BerandaKhazanah Al-QuranPesan Gus Ghofur Maimoen (2): Bersikap Moderat itu Memerlukan Introspeksi Diri

Pesan Gus Ghofur Maimoen (2): Bersikap Moderat itu Memerlukan Introspeksi Diri

Pada webinar milad tafsiralquran.id pada Kamis (29/04/2021), pesan kedua yang disampaikan Gus Ghofur Maimoen dalam konteks tafsir moderat ialah introspeksi diri itu perlu. Sebagaimana pesan pertamanya yang lalu, “moderat itu mempermudah segala hal. Artinya mempermudah urusan orang lain bukan mempersulit diri atau sesama. Bukan berarti pula mempermudah melepas diri nilai-nilai agama (sekuler) atau menjalankan yang haram dan menyingkirkan yang halal sehingga kehilangan mahabbah terhadap agama ini.” Tegas Ketua STAI Al-Anwar, Rembang

Moderat, demikian Gus Ghofur, adalah berada di tengah-tengah di antara kondisi yang mempersulit diri dan meniadakan agama dengan gampang sekali. “Jadi sebetulnya mafhum al-wasatiyyah itu memiliki banyak item. Ia berada di tengah di antara dua term yang bertentangan”. Ujar Gus Ghofur

Baca juga: Perintah Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka

Lima Parameter Bersikap Moderat

Beliau juga memberi contoh beberapa kontradiksi untuk mengukur diri apakah kita sudah benar-benar bersikap moderat atau belum dalam memahami Al-Quran.

Pertama, al-Rabbaniyah (sisi ketuhanan) dan al-Insaniyyah (sisi kemanusiaan). “Apakah kita sudah benar-benar di wilayah tengah ataukah membikin negara ini lebih menonjolkan aspek ketuhanan ketimbang kemanusiaan ataukah sebaliknya. Tatkala menjalankan ramadhan misalnya, anak usia 3 tahun sudah ada yang puasa, anak usia 4 tahun sudah “dipaksa” puasa. Sikap seperti ini apakah sudah termasuk moderat atau lebih berat aspek ketuhanannya dari pada kemanusiaannya”. Tandas Pengasuh PP. Al-Anwar 3, Sarang Rembang

Mengarifi hal itu, Gus Ghofur menuturkan, “makanya kita ini harus terus introspeksi diri”. Introspeksi diri itu bak vitamin yang memperkuat antibody tubuh kita terhadap kepungan penyakit.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 72: Balasan di Akhirat bagi Orang yang Buta Hatinya

Kedua, al-Ruhiyyah (aspek spiritualitas) dan al-Maddiyah (aspek materialitas). Apakah selama menjalankan ibadah puasa ini kita sudah berada di wilayah moderat, ataukah justru menonjol pada aspek materialisme saja (al-maddah) ataukah sebaliknya. Secara syariat, berpuasa itu tidak makan dan minum, serta menghindari segala perbuatan yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Itu semua kan al-maddah-nya (materi), apakah kita sudah berpuasa dari lisan kita, misalnya menggunjing, ghibah, ngerasani, menebar fitnah. Sudahkah kita berpuasa dari tangan kita misalnya jempol yang asal meneken send message yang belum jelas kebenarannya, dan lain-lain. “Ramadhan ini, kita merasakan betapa sulitnya berada di wilayah tengah atau moderat”. Sambung putra kelima KH. Maimoen Zubair

Ketiga, al-ukhrawiyyah (aspek akhirat) dan al-dunyawiyyah (aspek keduniawian). Beliau mencontohkan aspek pendidikan. Dalam penuturannya, “Pendidikan kita ini misalnya apakah sudah berpikir tentang dunia ataukah hanya berkutat masalah akhirat saja. Seperti banyak kita temui madrasah kita yang kecenderungannya mengajarkan agama lebih tinggi ketimbang sains, mencari ustadz lebih gampang ketimbang dokter. Apakah kita ini kebablasan mengurus akhirat hingga lupa mengurus dunia.

Terkait hal ini, saya teringat akan Q.S. al-Qashash [28]: 77,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia”. (Q.S. al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini mewanti-wanti kepada umat Islam untuk tidak melupakan aspek keduniawian. Boleh memperhatikan aspek akhirat tapi jangan melupakan dunia. Bukan berarti kemudian orientasi hidup kita full duniawi tidak begitu, akan tetapi orientasi hidup kita adalah lillahi ta’ala (hanya untuk Allah), namun kita tetap bekerja, mencari nafkah untuk keluarga, mencari ilmu, berdakwah, membantu sesama, saling mengamankan dan menyamankan, tidak membuat gaduh-khawatir, dan sebagainya. Itulah yang esensi pesan ayat di atas.

Kata Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir, beliau menafsiri redaksi wabtaghi fima atakallahud daral akhirata, adalah

أي اطلب فيما أعطاك الله من الأموال رضى الله، وذلك بفعل الحسنات والصدقات والإنفاق من الطاعات

“Carilah harta itu yang dianugerahkan kepadamu dengan penuh ketaatan kepada Allah, dan berbuat baiklah, bershadaqahlah, berinfaq dengan ketaatan pula”.

Lalu pada redaksi berikutnya, wala tansa nashibaka minad dunya,

قال الحسن: أي لا تضيع حظك من دنياك في تمتعك بالحلال وطلبك إياه

“Hasan berkata, “Jangan sia-siakan keberuntunganmu di dunia dalam kehalalan dan carilah kehalalan itu di dalam dunia”.

Keempat, al-wahyu wal aql. Kecenderungan berpikir wahyu atau akal (rasionalitas). Gus Ghofur terkait hal ini mencontohkan vaksin. Misalnya, apakah vaksin itu haram atau halal. Apakah justifikasi halal-haram bermetode wahyu lebih menonjol ketimbang rasional ataukah sebaliknya. Atau justru romantisme masa lalu yang mempengaruhi kita atau menatap masa depan yang cerah.

Baca juga: Tafsir Surah Abasa Ayat 1-10: Kesamaan dalam Islam Menurut Wahbah Al-Zuhaili

Selanjutnya, terkati membikin negara Indonesia masih saja berpikir tentang penerapan khilafah, bentuk negara dan sebagainya. Apakah kita ini sebetulnya dipengaruhi romantisme masa lalu daripada masa depan. Kapan majunya jika terus dipengaruhi oleh ekstrem masa lalu, sedangkan menatap masa depan yang lebih maju adalah perintah Al-Quran (wala tansa nashibaka minad dunya). Hal ini menjadi refleksi kita bersama.

Kelima, al-fardhiyyah wal jama’iyyah (individualistik atau komunal). Apakah bersosial lebih mementingkan kepentingan dirinya dan golongannya, misalnya sebagai individu yang berlatar belakang santri atau partai tertentu, golongan ormas tertentu akan saya ke depankan. Ataukah ketika saya bersosial lebih berpikir mendahulukan kemasalahatan bersama dan mementingkan masyarakat. Hal-hal semacam ini patut menjadi renungan dan refleksi kita bersama.

Dalam konteks ini, introspeksi diri itu sangat perlu guna sebisa mungkin bersikap moderat atau berada di wilayah tengah, tidak condong ke kanan atau ke kiri, tidak bergeser ke kepentingan kanan ataupun kepentingan kiri. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...