BerandaTafsir TematikTafsir AhkamHukum Mendahulukan Orang Tua Berangkat Haji

Hukum Mendahulukan Orang Tua Berangkat Haji

Hukum haji adalah fardu ain bagi mereka yang mukallaf (baligh, berakal sehat, merdeka) dan mampu secara fisik maupun finansial. Kewajiban haji ini disinyalir lewat firman Allah Swt. dalam Q.S. Ali-Imran [3] 97,

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الۡبَيۡتِ مَنِ اسۡتَطَاعَ اِلَيۡهِ سَبِيۡلًا

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah, yaitu bagi mereka yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.

Kewajiban haji juga ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah saw. bersabda:

اَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحَجُّوا

Wahai manusia! Sungguh Allah telah mewajibkan haji atas kamu sekalian, maka kerjakanlah. (HR Muslim).

Ayat dan hadis diatas merupakan pijakan kewajiban haji bagi umat Islam. Kewajiban haji hanya diperlakukan sekali dalam seumur hidup, jika lebih maka hukumnya adalah sunnah.

Kewajiban haji berlaku untuk umat Islam ketika ia sudah memenuhi beberapa syarat, seperti Islam, baligh, berakal, merdeka dan mampu secara fisik maupun finansial. Jika syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi maka wajib bagi seseorang tersebut untuk sesegera mungkin melaksanakan ibadah haji.

Di Indonesia khususnya, ada kebiasaan seseorang yang sebenarnya dia sudah mampu untuk mendaftar haji, baik secara finansial maupun lainnya, tapi dia lebih mendahulukan keluarga yang lebih tua untuk didaftarkan haji terlebih dahulu. Sebut saja seorang anak mendaftarkan orang tuanya untuk haji terlebih dahulu daripada sang anak sendiri dengan dibiayai oleh sang anak.

Di saat yang sama, kita tahu bahwa mendahulukan orang lain dalam hal ibadah atau kebaikan itu tidak baik (makruh). Lantas bagaimana dengan hukum seorang anak yang mendahulukan orang tuanya untuk berangkat haji tersebut?

Baca Juga: Hukum Menyegerakan Haji saat Sudah Mampu

Hukum Mendahulukan Orang Tua Berangkat Haji

Mendahulukan orang tua berangkat haji menjadi sebuah masalah, karena hal ini dianggap bertentangan dengan dua hal. Pertama, Syaikh Sulaiman Umar bin Jamal, pengarang Hasyiyah Al-Jamal menjelaskan pendapat para Imam madzhab fikih tentang hukum penyegeraan haji bagi orang yang sudah memenuhi syarat. Juga tentang hukum bagi orang yang dengan sengaja menunda menunaikan haji, padahal dia sudah mampu,

وَقَالَ مَالِك وَاَبُوْ حَنِيْفَةَ وَاَحْمَد وَالْمُزَانِيُّ يَجِبُ عَلَى الْفَوْرِ ثُمَّ عِنْدَنَا اِذَا اَخَّرَ فَمَاتَ تَبَيَنًا اَنَّهُ مَاتَ عَاصِيًّا عَلَى الْاَصَحِّ لِتَفْرِيْطِهِ

Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Imam Muzani berkata “jika haji wajib dilakukan segera”. Kemudia menurut pendapat Iamam Syafii jika seseorang menunda menunaikan ibadah haji pendapat ashah ia meninggal dalam keadaan maksiat karena keteledoranya. (Syaikh Sulaiman bin Umar Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, juz 2, hal. 373).

Pernyataan di atas memberi pengertian bahwa, ketika seorang muslim telah memiliki kemampuan untuk berhaji maka dia wajib melaksanakan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, sebab apabila seseorang sudah mampu lalu dia menunda hajinya sampai dia meninggal maka orang tersebut meninggal dalam keadaan maksiat. Anak yang mendahulukan orang tuanya untuk berangkat haji apakah termasuk dalam kategori menunda dan berlaku status maksiat kepadanya?

Kedua, Anak yang mendahulukan orang tua untuk berangkat haji berseberangan dengan kidah fikih berikut,

اَلْاِيْثَارُ بِالْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ

Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah itu hukumnya makruh (al-Asybah wa An-Nadhair hal. 180)

Berdasarkan kaidah ini, hukum mendahulukan ibadah untuk orang lain dalam hal ini siapa saja termasuk anak yang mendahulukan orang tuanya untuk berangkat haji adalah makruh.

Namun demikian, hukum Islam itu fleksibel, seseorang bisa mendahulukan ibadah haji untuk orang tuanya dengan syarat ada keyakinan bahwa ia masih mampu dan berniat menunaikan haji ditahun-tahun berikutnya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj, Juz 4, hal. 5,

وَهُمَا عَلَى التَّرَاخِيْ بِشَرْطِ الْعَزْمِ عَلَى الْفِعْلِ بَعْدُ  لَا َيَجُوْزُ تَاءْخِيْرُ الْمُوَسَّعُ اِلَّا اِنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَمَكّنُهُ مِنْهُ

Artinya: Haji dan Umroh kewajibanya melonggar (tidak harus dilaksanakan seketika) dengan syarat ada niat untuk menunaikannya di waktu mendatang. Begitu pula tidak boleh mengakhirkan sesuatu yang longgar (pelaksanaanya) kecuali ada dugaan kuat bahwa ia masih mampu untuk melakukanya.

Baca Juga: Pro dan Kontra Pengguguran Kewajiban Haji bagi Orang yang Sakit

Kesimpulan

Jika seseorang sudah mampu menunaikan ibadah haji, sebaiknya sesegera mungkin untuk menjalankanya. Dianjurkan mendahulukan dirinya sendiri dari pada orang lain baik itu orang tuanya atau yang lainnya, sebab ibadah haji hukumya fardu ain yang kewajibanya individual. Juga dalam kaidah fikih dijelaskan makruh hukumnya mendahulukan ibadah atas orang lain.

Ditakutkan jika orang menunda-nunda ibadah haji sampai waktu kematiannya, dia meninggal dalam keadaan maksiat, sebab keteledoranya, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafii. Maka yang berhak menunaikan ibadah haji adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan haji.

Meskipun demikian, seseorang boleh mendahulukan orang tuanya dalam hal ibadah haji, tapi dengan syarat ada keyakinan pada tahun-tahun berikutnya dia bisa menunaikan ibadah haji, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami. Wallah a’lam.

Abdullah Rafi
Abdullah Rafi
Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...