BerandaTafsir TematikIdul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim

Idul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim

Muharram adalah salah satu diantara 12 bulan yang istimewa. Pasalnya, di bulan ini terjadi peristiwa hijrah Nabi, yang dalam buku History of The Arabs, menurut Philip K. Hitti, hijrah terebut terjadi pada tanggal 24 September 622 M. Selain peristiwa hijrah, ada satu peristiwa yang istimewa di bulan Muharram yakni hari raya anak yatim, ‘idul yatama.

‘Idul Yatama ini diperingati setiap tanggal 10 Muharram. Sebagaimana termaktub dalam kitab Tanbih al-Ghafilin bi-Ahaditsi sayyidi al-Anbbiya wa al-Mursalin, Nabi bersabda:  “….Barangsiapa mengusap kepala anak yatim, pada hari ‘asyura (10 Muharram), maka Allah akan angkat derajat sebanyak rambut anak yatim yang terusap olehnya. (Tanbih al-Ghafilin: 331). Juga dalam kitab Nihayatu al-Zain, Imam Nawawi menyebut ada 12 amalan yang dilakukan oleh ulama’ pada hari ‘asyura, salah satunya mengusap kepala anak yatim. (Nihayatu al-Zain: 191)

Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

Bagaimana memperlakukan anak yatim?

Perayaan ‘idul yatama bisa berbentuk santunan, hadiah, dan lain-lain. Selain sebuah perayaan yang setiap tahun dilaksanakan, ada pentingnya kita melihat posisi anak yatim di dalam Al-Qur’an. Agar supaya kita berhati-hati dalam merawat mereka. Ayat yang akan dieksplor adalah QS. Al-An’am [5]: 152.

وَلَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡيَتِيۡمِ اِلَّا بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ حَتّٰى يَبۡلُغَ اَشُدَّهٗ‌ ۚ وَاَوۡفُوۡا الۡكَيۡلَ وَالۡمِيۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ‌ ۚ لَا نُـكَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا‌ ۚ وَاِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبٰى‌‌ ۚ وَبِعَهۡدِ اللّٰهِ اَوۡفُوۡا‌ ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُوۡنَ

“Janganlah kamu mendekati (menggunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil sekalipun dia kerabat(-mu). Penuhilah pula janji Allah. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengambil pelajaran” (Terjemah Kemenag 2019).

Dari ayat di atas kita dapat memetakan bahwa ayat tersebut mengandung 4 wasiat, pertama, laranganan untuk mendekati (menggunakan) harta anak yatim. Kedua, perintah untuk menyempurnakan takaran/timbangan, ketiga, perintah untuk bersikap adil dalam segala hal dan, keempat, perintah untuk memenuhi janji.

Menurut al-Thabari, wala taqrabu mal al-yatim illa billati hiya ahsan, ditafsirkan apabila kita, atau pun siapa saja yang memelihara anak yatim, dilarang untuk mendekati harta anak yatim tersebut, kecuali dengan cara yang ishlah (mengandung kemaslahatan) atau untuk mengembangkannya sehingga menghasilkan keuntungan bagi anak yatim tersebut. (Jami’ al-Bayan, Vol. 9, hlm. 662)

Dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan, ketika Allah menurunkan QS. Al-An’am [5]: 152 dan QS. An-Nisa [4]: 10, orang-orang yang memiliki anak yatim langsung bergerak memisahkan makanan dan minuman mereka dari makanan anak yatim, kemudian mereka menyisakan sesuatu dan menyimpan untuknya hingga anak yatim tersebut memakannya atau rusak. Karena merasa keberatan dengan hal tersebut, orang-orang melaporkan keluhannya kepada Rasulullah. Lalu Allah menurunkan QS. Al-Baqarah [2]: 220, agar kita semua memperlakukan anak yatim dengan baik (kemanusiaan). (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz 6, hlm. 215)

Baca Juga: Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6

Adapun wa aufu al-kaila wa al-mizan bi al-qisth di tafsirkan oleh al-Thabari dengan janganlah mengurangi takaran jika menakar, dan jangan pula mengurangi timbangan kalau menimbang, akan tetapi berilah hak-hak mereka dengan adil. (Jami’ al-Bayan, Vol. 9, hlm. 665)

Sedangkan menurut Quraish Shihab, penggunaan kata “jangan mendekati” seperti ayat di atas biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa atau nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian, larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu, yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya. (Al-Misbah, Vol. 2, hlm. 735).

