BerandaTafsir TematikTafsir AhkamHukum Menyantap Jamuan Nonmuslim

Hukum Menyantap Jamuan Nonmuslim

Bagi seorang muslim, hidup di tengah masyarakat majemuk terkadang menimbulkan sejumlah dilema, antara lain saat diundang pesta oleh nonmuslim. Jika tidak datang, bisa-bisa dianggap tidak peduli dan eksklusif. Sementara, jika pun datang, bisa jadi was-was dengan hukum kebolehan menyantap hidangan mereka.

Pada dasarnya, Islam menyerukan toleransi terhadap nonmuslim. Syekh Ramadan al-Buthi dalam Fiqh Sirah menceritakan bahwa saat di Madinah, Nabi saw. berinteraksi baik dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Saban ada waktu luang, beliau bersilaturahmi pada tetangganya yang nonmuslim dan menjenguknya ketika sakit. Lalu, bagaimana sejatinya Islam mengatur ketentuan memakan jamuan nonmuslim?

Dalil nas dan ragam pendapat ulama

Dalil yang menjelaskan tentang status halal pada makanan jamuan nonmuslim terdapat pada surah Almaidah ayat 5. Ayat tersebut berada dalam formasi ayat yang turun pasca peristiwa Fathu Makkah.

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.”

Ayat ini menegaskan kehalalan mengonsumsi makanan ahlulkitab. Diksi al-thayyibat berarti makanan yang mengandung kebaikan. Menurut jumhur ulama, makanan yang dimaksud dalam ayat ini terbatas pada hewan sembelihan. Pendapat ini berdiri atas argumen bahwa kehalalan hewan bergantung pada syarat dan rukun penyembelihan. Sedangkan, makanan yang halal tanpa proses penyembelihan tidak termasuk di dalamnya, seperti buah-buahan, roti, dan lain sebagainya. Sehingga, dapat dipastikan boleh mengonsumsi makanan tersebut dari nonmuslim. Sebaliknya, dilarang mengonsumsi hewan jamuan nonmuslim yang tidak disembelih secara islami. (Ali al-Shabuni, Rawa’il al-Bayan, jilid 1, 535 & al-Sharbini, Siraj al-Munir, jilid 1, 356)

Baca juga: Bagaimana Sikap Kita terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

Ada pula yang mengarahkan makanan tersebut pada makanan ahlulkitab yang dalam proses pengolahannya berkaitan dengan aturan syariat, seperti penyembelihan. Sedangkan, makanan yang tidak melalui proses pengolahan, atau melalui proses pengolahan tetapi tidak berhubungan dengan syariat, bukan termasuk khitab ayat. Maka, tentu tidak ada keharaman saat muslim mengonsumsi semisal roti, buah-buahan, atau biji-bijian dari jamuan nonmuslim. Pendapat ini bersumber dari Ibnu ‘Athiyyah.

الطعام الذي لا محاولة فيه كالبر والفاكهة ونحوهما لا يغيره تملك أحد له والطعام الذي تقع فيه محاولة صنعته لا تعلق للدين بها كخبز الدقيق وعصر الزيت .والتذكية هي المحتاجة الى الدين والنية فلما كان القياس أن لا تجوز ذبائحهم رخص الله فيها على هذه الأمة وأخرجها عن القياس

“Makanan yang tidak butuh pengolahan (dimasak/disembelih) seperti biji-bijian, buah-buahan, dan semisalnya, tidak berubah kehalalannya. Begitu pula makanan yang diolah tetapi tidak berhubungan dengan ketentuan syariat, seperti roti dan perasan minyak. Sementara itu, diperbolehkannya mengonsumsi sembelihan ahlulkitab merupakan sebentuk rukhshah.”

