BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaTafsir Al-Muin, Tafsir Berbahasa Bugis Prakarsa Abdul Muin Yusuf

Tafsir Al-Muin, Tafsir Berbahasa Bugis Prakarsa Abdul Muin Yusuf

Tafsir Al-Muin merupakan sebuah karya monumental yang selesai ditulis lengkap dan sempurna tiga puluh juz yang diprakarsai Abdul Muin Yusuf. Kitab tafsir ini merupakan generasi kedua yang sebelumnya telah dipelopori oleh AG. Daud Ismail dengan kitab tafsirnya al-Munir.

Abdul Muin Yusuf yang akrab dipanggil Kali Sidenreng, merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam, khususnya Sulawesi selatan. Beliau adalah seorang mufasir, faqih, da’i, dan aktivis. Kiprahnya dalam perkembangan khazanah tafsir ikut berkontribusi menambah daftar literatur kitab tafsir di Nusantara.

Baca Juga: Mengenal AG.H. Daud Ismail: Mufasir Bugis dengan Kitab Tafsir Pertama Lengkap 30 Juz

Biografi dan Jejak Intelektual Abdul Muin Yusuf

Nama lengkap beliau adalah Abdul Muin Yusuf, juga akrab disapa dengan Pung Tommeng, namun lebih masyhur dengan Kali Sidenrang (Sebuah gelar yang diberikan oleh raja kepada tokoh yang mampu memberikan pandangan keagamaan kepada masyarakat). Beliau dilahirkan di Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan 21 Mei 1920. Ayahnya Bernama Muhammad Yusuf dan Ibunya Bernama Siti Khadijah.

Muhsin Mahfudz dalam tulisannya memaparkan bahwa ketika Muin Yusuf kecil beranjak usia 10 tahun, mulailah dia memperoleh Pendidikan dasar di Insladsche school dan di Madrasah Ainur Rafie di bawah pimpinan Syekh Ali Mathar. (Mahfudz, 2010, p. 36)

Beliau juga sempat mengenyam Pendidikan di Madrasah Arabiyah Islamiyah di bawah asuhan AG. Muhammad As’ad (seorang tokoh sentral induk jaringan inteketual) di Sulawesi Selatan saat itu. Kemudian, beliau melanjutkan studi ke Normal Islam Majene, Sulawesi Barat, kemudian pindah ke Pinrang mengikuti perpindahan Normal Islam menjadi Muallimat Ulya sampai menyelesaikan studinya.

Setelah mengalami liku-liku dalam pengembaraan keilmuan, dia kembali ke kampung halamannya membina Sekolah Ibtidaiyah. Dalam usia yang relatif muda (sekitar 22 tahun), dia sudah diserahi amanah sebagai qadhi atau kali. Namun tidak berlangsung lama, Muin Yusuf memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai qadhi karena ingin berangkat ke Tanah Suci. Saat disana dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menuntut ilmu di Darul Falah Mekah. Berselang dua tahun kemudian, dia merampungkan studinya pada jurusan perbandingan mazhab dan kembali ke Tanah Air.

Melihat semangatnya untuk menimba ilmu yang tak pernah berhenti dengan kondisi yang tidak dapat dikatakan mudah saat itu, telah menunjukkah langkah yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan zaman. Baik sebagai qadhi dan membina pendidikan, beliau juga terlibat dalam organisasi yaitu Nahdlatul Ulama (NU), dan beliaulah tokoh yang membuka NU di Sidrap tahun 1946. Bahkan, beliau sempat mewakili NU duduk sebagai anggota DPRD selama dua periode pasca terbentuknya Kabupaten Sidrap. (Bazith, 2020, p. 19)

Semasa hidupnya, Anregurutta Kali Sidenreng dikenal sebagai sosok ulama yang ramah dan sangat sederhana. Kesehariannya hanya dipenuhi dengan pengabdian kepada bangsa dan agama. Abdul Muin Yusuf menghembuskan nafas terakhirnya di Rappang, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 2004.

Baca Juga: Muhammad As’ad Al-Bugisy dan Jaringan Penafsir Keturunan Bugis

Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Muin: Kitab Tafsir 30 Juz Berbahasa Bugis

Kala itu, Anregurutta (sebutan untuk orang yang telah mempunyai kapasitas keilmuan yang luas) Abdul Muin Yusuf menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi atas kesadarannya sebagai seorang ulama semestinya mampu mengemban amanat untuk menjelaskan dan menyebarkan makna yang terkandung dalam Alquran.

Alquran yang diturunkan dengan berbahasa Arab tentunya tidak mudah dipahami masyarakat awam yang asing dengan bahasa Arab.  Maka beliau berusaha mengartikulasikan dengan memvernakulasi Alquran ke bahasa Bugis sebagai usaha untuk memudahkan masyarakat memahami makna-makna yang tersirat dalam Alquran.

Akhmad Bazith dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam penyusunan Tafsir, Anregurutta termotivasi dari Q.S al-Hajj [22]: 40. Sebagaimana yang tersebut dalam pengantar tafsir tersebut.

وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ

Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Ayat inilah sebagai pendorong dirinya untuk melakukan kegiatan penafsiran. Ayat ini dijadikan dasar ideologi untuk melakukan pekerjaan yang sulit, yaitu kegiatan tafsir al-Qur’an (Bazith, 2020, p. 22). Disebutkan juga dalam pendahuluannya, Anregurutta mengungkapkan bahwa bagaimanapun susah dan sulitnya (Tafsir Bahasa Bugis), kita tidak boleh menghindarinya karena itu merupakan perintah Allah Swt. kepada Nabi untuk menjelaskan dan menyebarkan kandungan Alquran yang berbahasa Arab itu, sementara masyarakat muslim Bugis tidak memahaminya jika tidak ditafsirkan ke dalam Bahasa Bugis.

Akhirnya, dibentuklah tim penulis yang melibatkan beberapa ulama di Sulawesi Selatan dalam penyusunan kitab tafsir tersebut. Namun, dalam perjalannya tim ini kurang produktif, sehingga untuk penulisan selanjutnya, Anregurutta sendiri yang meneruskan dan merampungkannya.

Baca Juga: Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Peralihan Nama Kitab

Kitab Tafsir Al-Muin ini sebelumnya berjudul Tafsere Akorang Mabbahasa Ogi. Karena Sejatinya, kitab Tafesere Akorang Mabbasa Ogi ini merupakan proyek MUI Sulawesi Selatan pada masa kepemimpinan Abdul Muin Yusuf dengan beranggotakan lima tim khusus lainnya yakni Ma’mur Ali, Hamzah Manguluang, Muhammad Junaid Sulaiman, Andi Syamsul Bahri, dan Mukhtar Badawi. (Maulina, n.d., p. 79)

Menurut lacakan Mursalim melalui wawancara dengan Sekretaris MUI Sulawesi Selatan pada saat itu, yakni Rusly Wolman, menyatakan bahwa tafsir ini mulanya disusun oleh tim yang ditunjuk oleh MUI Sulawesi Selatan, akan tetapi dalam tidak berjalan secara efektif sehingga tim khusus tersebut hanya dapat merampungkan sampai dua jilid pertama saja. Jilid selanjutnya dilanjutkan oleh Abdul Muin Yusuf hingga rampung. (Mursalim, 2014, p. 59).

Akibat dari itu, terjadi peralihan mana dan beberapa perubahan yang lain. Di antaranya adalah hampir seluruh penulisan tafsir ditulis oleh Anregurutta Muin Yusuf, sehingga  tim penulis yang lain tidak merasa keberatan atau pun mengajukan protes atas perubahan nama kitab tersebut. Mereka yakin bahwa pemberian nama tersebut layak diberikan kepada Anregurutta Abdul Muin Yusuf mengingat perjuangan beliau yang paling mendominasi dalam penyusunan tafsir tersebut.

Baca Juga: Empat Kitab Tafsir dalam Tradisi Geneologis Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan

Karakteristik Tafsir

Kitab tafsir ini dari segi sistematikanya, tergolong dalam kategori mushafi, yaitu sesuai dengan urutan surah dan ayat yang ada dalam mushaf Alquran. Yang penafsirannya dimulai dari dari surah Alfatihah, hingga surah Annas. Ditinjau dari segi tata letaknya, tafsir ini ditulis dengan cara mengelompokkan ayat-ayat yang sesuai dengan tema-tema yang dibicarakan dalam ayat tersebut, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Bugis dan selanjutnya ditafsirkan.

Kemudian terkait sumber penafsiran Abdul Muin Yusuf mengakui bahwa penyusunan Tafsir Berbahasa Bugis ini mengambil referensi dari 10 kitab Tafsir. Empat kitab tafsir sebagai referensi primer di antaranya Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim dan Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, sementara enam kitab tafsir sebagai referensi sekunder, yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Al-Tafsir al-Wadhih, Shafwat al-Tafasir, Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, dan Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. (Mahfudz, 2010, p. 38)

Adapun dalam aspek metoodologis, para peneliti silang pendapat dalam menentukannya, menurut hasil kerja penelitian Abd Kadir M, menyatakan bahwa tafsir ini adalah metode gabungan antara tahlili dan ijmali. Berbeda dengan hasil penelitian Muhammad Yusuf, yang menyimpulkan bahwa tafsir ini memakai metode ijmali. Karena beliau menilai dari sistematika dan bentuk penyajiannya, tidak dapat dikatakan tafsir yang menerapkan metode tahlili, sebab tidak mengkaji ayat-ayat dari segi dan maknanya, ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan sistematika atau urutan dalam mushaf ‘Usmani. Menurutnya, jika dilihat dari segi sistematika penyajiannya, tafsir ini memang cukup runtut, tetapi hanya pada urutan ayat bukan pada teknik keluasan analisisnya. Wallah a’lam

Muhammad Agus
Muhammad Agus
Mahasiswa STKQ Al-Hikam Depok
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...