BerandaTafsir TematikHikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Hikmah puasa menjadi topik yang sangat dekat dengan kehidupan umat Islam, ini banyak dicari untuk diketahui, karena seperti diketahui, puasa tidak hanya menjadi ibadah wajib tahunan umat Islam, tetapi juga sangat sering dijadikan sebagai amalan sunnah di hari-hari yang istimewa, sebut saja yang paling mendekati adalah hari asyura. Bahkan, banyak disampaikan oleh para ulama bahwa puasa dipilih sebagai alternatif amalan tirakat yang disarankan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan memperlancar hajat atau keperluan seseorang.

Namun demikian sebelum membahas hikmah puasa, kita harus ketahui terlebih dahulu puasa itu sendiri, mulai dari pengertiannya, dasar teologisnya, hukumnya dan macam-macamnya. Puasa -wajib- merupakan satu dari beberapa rukun Islam. Secara definitif, rukun merupakan sesuatu yang pokok yang tidak boleh tidak dilaksanakan. Oleh karenanya manusia sebagai hamba memiliki kewajiban untuk memenuhi rukun tersebut. Pemenuhan dan pelaksanaan kewajiban seperti ini merupakan bingkai yang menjembatani sebuah relationship antara hamba dan Tuhannya.

Seperti hal nya rukun Islam yang lain, dasar perintah puasa sudah ditetapkan dalam Alquran. Dalam surat Al-Baqarah ayat 183, Allah berfirman

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Sesuai redaksi akhir ayat di atas, tujuan utama perintah ini adalah agar manusia bertakwa. Takwa dalam konteks puasa di sini berarti bentuk ketakutan hamba kepada Allah yang diwujudkan dengan meninggalkan kesenangan perut dan kesenangan di bawah perut. Sebab, keduanya adalah hal yang paling disukai manusia sehingga paling berat untuk ditinggalkan. Selain itu, takwa di sini bisa juga diartikan dengan al-muhafadzoh (menjaga), yakni menjaga puasa karena kedudukannya yang agung.

Perintah wajib berpuasa pada ayat di atas memang hanya berlaku untuk puasa wajib, yaitu puasa di bulan Ramadan. Namun tujuan yang puasa yang tersurat di situ tidak hanya berlaku untuk puasa Ramadan, tetapi juga menjadi tujuan dari puasa sunnah (misal puasa tasu’a, asyura, puasa hari tarwiyah, arafah, senin-kamis dan seterusnya). Di bagian tujuan berpuasa sini kita dapat melihat nilai puasa dan kandungan hikmah puasa.

Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

Puasa dianggap sebagai bentuk nyata kepatuhan seseorang, serta benteng baginya dari segala pelanggaran. Telah disabdakan oleh Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Puasa itu adalah benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah, ‘aku sedang berpuasa’ sebanyak dua kali. Dan demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah swt daripada harumnya minyak misk, karena dia meninggalkan makanannya, minumannya dan nafsu syahwatnya karena-Ku (Allah). (HR. Al-Bukhari)

Mengenai tradisi puasa, dikatakan bahwa puasa merupakan ibadah yang juga diperintahkan pada umat-umat terdahulu. Para Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani menganggap terpuji ibadah puasa dan orang yang berpuasa. Bahkan menurut Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir, puasa juga dijalankan oleh kaum pagan serta bangsa Yunani dan Mesir kuno.

Jika ditinjau dari segi fiqih, puasa adalah al-imsak yang berarti menahan diri dari segala hal yang membatalkannya, seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri, mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan diawali niat. Bagi para alim ‘allamah (orang yang ahli dalam bidang agama), puasa tidak sekadar menahan lapar dan haus, ada hikmah tersimpan dalam ibadah tersebut. Berikut beberapa hikmah puasa yang dijelaskan oleh Syeikh Wahbah Az-Zuhaili

  1. Melatih diri untuk takut kepada Allah baik dalam keadaan samar maupun terang-terangan. Seseorang yang berpuasa hanya diawasi oleh tuhannya, sehingga ketika ia merasa lapar dan dahaga saat mencium aroma hidangan dan melihat segarnya minuman namun tetap menahan diri, maka ia telah membuktikan rasa takutnya kepada Allah. Ia hanya mengharap pahala dan rida dari-Nya,
  2. Meredam syahwat. Syahwat sifatnya mempengaruhi dan menguasai, maka dengan puasa ia menjadi tenang dan seimbang.
  3. Mengundang kepekaan diri untuk bersimpati dan empati sehingga ia akan mudah berbagi. Saat berpuasa, ia akan merasakan rasa lapar yang dialami oleh orang-orang lemah yang kekurangan pangan.
  4. Memahami arti kesetaraan bahwa statusnya sama dalam melaksanakan kewajiban. Tidak memandang kasta antara kaya dan miskin atau berpangkat dan tidak.
  5. Membiasakan hidup teratur. Berpuasa menjadi pelajaran untuk mendisiplinkan diri melalui waktu yang telah ditetapkan kapan ia harus memulai dan mengakhirinya. Ia juga dianjurkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhiri sahur.
  6. Menyehatkan badan dan mereformasi stamina secara berkala.

Baca Juga: Puasa Asyura: Bentuk Rasa Syukur atas Nikmat Allah

Inilah diantara hikmah puasa baik dari sisi jasmani, rohani, medis, dan sosial. Selain itu, Nabi telah memberi jaminan kebahagian bagi orang yang berpuasa. Sabda Nabi Muhammad saw yang lain, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Rabb-nya.” (HR. Muslim)

Wallahu A’lam.

Lutfiyah
Lutfiyah
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...