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa sejatinya, memakan sembelihan nonmuslim adalah haram menurut kias. Hal ini karena, hewan sembelihan ahlulkitab memiliki kesamaan dengan tata cara beragama ahlulkitab dalam hal memiliki perbedaan dengan hewan sembelihan dan tata cara beribadah muslim. Akan tetapi, karena banyak muslim yang hidup berdampingan dengan ahlulkitab, Islam memberi kompensasi berupa kehalalan memakan sembelihan ahlulkitab. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir jilid 6, 119)

Baca juga: Etika Bergaul dengan Nonmuslim dalam Pandangan Alquran

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berlaku umum. Artinya, makanan yang ‘diduga kuat’ diproses sebagaimana ketentuan syariat–disembelih ataupun dimasak-maka halal dikonsumsi. Begitupun sebaliknya, jika diduga kuat tidak diproses secara syar’i maka dilarang untuk dikonsumsi. Pendapat ini direkomendasikan oleh Ibnu ‘Asyur atas pertimbangan banyaknya muslim yang hidup di tengah masyarakat plural. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir jilid 6, 120)

Pendapat terakhir ini bisa menjadi alternatif saat berada di daerah mayoritas muslim. Sedangkan, di daerah muslim minoritas sebisa mungkin untuk memastikan kehalalan makanan yang hendak dikonsumsi. Hal ini dapat dikategorikan sebagai sad al-zari’ah (pemblokiran sarana), karena daerah muslim minoritas beredar banyak makanan nonhalal.

Makna ahlulkitab

Terdapat perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ahlulkitab. Menurut jumhur mufasir, ahlulkitab pada ayat tersebut mencakup Yahudi dan Nasrani. Bahkan, Imam Syafi’i dan jumhur Syafi’iyyah, seperti Khatib al-Sharbini dan al-Shabuni hanya memasukkan kaum Yahudi dan Nasrani yang hidup sebelum Nabi saw. diutus. Sementara, yang hidup setelah diutusnya Nabi saw. tidak termasuk ahlulkitab jika diketahui bahwa leluhurnya memeluk agama yang sama. Ibnu Asyur dan ulama Malikiyyah juga berpendapat demikian. Dengan pendapat ini, sembelihan nonmuslim saat ini tidak boleh dimakan, sekalipun dia penganut agama Kristen atau seorang Yahudi ketika diketahui bahwa leluhur mereka menganut agama tersebut.

Adapun penyembah berhala dan api tidak termasuk ahlulkitab berdasarkan hadis Nabi dan ijmak. (Siraj al-Munir, Rawa’i al-Bayan, al-Tahrir wa al-Tanwir)

Pendapat tandingan mengenai kategori ahlulkitab terdapat pada mazhab Hanbali. Menurut pendapat ini, ahlulkitab ialah penganut agama Yahudi dan Nasrani secara umum, tanpa mensyaratkan data sejarah yang mengonfirmasi bahwa nenek moyang mereka juga menganut agama tersebut. (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyyah, jilid 21, 185)

Baca juga: Jangan Menghina dan Pilih Kasih Terhadap Non Muslim! Ini dalil Larangannya

Pendapat ini didukung oleh Syekh Ali Jum’ah, ulama kenamaan al-Azhar. Dalam al-Musawah al-Insaniyyah, beliau lebih memilih istilah ghair muslim (nonmuslim) ketimbang ahlulkitab dalam bab ijabah da’wah ghair muslim ila al-tha’am (memenuhi undangan nonmuslim untuk makan). (Ali Jum’ah, al-Musawah al-Insaniyyah fi al-Islam, 169-170)

Pada konteks Indonesia yang plural, mazhab Imam Hanbali dan pendapat Ali Jum’ah akan lebih luwes untuk dipraktikkan dalam kasus ini. Nonmuslim yang menganut Kristen atau Yahudi dapat disebut ahlulkitab dan jamuan atau makanan dari mereka dapat dimakan selama diproses sesuai kriteria syariat Islam. Meski demikian, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, penting untuk mempertimbangkan apakah penduduk suatu daerah itu mayoritas muslim atau tidak.

Menjadi negara dengan mayoritas pemeluknya muslim, tidak lantas menutup kemungkinan bagi seorang muslim di Indonesia untuk berelasi dengan nonmuslim. Terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang muslim menjadi penduduk minoritas. Karena itu, pedoman tentang makanan halal dan hubungannya pada aspek sosial perlu diperhatikan. Tidak hanya dalam rangka berhati-hati, melainkan juga agar tetap dapat berlaku saleh kepada nonmuslim. Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU