Fungsi Transformatif Islam dalam Ritual Kurban

Fungsi transformatif Islam dalam ritual kurban
Fungsi transformatif Islam dalam ritual kurban

Ritual kurban bukanlah ibadah yang berasal dari Islam sepenuhnya. Jauh sebelum Islam datang, penyembelihan hewan ternak ini sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat pra Islam dengan beberapa teknis yang konon menyimpang dari akidah, seperti mengarak hewan ke kakbah, menjadikannya persembahan untuk dewa, dan lain sebagainya. Penyimpangan tersebut Islam tumpas dan merubahnya sebagai ibadah yang menjunjung nilai ketakwaan.

Tradisi kurban masa pra Islam

Dalam kilasan sejarah, kurban menjadi tradisi di berbagai suku dengan latar belakang agama berbeda. Tradisi tiap golongan pun memiliki karakteristik masing-masing. Di antaranya, tradisi kurban di kalangan Bangsa Yunani yang diiringi dengan ritual mistis. Mengutip Jayusman dalam Tinjauan Hukum Islam terhadap Kurban, para ahli ilmu perbintangan menuangkan air dingin dan madu sembari menyuguhkan daging kurban. Kemudian, masyarakat yang menghadiri prosesi kurban memercikkan air mawar di majelis tersebut. Ritual mistis ini bertujuan untuk mensakralkan hewan kurban.

Beda hal lagi dengan kurban di kalangan Bangsa Persi, Romawi, Funicia, dan Mesir Kuno. Tidak hanya hewan, bangsa tersebut juga menjadikan manusia sebagai persembahan untuk berkurban. Tradisi tersebut berlangsung hingga tahun 587 M.

Eksistensi kurban sebagai sebentuk ritual keagamaan umat pra Islam juga dibuktikan oleh firman Allah, antara lain Q.S. Alhajj [22]: 34.

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ

“Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.”

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, diksi mansakan menunjukkan makna tempat penyembelihan. Makna ini diperkuat dengan akhir kutipan ayat yang berarti hewan ternak. Dengan demikian, Islam mengakui bahwa syariat kurban memang telah diberikan kepada tiap umat. Hanya saja, di antara mereka ada yang bertindak menyeleweng.

Selain ayat tersebut, ada pula firman Allah dalam Q.S. Almaidah [5]: 27, yang menceritakan kurban pertama dalam sejarah manusia, yaitu kurban yang dilakukan Qabil dan Habil. Ada pula firman Allah dalam Q.S. Asshaffat [37]: 102, yang menceritakan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail. Dalam kisah ini terdapat sesuatu yang turut menginspirasi ibadah kurban dalam Islam, yaitu kerelaan dan keikhlasan Ibrahim untuk melakukan apapun yang diperintah Allah, meski hal itu amat memedihkan.

Baca juga: Penjelasan Ulama tentang Kurban Patungan

Setelah fase dakwah Nabi Ibrahim usai, ibadah kurban mengalami transformasi. Mengutip Tafsir Kemenag, Alquran dan Tafsirnya jilid 2, Bangsa Yahudi meyakini api sebagai tolak ukur diterimanya kurban. Hanya kurban yang terbakar apilah yang menurut mereka diterima oleh Tuhan. Keyakinan ini bukan sesuatu yang baru. Banyak tradisi yang memercayai api sebagai hal yang mengandung kekuatan magis, seperti tradisi pada fase dakwah Nabi Musa dan sebelumnya, serta kepercayaan serupa di masa Nabi Adam.

Sementara itu, sebelum Islam datang, masyarakat Jahiliah juga melaksanakan kurban. Mengutip Tafsir Ibnu Katsir jilid 5, masyarakat Jahiliah mempersembahkan kurban untuk berhala-berhala yang mereka sembah. Mereka mengusapkan darah hewan kurban kedinding kakbah dan meletakkan dagingnya di sana. Unsur politeisme dalam tradisi kurban ini juga menjadi salah satu yang Islam benahi.

Fungsi transformatif ritual kurban

Mengamati tradiri kurban masyarakat pra Islam, setidaknya terdapat dua sisi penyelewengan dalam Ibadah kurban, yakni dari segi teknis dan orientasi. Dalam segi orientasi misalnya, kurban tidak berupa ibadah yang murni diperuntukkan kepada Allah, melainkan sesajen untuk berhala, kekuatan alam, atau hal lain selainNya. Dalam segi teknis misalnya, pelaksanaan kurban tidak sesuai dengan prinsip awal, yakni mempersembahkan hal paling berharga yang dimiliki dengan ketentuan baku di masing-masing ajaran (pada umumnya berupa hewan ternak). Yang paling tidak manusiawi ialah kurban berupa manusia.

Baca juga: Empat Artikel Pilihan Seputar Fikih Menjelang Hari Raya Idul Adha

Kurban yang disyariatkan Islam berusaha merubah praktik menyimpang tersebut. Hal ini bukan berarti ajaran Nabi SAW. menyalahkan dakwah nabi terdahulu. Hanya saja, tradisi menyeleweng yang dibuat umat merekalah yang hendak Islam rubah. Sehingga, ibadah kurban seperti yang disyariatkan Nabi SAW ini tidak lain adalah untuk meluruskan kembali esensi kurban ke jalan yang semestinya, seperti esensi kurban yang diajarkan Nabi Ibrahim dan nabi-nabi sebelumnya.

Allah berfirman dalam Q.S. Alhajj ayat 36:

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat tersebut menegaskan tolak ukur diterimanya kurban bukanlah dari fisik hewan yang disembelih, melainkan ketakwaan. Ibnu Asyur dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir jilid 17 menjelaskan, ayat ini merupakan negasi terhadap kebiasaan berkurban dalam masyarakat Jahiliah. Begitu pula, terhadap tradisi masyarakat yang menggantungkan diterimanya kurban dengan kekuatan alam,seperti api dan lain sebagainya.

Ketakwaan dalam ayat ini menunjukkan bahwa yang dinilai oleh Allah dari ibadah kurban ialah ketulusan niat orang yang berkurban. Sebagaimana suatu hadis sahih riwayat Ibnu Majah:

إن الصدقة لتقع في يدالرحمن قبل أن تقع في يد السائل وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع على الأرض… الحديث

“Sesungguhnya, sedekah berada di sisi Allah terlebih dahulu sebelum diterima oleh yang yang meminta dan sesungguhnya, (ganjaran) darah (sembelihan) berada di suatu tempat di sisi Allah sebelum Bumi” (Tafsir Ibnu Katsir jilid 5)

Jumhur ulama sepakat bahwa hadis ini menunjukkan barometer diterimanya amal ialah keikhlasan, baik amal itu berupa sedekah dan kurban –seperti yang dicontohkan dalam hadis itu- atau amal lainnya.

Hadis tersebut juga diperkuat oleh hadis sahih lain, seperti berikut ini:

إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا أموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada fisik dan kekayaanmu, melainkan pada hati dan amalmu.” (Sahih Muslim nomor 2564)

Kurban dalam syariat Islam mengubah tradisi kurban pada masa umat terdahulu, yang dibumbui oleh tindakan tidak manusiawi dan melenceng dari esensi kurban. Kurban yang mengajarkan manusia untuk merelakan hal berharga dan melakukannya dengan ikhlas adalah salah satu bentuk fungsi transformatif tersebut. Hal ini juga sebagai pengingat bagi kita agar dapat menata niat dengan baik saat hendak berkurban. Wallahu a’lam[]