Mengurai Maqashid Puasa sebagai Sarana Pendidikan Karakter

Mengurai Maqashid Puasa sebagai Sarana Pendidikan Karakter

Sudah masyhur dipahami bahwa puasa dalam definisi syariat adalah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan mulai fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat. Namun, para ulama tidak hanya berhenti pada definisi itu saja. Mereka mengurai adanya maqashid atau tujuan besar yang dikehendaki, yakni takwa, sebagaimana dalam QS. Albaqarah [2]:183.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Jika memerhatikan struktur teks ayat, bisa dipahami bahwa maqashid puasa adalah takwa. Dari sisi kebahasaan, kata taqwa berasal dari kata waqa (وقى) yang berarti menjaga sesuatu yang membahayakan dan menyakitkan. Pengertian ini pula yang menjadi hakikat takwa menurut  Al-Ashfahani (Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hlm. 881). Selain itu, takwa juga sinonim dengan takut dan taat (Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, 3/988).

Adapun secara spesifik terkait ayat di atas, takwa dipahami dalam spektrum berbeda oleh tiap ulama. Ath-Thabari memahami takwa pada ayat ini sebagai perilaku menghindari makan, minum, dan berhubungan badan (Jami’ al-Bayan ’an Ta’wil Ayi al-Qur’an, 3/413).

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Berbeda halnya dengan Ar-Razi yang menambahkan penjelasan bahwa puasa melahirkan takwa dalam arti menundukkan dan mengendalikan hawa nafsu, terutama urusan perut dan kemaluan. Semakin sering berpuasa, semakin besar persentase keberhasilan mengendalikan dua godaan terbesar ini (Mafatih al-Ghaib, 5/240).

Pada kitab tafsir lain, Az-Zuhaili secara tegas menyatakan puasa sebagai aktivitas penyucian jiwa, mendatangkan rida Allah, dan mendidik jiwa untuk bertakwa kepada Allah baik dalam kondisi sepi maupun ramai. Puasa pun mampu mengendalikan keinginan, mengajarkan kesabaran dan resistensi terhadap rasa sulit (Tafsir Al-Munir, 1/379).

Penafsiran yang lebih eksploratif dipaparkan Ibnu ‘Asyur, bahwa takwa sebagai hikmah puasa secara syariat dipahami sebagai perilaku meninggalkan kemaksiatan. Maka puasa befungsi sebagai sarana untuk meninggalkan maksiat yang terbagi dua jenis: (1) yang mudah dihindari dengan kehendak, seperti mencuri dan berjudi; (2) yang sulit dihindari karena berada dalam diri, seperti amarah dan syahwat. Jenis terakhir inilah yang mampu dikendalikan dengan puasa (At-Tahrir wa at-Tanwir, 2/158).

Dari beberapa penafsiran sebelumnya, setidaknya bisa dipahami bahwa predikat takwa yang merupakan maqashid puasa memiliki dua lapis dimensi: (1) dimensi lahir berupa menahan makan, minum, dan berhubungan badan; (2) dimensi batin berupa mengendalikan emosi dan nafsu. Bisa dipahami bahwa pendidikan karakter menjadi salah satu ujung maqashid puasa.

Baca Juga: Puasa Jasmani dan Rohani menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Pendidikan Karakter sebagai Salah Satu Maqashid Puasa

Jika menggunakan paradigma maqashid syariah, setidaknya diperoleh dua maqashid puasa: Hifzh ad-Din (menjaga agama) dan Hifzh an-Nafs (pemeliharaan jiwa). Hifzh ad-Din termanifestasi dari upaya protektif menjaga agar puasa tetap jalan, mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Iman kepada Allah swt. menjadi faktor tunggal motif seorang muslim berpuasa.

Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa – makan, minum, dan berhubungan badan – menjadi maqashid paling dasar. Pada titik ini, seorang muslim sudah bisa masuk dalam kategori bertakwa, sebab imannya telah membuatnya takut melanggar hal-hal yang membatalkan puasa karena Allah swt. Nabi Muhammad pun menyebut bahwa puasa adalah sebagian dari iman (Ihya Ulumuddin, 1/230-231).

Adapun Hifzh an-Nafs bisa ditinjau dari dua spektrum. Pertama, dari segi fisik, puasa setidaknya membuat fisik menjadi lebih sehat, termasuk mengurangi risiko penuaan dan penyakit berbahaya. Kedua, dari segi psikologis puasa mampu membuat pikiran menjadi tenang, damai, dan bahagia. Juga mengurangi rasa takut dan agresif (Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (kemkes.go.id)).

Namun, perlu diperhatikan bahwa manfaat yang diperoleh dari puasa akan optimal jika muslim mampu menginternalisasikannya tidak hanya di waktu puasa. Nabi Muhammad saw. telah mewanti-wanti umatnya agar puasa tidak hanya dibatasi sebagai aktivitas menahan lapar dan haus semata.

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak memperoleh sesuatu dari puasanya selain dahaga dan berapa banyak orang salat malam tapi tidak memperoleh sesuatu dari salat malamnya selain bergadang (Musnad Ahmad: 9308).

Baca Juga: Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Selain itu, Nabi saw. juga menyatakan bahwa mereka yang tidak mampu meninggalkan ucapan dusta dan perilaku keji, maka Allah tidak butuh puasanya (HR. Bukhari: 1770). Dalam sabdanya yang lain, Nabi saw. memerintahkan orang yang berpuasa agar menjaga lisannya dari kata-kata kotor dan menjaga perbuatannya dari hal yang sia-sia (HR. Muslim: 1941).

Hadis-hadis Nabi saw. yang dijelaskan sebelumnya menjadi alasan penulis bahwa ada maqashid puasa yang lebih esensial dari sekadar menahan lapar dan haus, yaitu bagaimana seorang muslim mendidik karakternya.

Imam Al-Ghazali menyebutkan ada enam hal yang menyempurnakan puasa (Ihya Ulumuddin:1, hlm. 234-236); menghindari memandang hal-hal buruk, menjaga lisan dari perkataan sia-sia, menghindari mendengarkan hal-hal buruk, mencegah anggota tubuh berbuat dosa, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka, dan senantiasa berharap puasanya diterima Allah swt.

Jika memerhatikan poin-poin tadi, menjadi jelas bahwa yang mesti diperhatikan dari puasa adalah tidak sekadar menahan lapar dan haus. Orang yang berpuasa mestinya juga mampu menahan diri dari berbagai hal yang dilarang dan sia-sia. Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa kemampuan menahan nafsu makan dan syahwat yang merupakan godaan terbesar seharusnya membuat seseorang mampu menahan godaan lain yang lebih ringan (Marah Labid, 1/147).

Dari pemaparan di atas, Hifzh an-Nafs dari puasa juga masuk dalam dimensi emosional dan spiritual manusia. Segala pantangan puasa yang dirumuskan para ulama melalui dalil bermuara pada bagaimana manusia dididik untuk memiliki karakter yang terbebas dari belenggu nafsu. Pengendalian nafsu pun memudahkan jiwa menapaki jalan menuju Allah swt.

Wallahu a’lam.