BerandaTafsir Al QuranTafsir al-Munir, "Tafsir bi al-Ma’tsur" Berbahasa Bugis

Tafsir al-Munir, “Tafsir bi al-Ma’tsur” Berbahasa Bugis

Sebagaimana kitab suci lainnya, Alquran turun tidak berada dalam ruang yang kosong. Kitab suci umat Islam ini turun sebagai respons atas dinamika zaman yang berkembang pada masa itu. Pun tafsir yang berkembang sesudah Alquran dibakukan di eranya Khalifah Utsman, produknya juga hasil dari respons terhadap situasi di masa tersebut. Tidak terkecuali ragam terjemahan lokal-kedaerahan yang banyak ditemukan di bumi nusantara ini. Misalnya saja Tafsir al-Munir berbahasa Bugis karya Anre Gurutta Haji (AGH) Daud Ismail.

Baca juga: Hamzah Manguluang: Penerjemah Alquran Berbahasa Bugis dengan Aksara Lontara

Tafsir ini diperuntukkan agar masyarakat Bugis dan sekitarnya dapat memahami kedalaman ajaran Islam melalui Alquran. Orientasi yang lazim kita dapati dari para ulama Islam di masa silam bahwa, pengetahuan Qurani mesti terdistribusi sampai umat yang masih awam.

Selain itu, AGH Daud Ismail berkeinginan agar tulisan lontara berbahasa Bugis juga bisa abadi sampai nanti akhir zaman. Maka dari itu, penggalan pernyataannya di bagian mukadimah pada Tafsir Munir tertulis:

“Nainappani insya Allah naiiya ricetak barue ri jili’i, maumpe’ pakkulina, sarekkuammengngi na maitta tahan.”

Artinya: “Kitab Tafsir al-Munir ini ditulis menggunakan pembungkus (cover) yang tebal agar bisa tahan lama.”

Baca juga: Tafsir Al-Muin, Tafsir Berbahasa Bugis Prakarsa Abdul Muin Yusuf

Ulama kelahiran 30 Desember 1908 di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan ini sejak usia belia memang telah akrab dengan ajaran Islam. Dua orang tuanya merupakan tokoh yang dipandang mumpuni oleh masyarakat sekitar dalam membabar-bahasakan dan menunaikan laku keberislaman. Di samping memang, masa remaja Daud Ismail juga tidak luput dari rasa haus pada ilmu pengetahuan. Kendati tidak pernah tercatat mengenyam pendidikan formal, namun sekian ulama terkemuka di wilayahnya pernah dia datangi untuk belajar.

Maka mafhum jika aktivitas berliterasi mulai dari membaca, menulis, menalar, sampai menerjemahkan ayat-ayat Alquran dalam bahasa Bugis ini, dilakukannya secara otodidak dari hasil akumulasi pengetahuan keberislaman yang dia peroleh.

Tafsir 30 juz yang dibagi dalam 10 jilid ini, menurut Mufid Syakhlani di artikel berjudul Kajian Tafsir Nusantara: Tafsir Alquran Berbahasa Bugis (Ugi) Karangan AGH Daud Ismail, merupakan tafsir yang menggunakan metode bi al-ma’tsur. Artinya, tafsir Alquran yang ditafsirkan dengan Alquran, hadis, dan pendapat-pendapat dari sahabat dan tabi’in.

Baca juga: Kajian Tafsir Pada Khazanah Literatur Tradisional Nusantara

Sebagai contoh saat menafsirkan surah an-Naml [27] ayat 62 tentang mukjizat doa bagi yang memunajatkannya dalam situasi yang sulit. Ayat ini oleh AGH Daud Ismail dijelaskan dengan mengutip hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar:

“Napuadai nabitta Muhammad SAW ri doanna tau manrasa-rasae. “E…Puang upurennui pammasemu, naaja lalo tapesonanga lao rialeku (taita-itai bawangnga na maunii) sikkeddereng matamuna nennia tapedecengngiangnga gau-gaukku/urusan-urusakku imanenna. Degaga puang sangadinna ikomi.””

Artinya: “Rasulullah saw. bersabda untuk doa orang yang sedang susah: “Ya Allah aku meminta rahmat dari-Mu. Janganlah engkau memberiku kesusahan walau sekejap mata, perbaikilah akhlak atau perbuatanku, segala urusanku. Tiada Tuhan selain Engkau Ya Allah.””

Di samping itu, Tafsir al-Munir berbahasa Bugis ini hanya menjelaskan kosakata tertentu yang dinilai penting untuk diketahui. Pun struktur kebahasaannya juga tidak terlalu mendapat perhatian serius. Hal ini lantaran sasaran tafsir ini adalah masyarakat yang masih awam dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, yang penting bagi AGH Daud Ismail adalah tersampaikannya kandungan yang dimiliki oleh surah dan atau ayat-ayat Alquran kepada masyarakat awam.

Sementara itu, corak Tafsir al-Munir ini cenderung pada fikih. corak ini juga dipilih antara lain untuk menyesuaikan pembaca yang merupakan masyarakat awam, sebab fikih menjadi salah satu bidang pengetahuan Islam sekaligus pondasi dasar keberislaman yang bisa langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-agama, Konsentrasi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...