BerandaBeritaPesan Gus Ghofur Maimoen (3); Yang Lebih Penting dari Moderat adalah Tawazun...

Pesan Gus Ghofur Maimoen (3); Yang Lebih Penting dari Moderat adalah Tawazun (Keberimbangan)

Pesan ketiga yang dilayangkan Gus Ghofur Maimoen adalah yang lebih penting dari moderat adalah keberimbangan (tawazun). Dalam penuturannya, “ada sisi lain dari mafhumul wasatiyyah yaitu al-tawazun (keberimbangan atau balancing)”. Sebab kata beliau, “jika kita harus saklek (harus benar-benar) berpikir wasatiyah (moderat) itu tidak mungkin, mustahil, padahal hidup itu tidak bisa tengah-tengah”. Tegas doktor lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Lalu beliau mencontohkan misalnya antara kepentingan dunia dan akhirat, apakah harus sama persis 50 persen-50 persen. Ataukah mendahulukan kepentingan akhiratnya ketimbang dunianya, ataukah sebaliknya. Jadi menurut beliau, keberimbangan itu menjadi kata kunci (key word) dalam wasatiyah.

Dari sini, penulis menyitir Q.S. al-Isra [17]: 35 sebagai dasar sikap tawazun,

وَاَوْفُوا الْكَيْلَ اِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوْا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Isra’ [17]: 35)

Baca Juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen: Bersikap Moderat itu Tidak Mempersulit Diri Sendiri

Penafsiran ini penulis fokuskan pada redaksi wazinu bil qistasil mustaqim. Mengutip Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir, beliau menafsirinya dengan

أي زنوا بالميزان العدل السوي بلا احتيال ولا خديعة

“Timbanglah suatu hal dengan timbangan yang adil, bukan dengan penipuan dan kemunafikan”.

Hampir senada dengan al-Shabuni, al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menuturkan demikian,

وقَضَى أو زنوا أيضاً إذا وزنتـم لهم بـالـميزان الـمستقـيـم، وهو العدل الذي لا اعوجاج فـيه، ولا دَغَل، ولا خديعة

“Jika engkau menimbang, hendaklah menimbang dengan timbangan yang lurus, yaitu adil, tidak terkandung unsur penipuan, tipu daya muslihat, dan kemunafikan”.

Tidak jauh berbeda, penafsiran lain juga disampaikan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib bahwa untuk dapat menimbang dengan takaran pas diperlukan sikap istiqamah dan i’tidal. Keduanya ini tidak dapat dipisahkan.

Tawazun menjadi Kata Kunci

Kembali ke Gus Ghofur, “yang namanya adil dan moderat itu tidak harus sama persis, yang terpenting adalah balancing atau tawazun (keberimbangan). Agama kita mengajarkan untuk berpikir seimbang, meski dalam tataran aplikasi para umat Islam tidak 100 persen.” Ujar Ketua STAI Al-Anwar, Rembang.

Lebih jauh, beliau menuturkan, “tidak ada satu orang pun, kelompok pun yang mungkin bisa menafsirkan Al-Quran 100 persen berada di tengah (moderat). Misalnya saja kegiatan tahlilan, antara kepentingan mayyit dengan kepentingan ahli waris itu bobotnya lebih mengarah kepada si mayyit atau yang ditinggalkan (ahli waris). Sebab ada yang tahlilan itu karena harus menjamu yang diundang sehingga membutuhkan biaya, maka hutang sana-sini. Itu sebenarnya Nahdlatul Ulama sudah berada di tengah atau di pinggir”.

Tentu, penulis melihat ini bukanlah suatu sindiran, namun sebagai renungan dan mengingat orientasi daripada kegiatan keagaman itu sendiri, tahlilan misalnya. Kembali beliau mencontohkan tentang Nahdlatul Ulama, misalnya apakah pendidikan di NU sudah berpikir tentang akhirat atau duniawi. Begitu pula ormas keagamaan lain, apakah juga sama. Begitupun kelompok pembela wanita (feminis), pembela HAM, dan semacamnya apakah juga sudah memosisikan berada di tengah?”. Sambung Pengasuh PP. Al-Anwar 3, Sarang Rembang.

Beliau kembali melampirkan beberapa contoh, seperti orang yang selalu mengritik Ikhwanul Muslimin (IM), dan organisasi sejenisnya, apakah sudah bersikap moderat dalam mengritik dan objektif. Termasuk juga persoalan pilkada, pilpres lima tahunan apakah sudah bersikap moderat dalam persoalan dukung-mendukung, tanpa tendensi apapun. “Tentu ini hal yang sulit, karena kita dipengaruhi banyak hal”. Ucap Gus Ghofur.

Beliau juga menambahkan, ketika kita berhubungan sosial dengan orang-orang Arab, apakah sudah benar-benar mencintainya secara moderat atau justru berlebih-lebihan?. Termasuk salah satu ciri orang moderat misalnya, kata beliau, “kalau berfatwa kepada orang lain itu gampang, sedangkan untuk dirinya berat gak apa-apa lah. Tapi juga ada orang yang berfatwa itu sulitnya minta ampun, sementara terhadap dirinya memudahkan. Misalnya persoalan vaksin haram, padahal ia tidak tau betapa sulitnya menjalahi hidup di tengah pandemi”.

Baca Juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen (2): Bersikap Moderat itu Memerlukan Introspeksi Diri

Gus Ghofur juga mengontekstualisasikan beberapa persoalan, misalnya ciri orang moderat adalah ia tahu mana batasan agama yang boleh berubah (furu’) dan yang tidak (ushul). Contohnya, “status orang non muslim di negara muslim itu kan dicap ahl dzimmah, ahlul harbi, dan sejenisnya apakah yang seperti ini tidak boleh berubah. Termasuk juga, apakah perempuan harus selalu dikekang di rumah dan tidak boleh keluar, apakah yang seperti ini juga tidak boleh dirubah?”.

Maka, kata Gus Ghofur, aspek moderatisme dan tawazun dalam memahami Al-Quran menjadi ciri besar sehingga kehadiran Al-Quran benar-benar rahmatan lil ‘alamin. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Konsep Kepemimpinan Berdasarkan Sila Kelima Pancasila

0
Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat menginspirasi terkait konsep kepemimpinan yang sesuai dengan semestinya, yakni sila yang kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia”....