Hermeneutika sebagai salah satu “senjata” metodologis dalam penafsiran Alquran kontemporer, mengundang ketertarikan pada sejumlah pemikir muslim. Ketertarikan di sini bersifat vis a vis, yakni tidak hanya mencoba mengelaborasi lebih jauh dengan pendekatan yang selama ini telah ada. Namun, di saat yang bersamaan juga melahirkan poros penolakan terhadapnya.
Para pemikir muslim yang berada pada wilayah pertama bukan semata-mata melihat adanya kesesuaian yang dapat diadopsi dari hermeneutika sebagai sebuah pendekatan terhadap teks Alquran. Namun, terdapat tawaran-tawaran alternatif dengan memasukan tradisi dalam ulumul Qur’an sebagai upaya akomodatif dan alternatif sekaligus. Agaknya hal ini menjadi satu titik tekan dalam pengayaan pandangan, untuk dapat menguji sejauh mana Alquran dapat berkolaborasi dalam berbagai konteks yang luas.
Sekilas Sosok Schleiermacher
Lahir pada pertengahan akhir abad 16, sosok Schleiermacher populer dengan sebutan peletak hermeneutika modern. Ia lahir di Jerman tepatnya pada tahun 1768 pada tradisi keluarga yang taat akan keyakinan Protestan. Schleiermacher telah menunjukan bakat menonjol pada dirinya sebagai “pengkhotbah” di masa mudanya.
Hal tersebut membawanya pada forum seminari Barby untuk memperluas pandangannya. Di saat yang sama, momen tersebut membuka jaringan wacana ilmiah dan filosofis oleh berbagai pemikir dari tradisi yang berbeda dengannya. Dari momen ini kemudian, membuat dirinya bimbang dalam menjatuhkan jalan hidupnya antara sebagai ilmuan atau meneruskan aktivitas khotbahnya (Hardiman, 2015).
Baca juga: Mengenal ‘Intended Text’ dalam Alquran
Dalam menempuh jalan yang dipilih, sebuah keputusan yang ia jatuhkan pada studi filsafat, teologi, dan filologi di Universitas Halle. Buah dari studinya membawa Schleiermacher menjadi seorang intelektual yang bergelut dengan berbagai pandangan pemikir-pemikir lain. Ia banyak mengkritik Immanuel Kant dan Spinoza, yang secara khusus dituangkan pada sejumlah karyanya.
Dari pendirian pemikirannya, Schleiermacher dikategorikan sebagai pemikir yang cukup terpengaruh dengan tradisi romantisme; salah satu sekte ajaran filsafat agama yang cukup mempertentangkan tradisi empirisme dan rasionalisme sebagai khas modernitas. Pilihannya dalam menekuni bidang ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan produktivitas pemikiran dan tulisan-tulisannya yang banyak dijadikan rujukan akademis. Ia dikenal dengan bapak Hermeneutika Modern dengan magnum opusnya dalam bidang hermeneutika; Hermeneutik und Kritik.
Hermeneutika; Sebuah Seni Memahami
Pada tataran praktis, hermeneutika menjadi seperangkat ilmu dan teori dalam membaca realitas, baik itu teks, perilaku, simbol, dan karya seni. Karakteristik penjelasan dalam arti yang sangat umum tersebut disebut sebagai hermeneutika universal (generalis) (Syamsuddin, 2017).
Pada saat yang bersamaan, domain umum dari hermeneutika sebagai sebuah perangkat ilmu dan teori yang melahirkan metodologi ketika dikaitkan dalam pembacaan realitas menjadi satu keniscayaan. Di posisi tersebutlah Schleiermacher memberikan penekanan sumbangsih gagasannya pada studi ini.
Schleiermacher menyebut istilah hermeneutikanya dengan gramatikal dan psikologis (Bowie, 1998). Hermeneutika gramatikal dan psikologis yang diistilahkannya, menekankan pada prinsip dan teori untuk mengungkap objek hermeneutik. Keduanya berjalan beriringan dan tidak memposisikan lebih penting satu daripada yang lainnya.
Baca juga: Teori Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Perkembangannya dalam Studi Alquran
Pada tataran gramatikal, keniscayaan seseorang dalam penguasaan kebahasaan pada objek yang diteliti menjadi sebuah keharusan. Penguasaan terhadap bahasa dari objek hermeneutika, menjadi kunci dalam hal ini. Semisal diterapkan pada Alquran, mufasir diharuskan menguasai seluruh aspek perkembangan bahasa Arab secara luas.
Sebab, bahasa Arab Alquran tidak dapat dilepaskan dari bahasa sebelum maupun yang berkembang dalam konteks masyarakat Arab Jahiliyyah. Toshihiko Izutsu mengkategorisasikanya menjadi tiga periode; pra-Qur’anik, Qur’anik, dan pasca-Qur’anik (Izutsu, 1997).
Pada tataran selanjutnya, aspek psikologis menjadi perangkat lain dalam pembacaan terhadap objek hermeneutika. Pembacaan menyeluruh dalam wilayah tekstualitas/kebahasaan dianggap tidak mencukupi adanya interpretasi/tafsir untuk memahami secara menyeluruh maksud atau kandungan teks. Hal ini dikarenakan, teks tidak berdiri sendiri, melainkan ada aspek penulis (pengarang) yang memungkinkan terjadinya pengaruh baik secara psikologis (kejiwaan) maupun sosiologis.
Baca juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Alquran
Dalam aspek kedua ini, dianggap cukup problematik ketika diterapkan pada Alquran. Pembacaan psikologis yang diperuntukan bagi pengarang menjadi hal yang mustahil, sebab menempatkan pengarang, artinya memposisikan Tuhan sebagai objek yang terjangkau oleh upaya manusia.
Upaya yang dapat diperankan dalam prinsip psikologis ini menawarkan adanya penempatan asma’ al-husna sebagai pertimabangan dalam upaya memahami “psikologis” Allah. Di samping itu, pada konteks yang lebih luas mengarahkan adanya pemahaman terkait konteks historis makro maupun mikro yang membersamai setiap turunnya ayat Alquran (Syamsuddin, 2017).
Baca juga: Amina Wadud dan Hermeneutika Feminisme
Dari kedua prinsip di atas, menjadi satu perangkat hermeneutika Schleiermacher yang ditekankan ketika berhadapan dengan Alquran. Keduanya penting untuk dielaborasi dengan memberikan alternatif-alternatif langkah agar tidak menghilangkan semangat objektivitas yang ingin diperoleh dari penggunaan teori ini.
Sehingga alih-alih menolak begitu saja, perlunya pendalaman dalam mengkompromikan dengan studi Alquran sehingga tidak menabrak prinsip-prinsip Islam itu sendiri menjadi sebuah keniscayaan. Mengkompromikan metode hermeneutika Schleiermacher menunjukan bahwa, meskipun studi ini tidak lahir dari rahim Islam, ia masih dapat diakomodasi dalam konstruksi pendekatan Alquran dengan cara memadukan prinsip-prinsip dasar pada ulumul Qur’an.