BerandaTafsir TematikHikmah dan Manfaat Sosial Ibadah Haji

Hikmah dan Manfaat Sosial Ibadah Haji

Terdapat banyak hikmah dan manfaat sosial haji yang dapat dipetik dari pengalaman seorang muslim yang berhaji. Nilai-nilai sosial dalam ritual haji dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat, selain ibadah tersebut memang merupakan kesempatan untuk memenuhi kerinduan rohani dan perintah agama sebagai rukun Islam kelima.

Dalam Q.S. al-Hajj ayat 27 diterangkan tentang seruan Allah kepada umat manusia untuk berhaji. Kemudian pada ayat selanjutnya dijelaskan pula hikmah dan manfaat sosial haji.

لِّيَشْهَدُوا مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِى أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَائِسَ ٱلْفَقِيرَ

Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir (Q.S. al-Hajj [22]: 28).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (15/43) menerangkan manfaat sosial haji, bahwa selain untuk kehidupan akhirat, ibadah yang diimpikan setiap muslim ini juga memiliki nilai sosial yang dapat berimplikasi terhadap kemaslahatan umat manusia.

Setiap manusia pasti memerlukan pergaulan dengan masyarakat. Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mempelajari norma-norma kesopanan dalam pergaulan. Dalam pelaksanaan ibadah haji, hal tersebut dapat dihayati dan dipelajari dari serangkaian ritual ibadah haji.

Ihram

Adapun nilai sosial tersebut di antaranya adalah ritual ihram. Pada saat melakukan ibadah haji, semua jamaah akan mengenakan seragam yang sama (pakaian ihram). Ibnu Mas’ud menggambarkan kain ihram yang tidak berjahit tersebut menandakan bahwa tidak ada saudagar yang kaya raya, tidak ada kaum bangsawan yang tinggi pangkatnya, dan tidak ada pula budak-budak yang dianggap hina. Mereka semua ketika itu sama dan setara di hadapan Allah.

Sebab, pakaian seringkali menjadi pemicu perpecahan umat, jika dijadikan sebagai simbol kemewahan yang mengundang egoisme manusia. Hal ini senada dengan pernyataan Ali Syari’ati, bahwa pakaian menyebabkan manusia seperti serigala yang menerkam hewan yang lemah. Karenanya, dengan sehelai kain ihram putih yang dipakai setengah badan oleh para jamaah haji, merupakan simbol penolakan dari segala bentuk diskriminasi, rasis, dan anti rasa kemanusiaan (Makna Haji, h. 30).

Wukuf

Aspek sosial lain yang tersirat dalam ibadah haji yaitu pada saat wukuf. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa semua jamaah haji berkumpul dalam satu tempat di padang Arafah dengan perbedaan status sosial mereka, karakter, suku, dan pemikiran. Di sana mereka berkumpul memadu rasa keislaman mereka; mempererat tali persaudaraan, persatuan, dan persahabatan.

Para jamaah haji berkumpul dengan latar belakang yang berbeda-beda, tetapi hanyut dalam satu hati dan pikiran; mengingat asma-Nya dan melakukan introspeksi diri. Dengan muhasabah itu seseorang akan mampu melakukan reparasi kerusakan hati/jiwa yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam kehidupan sosialnya.

Penyembelihan kurban

Nilai sosial lain yang nyata dari ibadah haji sebagaimana termaktub dalam ayat di atas adalah penyembeliahan hewan kurban. Esensi dari kurban sejatinya adalah berusaha membuang sifat-sifat kebinatangan yang hanya mengedepankan nafsu dan serakah tanpa mengenal aturan yang berlaku, baik secara sosial maupun agama.

Selain itu, Hasan Basri menyatakan bahwa dalam penyembelihan kurban terkandung aspek sosiologis kemasyarakatan, yaitu dalam hal menyembelih hewan yang daging-dagingnya itu akan dibagikan untuk menyantuni dan menggembirakan fakir miskin umumnya yang membutuhkan (Haji dan Kurban, h. 5).

Larangan berbicara kotor

Yang terakhir, Ibadah haji tidak cukup dengan pelaksanaan syarat dan rukunnya saja. Seorang muhrim/muhrimah nyatanya diperintahkan untuk menjaga ucapan yang mengakibatkan orang lain tersinggung. “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fasik, dan jidal.” (Q.S. al-Baqarah: 197).

Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Baari (3/382) menyatakan bahwa rafats adalah mengeluarkan perkataan kotor, senda gurau berlebihan yang menjurus kepada timbulnya nafsu.

Baca juga: Memaknai Ayat Haji Ala Sufi

Sedangkan fusuq, yakni mencaci, takabur, merugikan, dan menyakiti orang lain dengan kata-kata maupun perbuatan; zalim terhadap orang lain seperti mengambil haknya, merusak alam, dan makhluk lainnya tanpa ada alasan yang membolehkan, juga termasuk memprovokasi orang lain untuk melakukan maksiat.

Adapun jidal artinya pertikaian dan perdebatan yang menimbulkan emosi orang lain seperti berbantah-bantahan hanya untuk memperebutkan kamar tidur, kamar kecil, makanan, dan termasuk melakukan demonstrasi terhadap sesuatu hal yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya.

Baca juga: Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar!

Pesan sosial dalam ibadah haji yang dimulai dari ihram hingga larangan perbuatan rafats, fusuq, dan jidal seharusnya bukan hanya dilaksanakan saat di tanah suci saja. Namun, harus dipahami secara kontekstual dan berkelanjutan.

Dengan demikian, diharapkan nilai-nilai universal, seperti ketakwaan, kesabaran, dan berlaku amal saleh serta menjauhi dan menolak segala perilaku tercela dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan dapat terbawa oleh jamaah haji sekembalinya ke tanah air masing-masing. Dengan begitu ibadah sang haji sesuai dengan tujuan utama haji, yakni memiliki daya ubah positif bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU