Ibadah haji termasuk rukun Islam dan wajib dilakukan apabila seseorang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Sebagaimana perintah Allah Swt. dalam Q.S. Ali Imran (3):97:
وَلِِلِه عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلا
“Mengerjakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
Tolak ukur kemampuan seseorang untuk beribadah haji terdiri dari kemampuan finansial dan kemampuan fisik atau disebut sebagai istita’ah. Meski termasuk dalam ibadah yang perlu banyak persiapan, hal itu lantas tidak menyurutkan semangat umat muslim. Antusias tersebut tidak jarang membuat mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji untuk berhaji berkali-kali meskipun dalam syariat Islam, kewajiban ibadah tersebut hanya sekali seumur hidup.
Baca juga: Larangan dan Anjuran ketika Berhaji
Mengingat fakta bahwa agama Islam merupakan agama dengan pemeluk terbanyak kedua di dunia, tentu tidak memungkinkan untuk datang ke Baitullah dalam satu waktu dengan jumlah yang sekian banyak. Oleh sebab itu, pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan terkait kuota jamaah haji untuk masing-masing negara (Fadhilla Ilham dkk., Kajian Hukum Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Pemberian Kuota Lebih Kepada Jemaah Haji, 711).
Penetapan kuota mempengaruhi persiapan pelaksanaan haji, termasuk adanya antrian keberangkatan jamaah. Keinginan untuk melakukan ibadah haji lebih dari sekali tentu akan menambah daftar antrian semakin panjang. Lantas, bagaimana sebaiknya bagi orang-orang yang ingin melaksanakan haji padahal kewajiban haji sudah pernah dijalani?
Motif Melaksanakan Ulang Ibadah Haji
Ibadah haji merupakan kegiatan atau perjalanan spiritual. Kegiatan semacam ini tentunya memiliki pengaruh pada spiritualitas seseorang. Beberapa hal yang membuat umat muslim ingin melaksanakan ibadah haji berulang kali terdiri sebagai berikut (Claudia Seise, “Saya ingin pergi lagi dan lagi”: Emosi Spiritual Dan Perbaikan Diri Melalui Wisata Ziarah, 9-10):
- Emosi Spiritual
Emosi spiritual dapat dirasakan saat melakukan ibadah haji dikarenakan adanya manifestasi di luar ibadah yang dapat diamati orang lain. Manifestasi di luar ibadah di antaranya: iman dan ihsan yang mana adalah manifestasi batin, emosi yang timbul dari beribadah, serta hubungan individu dengan Tuhan. Adanya reformasi batin ini yang mendorong faktor keseimbangan spiritual. Karenanya perjalanan seperti haji yang mengarah pada pusat spiritualitas Islam secara geografis dan kolektif sangat besar kemungkinan mempengaruhi hati dan spiritualitas seseorang.
Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji
2. Perasaan Khusyuk
Khusyuk merupakan perasaan kerendahan hati dalam salat, juga perasaan terhubung dengan Tuhan. Dari pengalaman jemaah haji, mereka merasa aman dan damai serta merasa dekat dengan Tuhan. Seolah Tuhan berbicara dengan kita melalui bacaan imam. Khusyuk merupakan salah satu unsur penting saat melaksanakan salat yang menghubungkan orang beriman dengan Tuhan. Sehingga, tidak heran apabila seseorang dapat merasakan khusyuk yang mendalam saat berada di Baitullah ingin merasakan momen itu lagi.
- Pengakuan sosial dan status
Selain alasan yang telah disebutkan, beberapa hal lain -yang juga turut memengaruhi minat untuk berhaji lagi- ialah pandangan masyarakat yang menghormati pelaku haji. Bahkan, ada pula yang dilandasi oleh hedonisme belaka.
Pandangan Tokoh
Antrian jamaah haji, khususnya di negara dengan jumlah penduduk beragama Islam yang masif seperti Indonesia mencapai angka tinggi, sehingga mengakibatkan daftar tunggu yang lama. Kebijakan dari pemerintah belum mampu mengatasi masalah ini. Hanya saja, telah dibuat beberapa aturan terkait seperti pembatasan pendaftar haji. Orang yang sudah pernah berhaji maka dibatasi. Mereka dapat melaksanakan haji lagi setelah lima hingga sepuluh tahun dari ibadah haji sebelumnya (Achmad Muchaddam Fahham, Penyelenggaraan Ibadah Haji: Masalah dan Penanganannya, 204).
Sebenarnya, tidak mengapa apabila ingin haji berkali-kali. Namun, karena banyaknya antrian, hendaknya bagi yang pernah pergi haji bertoleransi dan tidak menutup mata dengan memberikan kesempatan pada mereka yang baru pertama kali akan berangkat haji.
Para ulama pun telah sepakat bahwa haji wajib satu kali seumur hidup. Dengan peningkatan antrian dan daftar tunggu yang lama, serta keacuhan dari jamaah yang pernah haji menimbulkan respons dari para cendekiawan atau tokoh. Salah satunya Ali Mustafa Yaqub. Pakar ilmu hadis tersebut mengungkapkan rasa heran terkait banyaknya jemaah yang ingin pergi haji namun lingkungan sekitar masih mengalami masalah krusial. Sebagai contoh, masih banyak anak yatim terlantar, tuna wisma, balita busung lapar, keadaan masjid yang tidak layak, dan sebagainya. Dihadapkan dengan realitas ini, tetap masih banyak masyarakat Indonesia yang memilih pergi haji lagi.
Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: 3 Konsep Kesalehan dalam Harmonisasi Sosial
Kebiasaan haji berkali-kali ini berpotensi menutup kepekaan sosial masyarakat-meski tidak dapat digeneralisir- yaitu dengan lebih memilih menggunakan harta untuk sesuatu yang sunah dibandingkan kewajiban membantu sesama (Muhammad dkk., Problematika Haji dan Umrah Berulang Kali Menurut Ali Mustafa Yaqub Dalam Perspektif Fikih Islam, 314). Argumen tersebut sebagaimana dalam kaidah fikih “ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.” (Al-Suyūṭī , Al-Asybāh Wa Al-Naẓāir, 144).
Dari permasalahan yang telah dibahas, dapat diambil benang merah bahwa haji adalah kewajiban sekali seumur hidup. Dengan demikian, haji untuk kali kedua dan seterusnya termasuk pada ibadah sunah. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat, ungkapan itu sekiranya cocok sebagai pengingat. Selanjutnya kewajiban kiranya harus didahulukan daripada ibadah sunah.
Apabila telah melaksanakan kewajiban sebaik mungkin maka bisa untuk melakukan ibadah haji berulang kali. Namun mengingat lamanya antrian, ada baiknya kita berempati dan mempertimbangkan saudara muslim kita yang belum menjalankan ibadah haji. Apabila masih ingin untuk berangkat haji, maka sebaiknya dilakukan dengan tidak mengambil hak orang lain, seperti mengunjungi negara dengan minoritas penduduk muslim dan menggunakan kuota negara tersebut. Wallahu’alam.