BerandaTafsir TematikHikmah Larangan Melembutkan Perkataan bagi Perempuan

Hikmah Larangan Melembutkan Perkataan bagi Perempuan

Larangan melembutkan perkataan bagi perempuan dijelaskan dalam Alquran, surah al-Ahzab ayat 32. Pada ayat ini, juga dijelaskan beberapa kondisi penyebab pelarangan tersebut. Artinya, larangan ini tidak semata-mata terjadi tanpa sebab dan tujuan yang jelas.

Sebagai pengantar, melihat kesesuaian ayat 32 surah al-Ahzab dengan beberapa ayat sebelumnya, terlihat bahwa ayat ini masih dalam rangkaian ayat tentang perintah Allah terhadap istri-istri Rasulullah saw. yang antara lain yaitu tentang cara bergaul dengan laki-laki yang bukan mahram.

Secara tekstual, perintah Allah tersebut memang ditujukan kepada ummahat al-mu’minin. Berhubung posisi mereka sebagai panutan bagi semua para perempuan umat Nabi Muhammad, maka berarti ayat 32 ini juga ditujukan kepada semua perempuan. Demikian kurang lebih penjelasan Ibn Katsir dalam tafsirnya.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 97: Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Beribadah

Berikut redaksi surah al-Ahzab [33] ayat 32,

يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ

Wahai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Terjemah Kemenag RI)  

Sebagai tindakan preventif

Mufasir seperti al-Baghawi dan Ibn Katsir menjelaskan maksud ucapan yang khudlu’ pada ayat ini adalah ucapan yang lemah lembut, yang merdu. Al-Qurtubi semakin memperjelas penafsirannya dengan langsung mencontohkan ucapan lemah lembut yang dilarang itu seperti ucapan atau perkataan yang biasa diucapkan oleh murībāt dan mūmisāt (para perempuan  pekerja seks komersial).

Dengan demikian, berarti ucapan lemah lembut yang dilarang adalah ucapan atau perkataan yang merdu dan mengandung rayuan.

Selanjutnya, larangan ini disebabkan karena kawatir membangkitkan nafsu laki-laki yang tidak baik, bisa jadi karena laki-laki tersebut munafik atau semacamnya, sehingga memunculkan nafsu untuk berbuat yang tidak baik terhadap perempuan.

Oleh karena demikian, maka kondisi larangan ini berlaku ketika perempuan berinteraksi dengan laki-laki yang bukan mahram dan bukan suaminya. Larangan ini tidak berlaku bagi interaksi antara suami-istri. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibn Katsir,

لَا تُخَاطِبِ الْمَرْأَةُ الْأَجَانِبَ كَمَا تُخَاطِبُ زَوْجَهَا

Mengapa perempuan yang dilarang untuk berkata lemah lembut, bukan laki-laki yang diperintah untuk bisa menahan nafsu dan mempertkuat imannya? Pertanyaan ini bisa saja keluar dari pembaca yang peka terhadap adanya bias patriarki dalam Alquran, namun tidak demikian jika melanjutkan pembacaan ayat tersebut dengan semangat pembebasan. Istilah ini disebut dengan ‘reading liberation’ oleh Asma Barlas.

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Ayat ini masih dalam rangkaian perintah dan pesan-pesan Allah terhadap istri-istri Nabi Muhammad, jadi wajar jika larangan melembutkan ucapan ini masih ditujukan terhadap perempuan.

Ayat ini menunjukkan bahwa Alquran berbicara dan berinteraksi dengan perempuan. Hal yang mungkin terlihat remeh ini sebenarnya menunjukkan tentang eksistensi perempuan yang pada masa itu masih dianggap tabu. Ummu Salamah saja pernah diceritakan bahwa beliau komplain terhadap Nabi Muhammad karena Alquran selalu menyebut laki-laki, tidak perempuan.

Selain itu, melalui ayat ini pula perempuan diberi kepercayaan untuk bisa mengendalikan dirinya sendiri, meski memang masih saja ada celah untuk dianggap sebagai ‘objek’ dari laki-laki.

Sementara itu, untuk laki-laki, Alquran telah memberi peringatan khusus untuk senantiasa menjaga kesucian dirinya dan juga budak perempuannya di surah an-Nur [24] ayat 33,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa. (Terjemah Kemenag RI)

Dengan demikian, melihat kedua ayat ini, sebenarnya perempuan dan laki-laki sama-sama diberi tanggung jawab untuk menjaga kesucian dirinya sendiri dan senantiasa menjaga kesucian orang lain.

Sementara itu, Gus Baha dalam salah satu cuplikan video ngajinya, menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan tentang pembicaraan Alquran mengenai psikologi laki-laki, yaitu mudah tergoda dan terangsang. Bahkan, beliau memahami larangan berbicara dengan khudlu’ bagi perempuan ini sebagai larangan untuk bersikap terlalu sopan, karena kesopanan yang berlebihan yang ditunjukkan oleh perempuan dapat diartikan oleh laki-laki yang tidak baik dengan pemberian harapan dan persetujuan.

Oleh karena itu, larangan melembutkan perkataan bagi perempuan dalam surah al-Ahzab  ayat 32 tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan preventif terhadap hal-hal yang tidak baik dalam konteks hubungan perempuan dan laki-laki yang bukan mahram, karena tidak semua laki-laki bisa mengendalikan nafsunya dengan baik, dan tidak semua perempuan bisa berbicara dengan tegas dan lugas.

Baca Juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

Beda antara ucapan yang lemah lembut dengan ucapan yang baik

Larangan melembutkan perkataan bagi perempuan di sini bukan berarti memerintah perempuan untuk berkata yang kasar dan tidak baik. Ucapan yang lemah lembut beda dengan ucapan atau perkataan yang baik. Perempuan sangat dianjurkan untuk berkata atau berucap dengan tegas dan lugas, tidak menye-menye.

Al-Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya,

…أَمَرَهُنَّ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُنَّ جَزْلًا وَكَلَامُهُنَّ فَصْلًا…

Allah memerintah para perempuan untuk (berucap dengan) perkataan yang kuat dan tegas.   

Lemah-lembut, tegas-lugas itu menunjukkan cara, sementara baik-tidak baik adalah materinya. Jadi, yang dilarang di sini adalah cara berucap atau bertutur yang lemah-lembut, menye-menye dengan nada merayu; sementara materi tutur atau ucapannya tetap harus yang baik, sesuai dengan perintah agama, yakni tidak mengandung hinaan, celaan, bukan kebohongan, dan semacamnya. Wallah a’lam.

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tidur Panjang Ashabul Kahfi dalam Perspektif Medis

0
Ashabul Kahfi merupakan sebutan bagi sekelompok pemuda muslim yang mengasingkan diri ke sebuah gua karena tidak tahan dengan masyarakat lingkungannya yang enggan menyembah Allah....