Nama Gus Awis ulama muda semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia usai diamanahi menjadi Katib Syuriah PBNU Agustus 2019 lalu. Berbagai media menyebut tokoh yang memiliki nama lengkap Dr. KH. M. Afifudin Dimyathi., L.c., M.A ini sebagai kyai muda yang produktif. Produktivitasnya memang luar biasa, dalam decade terakhir ia telah menuliskan puluhan kitab dan jurnal tentang bahasa dan sastra Arab hingga Tafsir Al-Qur’an. Yang menarik dari karya Gus Awis adalah ditulis dengan bahasa Arab sebagai upaya meneruskan tradisi ulama Nusantara terdahulu di Hijaz.
Membaca Gus Awis tentu tak bisa dilepaskan dari sisi nasab dan pendidikannya. Secara nasab, ia merupakan putra dari KH. Dimyati bin KH. Romli At-Tamimi. Kakeknya adalah seorang Mursyid Thoriqoh Mu’tabaroh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang jalur kemursyidannya sampai ke Syekh Abdul Qodir Al-Jailani hingga Nabi Muhammad Saw. Sementara dari jalur ibu, kakek Gus Awis adalah KH. Ahmad Marzuki Zahid Langitan yang memiliki nasab sampai ke Sunan Bonang, Tuban.
Sementara dari sisi pendidikannya, Gus Awis mengahafal Al-Qur’an di Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman Yogyakarta yang diasuh oleh KH. Mufid Mas’ud. Untuk kuliahnya, ia belajar di Al Azhar University Mesir di jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an. kemudian ia melanjutkan S2 di Khartoum International Institute for Arabic Language, dan S3 al Neelain University jurusan Tarbiyah Konsentrasi Kurikulum dan Metodologi Pengajaran Bahasa Arab.
Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara
Dari nasab dan pendidikannya, Gus Awis berada di lingkungan yang kondusif untuk menekuni ilmu agama. Namun yang unik adalah semangat Gus Awis dalam berkarya. Biasanya, ulama dan kyai di Indonesia lebih sering berdakwah dengan ceramah, ia justru mengabdikan ilmunya untuk menulis dan berada di jalur akademis.
Karya-karya Gus Awis
Semula, Gus Awis menulis karya-karyanya untuk memudahkan pembelajaran mahasiswanya. Tercatat ia mengajar di UIN Sunan Ampel, UIN Maulana Malik Ibrahim, IAIN Tulungagung, IAIN Jember, dan STIT Dalwa Bangil Pasuruan. Namun seiring berjalannya waktu, karya Gus Awis semakin dikenal luas, dibaca para masayarakat umum, dan bahkan diterbitkan di Mesir.
Di antara karya-karyanya yaitu Muhadarah fi Ilm Lughah al Ijtima’i (Dar Ulum al Lughawiyah, Surabaya, 2010), Sosiolinguistik (UINSA Press, 2013), Mawarid al Bayan fi Ulum al Qur’an (Lisan Arabi, 2014), Safa al Lisaan fi I’rab al Qur’an (Lisan Arabi, 2015), al-Syamil fi Balaghat al-Quran (3 jilid, 2019), Irsyad al-Darisin ila Ijma’ al-Mufassirin, ‘Ilm al-Tafsir: Ushuluh wa Manahijuhu (Lisan Arabi, 2019). Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir (2 jilid, Lisan Arabi, 2019), kemudian beberapa artikel bahasa Arab di berbagai jurnal.
Dilihat dari kitab yang ia tuliskan, dua bidang kajiannya adalah bahasa & sastra Arab serta ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Ini menunjukkan konsistensinya setelah belajar di Timur tengah. Di antara kitab-kitabnya itu, karya yang fenomenal adalah al-Syamil fi Balaghat al-Quran dan Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir kedua kitab ini menjadi rujukan mahasiswa yang belajar di Al-Azhar Mesir.
Baca juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran
Dalam penelusuran saya, dua kitab ini juga telah diulas dalam bentuk penelitian deskriptif analitik. Pertama, Fatimatul Azizah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2019 lalu menuliskan skripsi dengan judul Telaah terhadap Kitab al-Syamil fi Balaghat al-Quran. Dari skripsi ini, disebutkan bahwa kitab al-Syamil fi Balaghat al-Quran merupakan kitaf tafsir yang mengedepankan pemaknaan balaghah, ditulis dengan tarstib mushafi dan menggunakan metode ijmali.
Sementara untuk kitab Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir, Gus Awis secara langsung menuliskan ulasan singkatnya dalam jurnal Pegon, yang diterbitkan Islam Nusantara Center pada akhir 2020 ini. Judul artikelnya yaitu, Jam’u al-‘Abir: Usaha Menghimpun KitabTafsir Sepanjang Sejarah. Dalam artikel ini, Gus Awis ingin meringkas apa kandungan kitab Jam’u al-‘Abir. Ia memang meneruskan jejak apa yang telah dimulai oleh Syekh Muhammad Husein Ad-Dzahabi yang menulis At-Tafsir Wal Mufassiruun.
Gus Awis menyebut bahwa Jam’u al-‘Abir mencoba mengisi perkembangan tafsir hingga saat ini. meski demikian, ia menulis ‘Katalog Besar’ ini mulai abad pertama hingga abad 15 Hijriyah. Dari kitab-kitab yang ada di zaman sahabat hingga kontemporer yang ada di Indonesia. Setidaknya ada 440 tafsir yang ia masukkan dalam kitabnya. Ia pun sengaja mencantumkan kitab-kitab yang masih sedikit peredarannya, namun memiliki keunikan tertentu. Misalnya tafsir nuzuli, tafsir ulama’ perempuan, tafsir tanya jawab, nadham-nadham tafsir, hingga tafsir tanpa huruf mu’jam (bertitik).
Tak hanya itu, Gus Awis juga memasukkan kitab tafsir dari berbagai bahasa, Arab, Inggris, Perancis, Urdu, Parsi, Turki, Melayu, Jawa, hingga Sunda. Dari upayanya yang luar biasa ini, tak heran jika kitab Jam’u al-‘Abir menjadi referensi utama para pengkaji Tafsir Al-Qur’an di dunia.
Terakhir, nampaknya kita perlu memegang pesan Gus Awis untuk terus berkarya. Ia menyebut bahwa ide adalah sebuah amanah dari Allah, dan amanah harus disampaikan kepada umat. Maka dari itu, setiap mendapat ide tulisan, ia akan mencatatnya dan berniat untuk menuangkannya dalam bentuk kitab.
Wallahu a’lam[]