Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran

Jurgen Habermas
Jurgen Habermas

Jurgen Habermas merupakan seorang sosiolog ternama di Jerman. Pemikiran hermeneutiknya banyak memberikan kritik kepada Gadamer. Dalam bangunan hermeneutikanya, Habermas menekankan pada aspek kritisime dalam analisis bahasa.

Baginya, bahasa tidak hanya sebagai alat penyampai pesan atau alat berkomunikasi tapi lebih daripada itu, bahasa juga dapat menjadi media bagi penguasa atau ideologi tertentu untuk melakukan pembenaran.

Jadi sebuah sistem bahasa yang telah ada atau telah membudaya bukanlah suatu hal yang netral sebab di dalamnya bisa saja ada sebuah distorsi yang sistematis di dalamnya, yakni dimana pengguna bahasa sudah terjebak dalam ketidaksadaran atas bahasa yang ia gunakan baik secara individu maupun kelompok.

Sederhananya banyak kosa kata khusus yang digunakannya akibat pengaruh pergaulan di lingkup lingkungan sosialnya, sehingga menjadi sebuah anomali jika dinilai dengan tata bahasa umum.

Baca Juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

“Komunikasi yang terdistorsi secara sistematis” inilah yang dilihat oleh Jurgen Habermas sebagai aspek yang tidak terjamah oleh Gadamer. Bagi Habermas perlu atau sebuah keharusan bagi seorang penafsir untuk mengetahui dan mengecek pemahaman penulis terhadap apa yang ditulisnya sehingga terbebas dari distorsi makna. Kebebasan akan distorsi makna itulah yang akan membebaskan kebenaran.

Adapun distorsi itu dapat dilihat (dalam teks) dari ketidakpatuhan penulis dengan tata bahasa umum yang telah ada. Dalam hal cara kerjanya, ada dua cara kerja utama hermeneutika kritis Jurgen Habermas, yakni: 1) interpretasi, dimana ini adalah tugas penafsir untuk mampu mencoba merancang sebuah konstruksi pengetahuan yang di dalamnya ada bahasa publik dan privat—hanya penulisnya yang tahu; 2) analisis, yakni sebuah upaya untuk mengkaji lebih dalam terhadap simbol-simbol privat yang digunakan oleh penulis, yang dalam hal ini dapat dikatakan “terdistorsi”, dengan meminta penulis me-recall ingatannya sehingga dapat ditemukan motif-motif yang melatarbelakangi sang penulis melakukan sensor terhadap dirinya (Hardiman, Seni Memahami: 203-209).

Dari sanalah akan didapati kesepahaman antara penafsir dan penulis dalam bentuk kebenaran yang sifatnya emansipatoris atau terbebas dari belenggu-belenggu power yang dapat berbentuk kekuasaan ataupun ideologi-ideologi yang merepresi penulis—disini terlihat sekali pengaruh pemikiran Marx.

Teori hermeneutika kritis ala Habermas ini di satu sisi merupakan pelengkap dari hermeneutika yang digagas oleh Gadamer, namun di sisi lain sebenarnya tidak bisa menjangkau apa yang digagas oleh Gadamer.

Dalam hermeneutika Gadamer, teks dianggap netral dan universal artinya tidak adanya kecurigaan bahwa telah terjadi distorsi dalam teks yang disebabkan oleh penulisnya sendiri. Maka hermeneutika Habermas, dapat dikatakan, lahir untuk memberikan kritik sekaligus melengkapi aspek yang tak terjamah oleh Gadamer yakni terjadinya distorsi secara sistematis dalam teks, dengan memberikan sebuah modul cara kerja untuk mengorek dan menjelaskan permasalahan distorsi ini langsung dari penulisnya.

Namun dalam realita empirisnya—yang dimaksud disini adalah dalam ranah kajian al-Qur’an, metode hermeneutika kritis ini terlihat tidak dapat diterapkan sebab kitab-kitab yang dikaji biasanya penulisnya telah wafat—kecuali jika mengkaji pemikir-pemikir kontemporer yang masih ada seperti Farid Essack maupun Abdullah Saeed misalnya, atau bahkan jika merujuk kepada al-Qur’an secara langsung itu akan menjadi mustahil untuk diterapkan.

Sebab secara teologis sebagai umat Islam tidak mungkin kita menyatakan bahwa Tuhan mengalami gejala psikopatologi sebagaimana manusia tatkala kita menjumpai ayat al-Qur’an yang secara uslub keluar dari uslub orang Arab pada umumnya—sebab justru hal itu dikatakan sebagai al-i’jaz al-balaghy atau mukjizat kebahasaan.

Namun dalam rangka pengembangan Studi Islam secara umum, teori Jurgen Habermas dapat dijadikan sebagai alat atau kacamata dalam melihat fenomena sosial keagamaan. Jadi dengan melihat realita yang sedang berkembang dan membaca adanya fenomena psikopatologi di dalamnya. Semisal munculnya berbagai fenomena arabisasi ataupun fundamentalisme yang belakangan ini banyak terjadi dalam tubuh masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Kajian Barat atas Timur: Dari Edward Said Sampai Angelika Neuwirth

Dengan menggunakan pisau analisis teori hermeneutika Habermas, kita dapat melakukan interpretasi dan upaya rekonstruksi atas epistemologi pemikiran yang dibangun dalam masyarakat tersebut.

Selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman yang holistik atas fenomena yang terjadi, maka perlu adanya penggalian informasi dengan salah satunya mengadakan penelitian partisipatif sehingga nantinya didapati apa yang saya sebut sebagai refleksi natural—atau sederhananya prilaku spontan yang telah menjadi ciri khas suatu komunitas tertentu yang didalamnya tentu dipengaruhi oleh ideologi yang mempengaruhinya—dari apa yang mereka pahami dan apa yang mereka lakukan. Wallahu a’lam.