BerandaTafsir Al QuranSisipan Ideologi Keagamaan dan Politik Kekuasaan dalam ‘Al-Qur’an dan Tafsirnya’

Sisipan Ideologi Keagamaan dan Politik Kekuasaan dalam ‘Al-Qur’an dan Tafsirnya’

Al-Qur’an dan Tafsirnya merupakan kitab tafsir resmi pertama negara Indonesia yang dihasilkan dari kerja kolaboratif antara ulama dan Kementerian Agama. Tafsir ini ditulis dalam bahasa Indonesia, tafsir ini tidak hanya sebagai upaya kolaboratif antar ulama, tetapi juga sebagai bagian integral dari narasi keagamaan resmi negara (Mursyid and Nahdiyati, 2024: 456). Kerja kolaboratif ini merepresentasikan adanya sisipan ideologi keagamaan dan politik kekuasaan pemerintah sekaligus sebagai medium untuk mengintegrasikan tafsir Al-Qur’an ke dalam lanskap sosial-politik.

Baca Juga: Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

Sejarah penyusunan Al-Qur’an dan Tafsirnya

Al-Qur’an dan Tafsirnya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1975. Penyusunan tafsir ini diawali oleh adanya penunjukkan anggota komite yang terdiri 17 orang untuk menjadi tim penyusun tafsir. Penunjukkan ini didasarkan pada surat keputusan presiden tahun 1973. Dengan jabatan ketua diduduki oleh Bustami A. Gani, professor di IAIN Jakarta dan wakilnya T.M Hasbi Ash Shiddieqy, seorang teolog Islam dan ahli hukum dari Aceh yang telah menulis dua tafsir Al-Qur’an.

Dalam proses menyiapkan edisi kedua, terjadi perubahan dalam susunan anggota komite. Perubahan ini didasarkan pada surat keputusan presiden tahun 1980 dengan menunjuk Prof. Ibrahim Hosen, professor di bidang hukum Islam sebagai ketua yang juga menjabat sebagai ketua Fatwa MUI untuk menggantikan Hasbi Ash Shiddeqy yang meninggal dunia. (Pink, 2010: 24)

Dalam perjalannya, Proses penyusunan tafsir ini sempat terhenti karena anggota komite memprioritaskan penyempurnaan proyek penting lainnya, yaitu penerjemahan Al-Qur’an, akan tetapi, pada tahun 2002, ketika proyek penerjemahan itu selesai anggota komite mengambil langkah untuk melanjutkan proyek Al-Qur’an dan Tafsirnya dengan alasan yaitu karena menganggap bahwa produk terjemahan dari Al-Qur’an tidak mampu menangkap makna Al-Qur’an secara keseluruhan, terutama mengingat banyak kata dalam Al-Qur’an yang belum terwakili dalam bahasa Indonesia. (Fitriansyah, 2023: 34)

Pada tahun 2011, Al-Qur’an dan Tafsirnya diterbitkan ulang oleh Kementerian Agama menggunakan bahasa Indonesia dan terdiri dari 10 jilid. Terbitan ini merupakan edisi penyempurnaan dari terbitan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian keterangan pada cover Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan).

Selain itu, terdapat perubahan dalam konten tafsir. Jilid pertama berisi penjelasan-penjelasan terkait ilmu Al-Qur’an, seperti definisi Al-Qur’an dan Wahyu, kaidah-kaidah penafsiran, sejarah Al-Qur’an, metode dan gaya penafsiran, kategorisasi surah (makki-madani) dan ilmu qira’at (tata cara membaca Al-Qur’an). (Fitriansyah, 2023:34)

Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Sisipan unsur politik dan pengarusutamaan ideologi Sunni dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya

unsur politik dan pengarusutamaan ideologi keagamaan dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya tidak bisa dielakkan kehadirannya. Sebagai tafsir resmi negara, tafsir ini memuat unsur ideologi keagamaan dan politik kekuasaan. Meskipun kedua unsur ini tidak hadir secara eksplisit, namun kehadirannya bisa dilacak dari pola yang tersirat dalam proses penyusunan tafsir.

Pertama,  keterlibatan dalam unsur politik dapat dilihat pada saat Presiden Soeharto mengeluarkan surat keputusan presiden tahun 1973 dan 1980 untuk mengangkat anggota komite penyusunan tafsir. Sikap ini merupakan usaha dari rezim Orde Baru untuk mendefinisikan ulang sikap negara terhadap agama dan berupaya mengintegrasikan Islam ke dalam narasi nasional. (Pink, 2010a: 59)

Pada tahun 1973 dan 1980 terdapat tiga masa krusial dalam penulisan dan penerbitan tafsir. Fase pertama merupakan era konfrontasi yang muncul pada tahun 1960an. Pada fase ini terjadi ketegangan antara pemerintah dan komunitas muslim yang mengakibatkan penafsiran agama cenderung menentang pemerintah karena kebijakan rezim Orde Baru yang tidak memihak pada umat Islam.

Khusus pada tahun 1980, tahun ini merupakan masa transisi dari masa konfrontasi antara ulama dan pemerintah menuju masa repirokal-kritis. Masa ini merupakan fenomena baru yang menunjukkan adanya hubungan baik antara ulama dan pemerintah setelah sebelumnya ulama menjadi oposisi dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara oleh umat Islam.

Pada periode ini juga, fase ketiga mulai berlangsung. Di fase ini pemerintah mulai memberi akomodasi pada hal-hal penting yang berkaitan dengan umat Islam, seperti melanjutkan program penerbitan beberapa teks-teks keagamaan termasuk tafsir Al-Qur’an. (Fitriansyah, 2023:28)

Kedua, Al-Qur’an dan Tafsirnya yang didaku sebagai tafsir resmi memainkan peran penting dalam membentuk dan memelihara ortodoksi agama. Seperti yang telah ditelusuri oleh Yafik yang menemukan bahwa beberapa penafsiran ayat dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya cenderung merujuk pada satu mazhab fikih yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.  

Kecenderungan ini dapat dilihat terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah.  Seperti dalam penafsiran surah al-Maidah ayat 6 terkait taharah (bersuci), terutama pada frasa wamsahu  bi ru’usikum yang merujuk pada mazhab Syafi’i.

Menyapu kepala, cukup menyapu sebagian kecil kepala menurut mazhab Syafiʾi.(RI, 2011:361)

Sedangkan dalam muamalah dapat dilihat dari interpretasi surah an-Nisa ayat 22-23 yang membahas tentan wanita yang dilarang untuk dinikahi.

Perempuan lain yang juga haram dinikahi terdiri dari: 1. Dari segi nasab (keturunan), 2. Dari segi penyusuan, 3. Dari segi perkawinan. (RI, 2011: 137-139)

Pada penafsiran mengenai wanita yang dilarang untuk dinikahi, Al-Qur’an dan Tafsirnya memberi penjelasan terkait makna saudara kandung yang merujuk pada pendapat mazhab Syafi’i yang mensyaratkan minimal lima susuan. (Mursyid and Nahdiyati, 2024:448)

Baca Juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik

Penutup

Al-Qur’an dan Tafsirnya merupakan kitab tafsir resmi negara yang berhasil ditulis lengkap 30 juz. kitab ini tidak hanya menjelaskan makna dari ayat suci, melainkan di dalamnya terdapat ideologi keagamaan dan politik kekuasaan pemerintah yang disisipkan secara implisit. Dengan pola penulisan yang mencerminkan madhab mayoritas yang dianut, tafsir resmi ini tidak hanya memandu praktik ibadah, tetapi juga memperkuat integritas doktrinal yang sejalan dengan mazhab mayoritas sehingga bertindak sebagai penjaga ortodoksi di wilayah masing-masing. (Mursyid and Nahdiyati, 2024:454). Wallah a’lam

Ade Tsani Syarifah
Ade Tsani Syarifah
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Darussalam Ciamis
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Kontestasi Hermeneutika: Saat Ayat Suci Menjadi Medan Pertarungan Politik

Kontestasi Hermeneutika: Saat Ayat Suci Jadi Medan Pertarungan Politik

0
Kontestasi hermeneutika dalam Islam menghadirkan dinamika penafsiran yang saling bertemu, bertentangan, dan berkelindan antara tradisi Sunni, Syiah, dan Muʿtazilah. Ketiganya tidak hanya merepresentasikan perbedaan...