Frasa wa aufu al-kaila wa al-mizan bi al-qisth oleh Ibn Asyur, sebagaimana dikutip Shihab, ditafsirkan sebagai isyarat bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna takaran dan timbangan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada upaya tidak mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Sedangkan al-qisth, menurut Shihab, tidak hanya berarti adil tetapi merasa senang kedua belah pihak saat bertransaksi. (Al-Misbah, Vol. 2, hlm. 736).

Wa idza qultum fa’dilu walau kana za qurba, ditafsirkan oleh al-Thabari sebagai perintah untuk berbuat adil dalam menghukum atau mengambil keputusan bagi seseorang. Adapun wa bi ‘ahdilahi aufu, menurut al-Tabari mengadung makna seluruh wasiat, selama wasiat itu tidak melanggar larangan Allah, hendaknya dipenuhi. Penghujung ayat ini berbunyi zalikum washshakum bih la’allakum tadzakkarun. Kata tadzakkarun oleh al-Tabari diartikan mengingat dosa-dosa dan kesalahan yang mereka lakukan karena melanggar larangan-Nya. (Jami’ al-Bayan, Vol. 9, hlm. 666-667)

Baca Juga: Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya

Penafsiran surah Al-An’am ayat 152 hari ini

Ayat di atas akan dieksplor lebih luas. Pertama, wala taqrabu dapat kita artikan selain dari janganlah kamu mendekat, juga dapat diartikan dengan jangalah kamu sewenang-wenang, mengeksploitasi, kolusi, dan menyalah gunakan. Mal bisa berarti harta (uang), mencatut nama, dan jasa. Apakah lagi dalam konteks sekarang, pemeliharaan dan pengasuhan anak yatim tidak selalu dilakukan perseorangan, yakni kerabatnya.

Hari ini, pengelolaan anak yatim sudah terorganisir dalam lembaga atau yayasan (Panti Asuhan) yang mana hidup di bawah pengurus yang bersangkutan. Larangan untuk mendekati harta anak yatim bermakna juga untuk tidak mengeruk kepentingan pribadi dan memperkaya diri. Alhasil, berbuat islah tidak hanya dalam penyaluran (pendistribusian), tetapi juga dalam pencarian dana (donatur).

Hatta yablugha asyuddah dapat diartikan sampai anak yatim mendapat legalitas atas kepemilikan hartanya. Sehingga, kalaupun suatu saat, misal ada orang ketiga untuk mempermasalahkan harta kepemilikannya setelah sang pengasuh wafat, karena sudah berlegalitas maka semua tidak akan dengan mudah untuk dimanipulasi.

Kedua, perintah untuk menyempurnakan takaran/timbangan. Ini bermaksud kepada penekanan agar kita bersikap adil, seimbang, dan proporsional. Tidak mengkorupsi atau apa pun sebutannya, yang dapat merugikan anak yatim. Sehingga keadilan harus ditegakkan semaksimal mungkin termasuk menjadi pengelola panti asuhan adil dan beradab.

Ketiga, perintah untuk berbuat adil dalam segala hal. Sama seperti halnya poin dua, sebagai pengelola hendaknya berlaku adil. Adil terhadap diri sang pengelola, serta kepada yang dikelola. Dan terakhir, keempat, perintah untuk memenuhi janji, baik janji itu kepada Allah atau pun manusia. Janji kepada Allah seperti tidak menyekutukanNya dengan apapun. Dalam konteks sekarang menuhankan pangkat, jabatan, popularitas, dan lain-lain juga masuk kategori tersebut. Sedang janji terhadap manusia, dalam konteks pengelolaan panti asuhan berarti memenuhi apa yang diperintahkan Nabi yakni menggembirakan anak yatim.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim

Ujung ayat ini kemudian ditutup dengan nada perintah nan indah agar kita selalu mengambil pelajaran dalam hal apapun. Wallahu’alam bish-showab.

Abdus Salam
Abdus Salam
Alumni STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta. Penikmat kopi dan kisah nabi-nabi.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...