu pengetahuan (keIslaman dan Sains) dan Mafatih al-Ghaib bisa jadi salah satu dari upayanya untuk memadukan keilmuan yang telah dikuasainya.

Pendapat di atas bisa dibuktikan saat membaca Mafatih al-Ghaib yang memang memberikan porsi yang besar bagi muatan ilmu-ilmu selain tafsir di dalamnya. Salah satu contohnya ialah tatkala ia menjelaskan makna al-‘alamin pada ayat ke-2 surah al-Fatihah. Begini kutipan tafsirnya:

إِنَّ الْعَالَمِينَ عِبَارَةٌ عَنْ كُلِّ مَوْجُودٍ سِوَى اللَّهِ تَعَالَى، وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: الْمُتَحَيِّزَاتُ، وَالْمُفَارِقَاتُ، وَالصِّفَاتُ. أَمَّا الْمُتَحَيِّزَاتُ فَهِيَ إِمَّا بسائط أو مركبات، أو الْبَسَائِطُ فَهِيَ الْأَفْلَاكُ وَالْكَوَاكِبُ وَالْأُمَّهَاتُ، وَأَمَّا الْمُرَكَّبَاتُ فَهِيَ الْمَوَالِيدُ الثَّلَاثَةُ، وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا جِسْمَ إِلَّا هَذِهِ الْأَقْسَامُ الثَّلَاثَةُ، وَذَلِكَ لِأَنَّهُ ثَبَتَ بِالدَّلِيلِ أَنَّهُ حَصَلَ خَارِجَ الْعَالَمِ خَلَاءٌ لَا نِهَايَةَ لَهُ، وَثَبَتَ بِالدَّلِيلِ أَنَّهُ تَعَالَى قَادِرٌ عَلَى جَمِيعِ الْمُمْكِنَاتِ، فَهُوَ تَعَالَى قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ أَلْفَ أَلْفَ عَالَمٍ خَارِجَ الْعَالَمِ، / بِحَيْثُ يَكُونُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ تِلْكَ الْعَوَالِمِ أَعْظَمَ وَأَجْسَمَ مِنْ هَذَا الْعَالَمِ، وَيَحْصُلُ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا مِثْلَ مَا حَصَلَ فِي هَذَا الْعَالَمِ من العرش والكرسي والسموات وَالْأَرَضِينَ وَالشَّمْسِ وَالْقَمَرِ، وَدَلَائِلُ الْفَلَاسِفَةِ فِي إِثْبَاتِ أَنَّ الْعَالَمَ وَاحِدٌ دَلَائِلُ ضَعِيفَةٌ رَكِيكَةٌ مَبْنِيَّةٌ عَلَى مُقَدِّمَاتٍ وَاهِيَةٍ

Secara ringkas, inti dari kutipan tafsir di atas menerangkan bahwa Fakhruddin Ar-Razi tidak bersepakat dengan para filosof di zamannya yang menyatakan bahwa alam semesta hanya satu dan yang ditempati oleh manusia saat ini. Baginya, kata al-‘alamin merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan jika alam semesta berjumlah tidak terhingga dan bahkan lebih besar dari alam yang manusia tempati saat ini. Sebab tidak ada kemungkinan yang tidak mungkin diwujudkan oleh Sang Maha Mampu.

Al Tafsir al Kabir Mafatih Al-Ghayb
Al Tafsir al Kabir Mafatih Al-Ghayb

Terlihat bahwa dalam tafsirnya, Fakhruddin Ar-Razi menggunakan isyarat bahasa dan menggunakannya sebagai titik pijak untuk melakukan eksporasi penjelasan lanjutan dengan ilmu-ilmu lainnya yang ia kuasai. Bahkan pernyataan Ar-Razi mengenai kemungkinan adanya lebih dari satu alam semesta di abad ke-12/13 M tersebut, diakui secara ilmiah oleh para pakar astronomi abad ke-21. Mereka menemukan bahwa sebuah teori mengenai saluran ruang angkasa atau yang disebut wormholes yang mampu menghubungkan antara satu ruang dimensi dengan ruang dimensi lainnya.

Fakhruddin Ar-Razi dan pemikirannya dapat menjadi inspirasi bagi calon-calon cendekiawan Islam masa kini untuk tidak mendikotomi ilmu dan justru mencoba menguasai seluruhnya. Sebab majunya keilmuan menjadi suatu penanda majunya suatu peradaban. Maka apabila peradaban Islam ingin mengulang masa keemasannya, umat Islam haruslah menjadi pionir terdepan dalam setiap bidang keilmuan. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU