BerandaTokoh TafsirGagasan Shawkat Toorawa dalam Menerjemahkan Al-Qur’an ke Bahasa Inggris

Gagasan Shawkat Toorawa dalam Menerjemahkan Al-Qur’an ke Bahasa Inggris

Keindahan Alquran sering kali dirasakan dari susunan kata, ritme, dan gema bunyi yang bisa menghadirkan penghayatan, bahkan bagi pendengar yang tidak memahami bahasa Arab. Namun, keindahan itu menimbulkan pertanyaan besar yang jarang terpikirkan, apa yang terjadi ketika Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa lain? Apakah unsur rima dan sajak yang merupakan ciri khas teks Arab masih bisa dipertahankan? Pertanyaan seperti inilah yang menjadi perhatian Shawkat M. Toorawa, seorang profesor Sastra Arab di Yale University yang belakangan menjadi sorotan dalam studi penerjemahan Alquran modern.

Baca Juga: Keindahan Bahasa Al-Qur’an dan Kemunculan Metode Tafsir Sastrawi

Toorawa tidak hanya melihat Alquran sebagai teks religius, tetapi juga sebagai karya sastra. Hal ini sangat terlihat pada surah-surah Makkiyyah yang dikenal memiliki pola rima kuat, kalimat pendek, dan repetisi fonetik yang sengaja dibangun untuk menimbulkan tekanan dan suasana tertentu. Surah at-Thāriq adalah salah satu contoh yang paling jelas.

Kata-kata seperti aṭ-ṭāriq, ath-thāqib, khuliq, dan dāfiq tidak hanya mengandung makna, tetapi juga ritme yang tajam dan berulang. Bagi Toorawa, pola bunyi seperti ini bukan sekadar hiasan, melainkan bagian dari pesan Alquran yang perlu dijaga dalam terjemahan. Ia menyebut fenomena ini sebagai gema leksikal, yaitu keserasian bunyi di akhir ayat.

Namun, mempertahankan gema tersebut dalam bahasa Inggris bukan perkara mudah. Bahasa Arab dan Inggris memiliki struktur fonologi yang sangat berbeda. Karena itu, Toorawa tidak cukup puas dengan terjemahan yang hanya memindahkan makna. Ia mencoba melakukan sesuatu yang lebih, yakni memilih padanan bahasa Inggris yang secara fonetis mendekati bunyi teks Arabnya.

Baca Juga: Membaca al-Qur’an dalam Kerangka Late Antique

Ia memperhatikan huruf akhir, ritme vokal, tekanan suku kata, bahkan nuansa suara konsonannya. Dengan pendekatan ini, ia berusaha menghadirkan kembali sajak dari ayat-ayat dalam bentuk yang paling mungkin diterima pembaca bahasa Inggris.

Sebagai contoh, dalam menerjemahkan kata aṭ-ṭāriq, Toorawa memilih bentuk Night-Star sebuah pilihan kata yang mengandung bunyi N, T, S, dan R. Sementara kata al-thāqib ia terjemahkan sebagai apiercing visitor from afar. Kata afar dipilih bukan karena menjadi padanan mutlak, tetapi karena menghasilkan bunyi akhir yang selaras dengan kata sebelumnya. Toorawa juga menambahkan kata Visitor untuk menegaskan makna ṭāriq sebagai ‘yang datang pada malam hari’. Bagi Toorawa, langkah ini tidak mengubah makna, tetapi justru memperkuat aspek retoris ayat. (M.Afif Wafiudin, 2024, 299).

Pendekatan Toorawa menjadi semakin menarik ketika ia melibatkan konsep hapax legomena, yaitu kata-kata yang hanya muncul sekali dalam satu surah atau dalam satu konteks tertentu. Menurutnya, kata-kata seperti ini memiliki bobot retoris yang besar dan tidak boleh diterjemahkan secara sembarangan.

Ia mengkatalogisasi kata-kata hapax tersebut dan berusaha memilih padanan bahasa Inggris yang memiliki kedalaman makna sekaligus bobot bunyi yang mendekati efek asli ayat. Pendekatan ini membuat terjemahannya terasa tidak biasa bagi pembaca yang terbiasa dengan terjemahan Alquran yang kaku dan literal. Namun, justru di situlah letak keberaniannya yakni mencoba menghadirkan pengalaman sastra, bukan hanya penyampaian makna.

Tentu saja tidak semua pihak setuju dengan metode ini. Ada yang menilai pilihan kata Toorawa kadang terlalu formal atau tidak natural dalam English modern. Misalnya, ketika ia menerjemahkan ayat 7 dengan issuing from between loin and breastbone!, padahal pilihan yang lebih idiomatis biasanya between backbone and ribs.

Baca Juga: Mengenal Mustansir Mir dan Unsur-Unsur Sastra Dalam Al-Quran

Toorawa memang cenderung mempertahankan literalitas istilah anatomi Arab, tetapi hal ini membuat sebagian pembaca merasa asing dengan hasil terjemahan tersebut. Kritik lain menyebut bahwa fokus Toorawa pada rima dan bunyi kadang membuat makna ayat menjadi kurang lugas bagi pembaca umum. Ini menjadi dilema yang tidak terhindarkan dalam dunia penerjemahan apakah harus mengutamakan estetika teks asal, atau keluwesan bahasa target?

Namun secara lebih luas, kontribusi Toorawa tetap signifikan. Ia membuka ruang baru dalam diskusi tentang bagaimana seharusnya terjemahan Alquran dilakukan. Selama ini, sebagian besar penerjemah hanya fokus pada kesetiaan makna dan mengabaikan dimensi sastra. Padahal Alquran bukan sekadar pesan, tetapi juga keindahan.

Ulama sejak lama menegaskan bahwa terjemahan bukanlah Alquran itu sendiri, dan tidak akan pernah sepenuhnya mewakili mushaf. Namun justru karena itu, upaya untuk menghadirkan keindahan ayat dalam bahasa lain menjadi semakin penting bukan untuk menggantikan teks asli, tetapi untuk memberi kesempatan kepada pembaca non-Arab merasakan sebagian kecil dari pengalaman yang kita dapatkan ketika Alquran dibacakan.

Pada akhirnya, gagasan Shawkat Toorawa dengan perhatiannya pada ritme, gema, dan kekhasan bunyi, ia menawarkan pendekatan baru yang memperlakukan teks Alquran sebagai karya sastra Ilahi yang keindahannya patut dipertahankan. Terjemahannya menjadi semacam jembatan bukan pengganti mushaf, tetapi sarana agar lebih banyak orang dapat mendekati keindahan wahyu dengan cara yang lebih hidup dan lebih puitis.

Melalui pendekatan ini, Toorawa menegaskan bahwa keindahan Alquran tidak hanya terdengar dalam bahasa aslinya, tetapi bisa juga dirasakan dalam bahasa lain apabila diterjemahkan dengan kesadaran sastra. Wallahu a’lam. (contoh terjemahan selengkapnya bisa baca di shawkutis.weebly.com)

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-Maidah ayat 27-30

Tafsir Surah al-Maidah Ayat 27-30 Perspektif Tāhā Abderrahmane

0
Kisah pembunuhan pertama yang terekam dalam surah al-Maidah ayat 27-30 sering kali tereduksi dalam ingatan kolektif sebagai sekadar sejarah kriminalitas masa lalu. Padahal, narasi...