BerandaTafsir TematikFungsi Al-Quran, Kitab Samawi yang Lain dan Cara Mendakwahkannya

Fungsi Al-Quran, Kitab Samawi yang Lain dan Cara Mendakwahkannya

Istilah kitab samawi merupakan sebutan yang dinisbatkan pada agama samawi. Agama samawi atau agama langit merupakan agama yang berdasarkan wahyu Tuhan. Istilah kitab samawi tidak lain merujuk pada pengertian tersebut; yang membedakannya adalah term ‘agama’ dan ‘kitab’-nya. Dengan demikian, kitab samawi adalah kitab yang menjadi rujukan empat agama samawi tersebut.

Kitab samawi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Quran. Kitab-kitab tersebut diturunkan kepada orang-orang pilihan Allah. Setelah kitab tersebut diturunkan dan diterima, maka langkah selanjutnya adalah membumikannya; atau dalam istilah umum mendakwahkannya. Tujuan utamanya adalah mefungsikan kitab tersebut sebagai pedoman dan rambu-rambu kehidupan.

Permasalahan ‘mendakawahkan’ semakin menemui problem yang kompleks setelah orang pilihan (Rasul) tersebut wafat. Penerusnya terkadang memberikan perubahan dan sisipan menurut kehendak nafsunya. Hanya Al-Qur’an yang dijamin kemurnian dan keabsahannya, baik dari segi konten atau kandungannya. Oleh karena itu, tulisan ini akan memberikan ulasan terkait dengan fungsi kitab-kitab samawi secara global. Kemudian, akan dibahas pula konsep untuk mendakwahkan dan sekaligus menjelaskan cara bersikap ketika kita dipercaya sebagai pendakwah.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3-4: Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?

Sebelum masuk lebih jauh, ayat yang mendasari tulisan ini adalah Q.S Al-Maidah [5]: 44. Ayat ini diturunkan kepada kaum Yahudi yang mengingkari hukum Taurat terkait dengan hukum pidana (lebih spesifik hukum rajam). Adapun maksud hukum di dalam ayat tersebut telah diuraikan oleh M. Najih Arromadloni. Perspektif lain mengatakan bahwa ayat tersebut dipandang sebagai ayat ideologi.

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِن كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًاۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ  (٤٤)

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Ada dua aliran dalam memberlakukan ayat tersebut; pertama, ayat itu dipandang sebagai ayat khusus untuk orang Yahudi; kedua, ayat yang berlaku umum. Dualisme tersebut menimbulkan efek yang berbeda. Apabila yang digunakan adalah perspektif pertama, maka ayat tersebut tidak berlaku untuk umat Muslim. Berbeda dengan yang pertama, dalam pandangan kedua umat Muslim ada di dalamnya, karena berlaku umum.

Tidak hanya berlaku pada vonis kafir tidaknya, keumuman tersebut berlaku juga pada kitab lain selain Taurat. Termasuk di dalamnya ada fungsi dan anjuran bagaimana untuk mendakwahkannya.

Baca Juga: Keterkaitan Al-Quran, Kitab-Kitab Terdahulu dan Keragaman Syariat

Fungsi kitab-kitab Allah dan aturan menyampaikan pesannya

Fungsi kitab-kitab Allah dalam ayat tersebut adalah sebagai petunjuk dan cahaya. Fakhruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir (12, 365) menafsirkan, petunjuk (huda) dalam ayat di atas adalah sebagai penjelas hukum-hukum, syari’at, dan taklif (beban hukum); sedangkan cahaya (nur) mencakup tauhid, kenabian, dan tempat kembali (akhirat). Perbedaan makna tersebut merupakan dampak dari adanya hukum ma’thuf dan ma’thuf alaih.

Menurut Musthafa al-Maraghi, kitab Taurat sebagai petunjuk menuju kebenaran, sehingga Bani Israil dapat keluar dari penyembah patung murni (min watsaniyah al-mishriyyin) dan kesesatan. Sedangkan cahaya tersebut akan menampakan sesuatu dari kesesatannnya, sehingga mereka akan melihat jalan/cara tersendiri dalam urusan agama dan dunia (Tafsir al-Maraghi 6, 123).

Dua fungsi Taurat di atas pada hakikatnya berlaku pula pada kitab samawi secara umum, termasuk Al-Qur’an. Sebab, tidak ada kitab yang sumbernya dari Allah kecuali di dalamnya mengandung seruan untuk bertauhid, memperbaiki ibadah, dan menjaga urusan dunia.

Setidaknya ada tiga fungsi dari kitab samawi bagi umat manusia; pertama, untuk menjaga fitrah manusia dan sekaligus menguatkannya; kedua, menjaga ekosistem kehidupan dunia; ketiga, keseimbangan urusan dunia dan akhirat.

Akan tetapi, fungsi di atas seringkali tidak di indahkan oleh mereka yang mengajarkan pesan-pesan kitab-kitab Allah tersebut, terlebih sepeninggal Rasul pembawa kitab. Ayat di atas juga memberikan gambaran, bahwa setelah mereka diberikan kepercayaan untuk membumikan kitab Allah, mereka tidak takut kepada Allah; bahkan mereka ‘menukar’ ayat tesebut dengan bentuk materi.

Baca Juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?

Kalimat falā takhsyaw al-nās wakhsyawnī sebagai peringatan bahwa mereka menginginkan dan berharap adanya manfaat yang datang dari manusia, bukan dari Allah. Selain itu, mereka juga sering memperjual belikan kitab-kitab tersebut dengan harga yang sangat murah.

Al-Maraghi menafsirkan walā tasytarū biāyātī tsamanan qalīlā yang ada dalam ayat di atas dengan tidak memberi penjelasan, baik dalam bentuk teladan perbuatan maupun istibath dan hukum dari kitab tersebut, karena mereka merasa manfaat duniawinya sedikit. Dari pernyataan di atas, Allah secara tegas melarang kepada siapa saja yang menjadikan ayat-Nya sebagai alat tukar atau dijadikan media untuk meraup keuntungan dunia yang sedikit.

Bagaimanapun cara dakwahnya, dua konsep di atas harus dipegang kuat oleh pendakwah atau orang yang berilmu. Konsep tersebut sebagaimana yang tertuang dalam potongan ayat falā takhsyaw al-nās wakhsyawnī dan walā tasytarū biāyātī tsamanan qalīlā.

Ketika seseorang tidak mengindahkan peringan tersebut, maka mereka akan menyembunyikan dan bahkan meninggalkan ayat-ayat Allah yang tidak sesuai dengan kemauan dirinya atau kelompoknya. Memilih ayat yang sesuai menurut hawa nafsu dan menguntungkan kelompoknya sendiri tidal lain merupaka perbuatan yang tidak dibenarkan dalam konsep dakwah dan Islam. Padahal Nabi SAW telah memperingati, “sampaikanlah walaupun itu terasa pahit”.

Ayat dan penjelasan di atas berkesimpulan bahwa fungsi dari kitab-kitab Allah adalah sebagai petunjuk dan cahaya. Sedangkan dalam konsep mendakwahkannya meliputi empat butir; pertama, dakwah bukan karena keinginan nafsu dan manusia; kedua, harus memiliki rasa takut kepada Allah; ketiga, sampaikanlah sebagaimana fakta dan realita yang ada dalam kitab tersebut; keempat, dilarang keras tebang pilih hukum dan aturan yang ada dalam kitab tersebut, sehingga yang cocok disampaikan; yang tidak, disembunyikan. Wallahu a’lam.

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...