“Keukhuahan (persaudaraan), persatuan, dan kesatuan telah diwariskan bahkan sejak zaman Walisongo. Jangan sampai kita mengecewakan warisan leluhur bangsa kita. Oleh karenanya, sebagai sesama anak bangsa yang hidup dalam keberagaman, kita harus saling menjaga hal itu agar tidak terpecah-belah. Tidak hanya melalui perbuatan. Namun, juga dalam berdoa,” terang Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dalam beberapa kali kesempatan ceramahnya.
Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa menjaga persatuan dan kerukunan telah dibimbing dan diajarkan Allah melalui surah Alfatihah. Pada ayat-ayat terakhir dari surah tersebut, seorang muslim membuat pengakuan bahwa hanya kepada Allah ia menyembah, berdoa, dan memohon pertolongan. Yang menarik adalah kata ganti yang digunakan bukan untuk individu meskipun ayat tersebut sedang dibaca oleh satu orang (mufrad), melainkan menggunakan kata ganti “kami” (jamak). Jelas itu bukan tanpa alasan, melainkan ada maksud indah di balik penggunaan kata ganti tersebut dalam redaksi ayat 5-6 Q.S. Alfatihah. Salah satunya ialah mengajarkan tentang persatuan dan kerukunan.
Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia
Makna kata ganti “kami” dalam Q.S. Alfatihah menurut para mufasir
Imam Mahmud al-Alusi berpendapat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani, bahwa ketika seorang hamba berdiri di hadapan Allah, berkomunikasi dengan-Nya (seperti dalam keadaan salat), lalu merendahkan diri di hadapan-Nya, hamba tersebut hakikatnya tak lagi berbicara sebagai individu, tetapi sebagai perwakilan dari keseluruhan manusia.
Penggunaan kata ganti “kami” bertujuan untuk mengungkapkan kekurangan, kelemahan, dan kebutuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam hal ini, seakan-akan seorang hamba sedang berkata, “Ya Allah, ibadahku belum mampu mencapai tingkatan yang layak karena dalam setiap ibadahku masih dipenuhi berbagai macam kekurangan. Oleh sebab itu, aku akan menggabungkannya dengan ibadah seluruh hamba lainnya lewat sebutan “kami”. Dengan harapan dari sekian banyak hamba-Mu yang ada di muka bumi, terdapat satu atau lebih di antara hamba-Mu yang beribadah dengan tulus.”
Selain itu, menurut ar-Razi, kata ganti “kami” juga menunjukkan simbol jamaah dan kebersamaan, sebab “saya” berarti sendiri dan “kami” berarti bersama. Dengan demikian saling berkumpul (jamaah) antar sesama muslim dapat menjadi jalan persatuan dan kerukunan.
Penggunaan kata ganti “kami” menafikan paham diskriminasi berdasarkan warna kulit, suku, ras, jenis kelamin, maupun tanah asal. Semuanya telah utuh menjadi “Kami adalah hamba Allah yang hanya menyembah-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya”. Kata ganti “kami” adalah refleksi dari rasa saling menghargai, peduli satu sama lain, saling mengasihi, dan menyayangi antarsesama. Penyebutan “kami” adalah lambang bahwa seluruh umat muslim di belahan bumi bagian manapun adalah saudara.
Baca juga: Potret Persaudaraan Muhajirin dan Anshar yang Diabadikan Alquran
Pesan kepedulian terhadap sesama
Selanjutnya redaksi ayat “Ihdina al-shirat al–mustaqim”, menurut Habib Luthfi, menunjukkan bahwa Allah mengajarkan kepedulian seorang muslim terhadap saudaranya yang lain. Lafaz “Ihdina” menyimbolkan al-mu’min akhul mu’min dan al-muslim akhul muslim (seorang mukmin-muslim saudara mukmin-muslim yang lain). Seraya beliau berkata, “(Maknanya) tunjukkanlah kami jalan yang lurus, bukan hanya urusan akhirat saja. Mungkin yang mengalami problem dalam hidup, dagangan sepi, ketahanan pangan. Tujukkanlah kami ekonomi kami jalan yang beruntung, jangan sampai menempuh kerugian dalam perekonomian umat muslim khususnya, juga saudara sebangsa dan tanah air pada umumnya. Dengan demikian kita bukan hanya action saja. Namun, turut serta mendasari ikhtiar tersebut dengan ketauhidan kepada Allah.”
Karenanya, jika seorang hamba memahami betul makna ayat tersebut, tidak mungkin antarmuslim saling ribut atau mempersoalkan ikhtilaf-ikhtilaf kecil. Akan tetapi akan saling rukun, menjaga satu sama lain, saling menghormati, dan saling peduli satu sama lain. Sebab, setiap melafalkan Alfatihah, terutama dalam salat, ia benar-benar menyadari bahwa satu sama lain saling mendoakan untuk kebaikan bersama, bukan sekadar berdoa untuk dirinya sendiri. Wallahu a’lam.[]
Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah