Idulfitri merupakan salah satu momen perayaan umat Islam setelah melaksanakan puasa satu bulan penuh. Tidak heran, momen tersebut juga disebut hari kemenangan melawan hawa nafsu. Selain itu, Idulfitri juga memiliki dua sisi penting dalam kehidupan umat manusia.
Pertama, pendidikan spiritual (education spiritual), karena di dalamya terdapat perintah dan larangan dari Allah Swt.; kedua, pendidikan sosial, dibuktikan dengan adanya tradisi merajut tali silaturahmi dan tujuan disyariatkannya zakat fitrah.
Dua aspek tersebut menegaskan bahwa ketentuan Islam yang terakumulasi dalam Idulfitri menitikberatkan pada keseimbang dunia dan akhirat, kesalehan individu dan sosial, serta menjaga stabilitas masyarakat.
Baca juga: Menelisik Makna Idulfitri: Makna Ied dan Makna Fitri
Lebih dari itu, momentum Idulfitri ini seharusnya dapat dijadikan media untuk menguatkan ketahanan sosial. Kita meyakini bahwa kebaikan sosial merupakan wujud dari kebaikan individu. Oleh karena itu, untuk membangun ketahanan sosial harus dimulai dari individu yang kuat dan baik.
Secara runut, ketahanan sosial tercipta karena keluarga yang baik dan kuat. Sedangkan lahirnya keluarga yang kuat merupakan buah dari individu yang kuat pula. Lantas, kuat dari apa? Dan apa yang harus diperkuat? Sebab, melihat cangkupan “sosial” yang cukup luas, alangkah baiknya pertanyaan itu dijadikan sebagai batasan dalam tulisan ini.
Idulfitri dalam dimensi sosial
Idulfitri bukan saja seremonial ajaran Islam, tetapi di dalamnya terkandung aspek sosial yang tidak bisa dinafikan. Bahkan, tidak hanya mencakup dimensi sosial secara sempit, tapi juga mencakup ekonomi dan budaya.
Momentum Idulfitri dalam konteks keindonesiaan mengakomodasi budaya pribumi sebagai identitas negara yang lahir dari kemajemukan, baik suku, bahasa, maupun agama. Idulfitri dalam dimensi sosial berarti menguatkan interaksi sesama warga negara, khususnya umat Islam.Sedangkan dalam konteks ekonomi, kewajiban membayar zakat fitrah setidaknya bisa membantu orang yang kurang mampu, terutama dalam masalah makanan pokok.
Apabila kita perhatikan menjelang Idulfitri, masyarakat antusias berbelanja bahan makan, pakaian, dan kebutuhan lainnya itu secara tidak langsung membantu pedagang dan pelaku usaha. Misalnya, omzet pedagang pakaian yang meningkat atau pedagang kaki lima selama liburan lebaran keuntungannya meningkat.
Sementara itu, dalam aspek budaya Idulfitri ini dapat berbaur dengan kebiasaan masyarakat Indonesia sekaligus menjadi tradisi di setiap tahun. Nilai-nilai yang diperkuat dalam dimensi sosial yaitu bagaimana momentum Idulfitri ini memperkuat tali persaudaraan di tengah keberagaman. Misalnya, tradisi-tradisi yang melekat di tengah masyarakat Indonesia adalah mudik lebaran, halalbihalal, dan lain sebagainya.
Budaya tersebut selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam harusnya dilestarikan dan dipupuk supaya dapat menumbuhkan insan yang paripurna.
Momentum Idulfitri sebagai ikhtiar menguatkan ketahanan sosial
Ketahanan sosial sering difahami sebagai upaya masyarakat merespons perubahan sosial. Sementara itu, menurut Afrizal (2019: 632), ketahanan sosial sering dikaitkan dengan kemampuan mengatasi risiko akibat perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang mengelilinginya.
Oleh karena itu, momentum Idulfitri ini dapat dijadikan kesempatan untuk mengatasi berbagai risiko yang diakibatkan oleh perubahan sosial, misalnya adanya batasan interaksi ketika pandemi Covid-19, misalnya dalam sektor ekonomi berupa kehilangan pekerjaan. Sedangkan dalam konteks politik, momentum Idulfitri ini bisa dijadikan ajang memperkuat hubungan politik yang sehat.
Momentum Idulfitri sebagai wujud menguatkan ketahanan sosial dapat direalisisakan dengan memperbanyak silaturahmi. Anjuran ini sebagaimana yang telah termaktub dalam Q.S. Albaqarah [2]: 27.
الَّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مِيْثَاقِهٖۖ وَيَقْطَعُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ
“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan (silaturahmi), dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”
Nashir al-Din al-Baidhawi (w. 685 H) dalam kitabnya, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (1: 65), menyebutkan bahwa “memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan” apabila perkara atau perbuatan itu putus, Allah Swt. tidak rida, termasuk silaturahmi.
Adanya kata “diperintahkan” dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa silaturahmi sangat dianjurkan, terlebih ketika momen Idulfitri. Jika dilihat dari ayat sebelumnya, orang yang suka memutuskan silaturahmi tersebut termasuk orang fasik.
Ketika momen Idulfitri, tradisi silaturahmi memiliki keunikan tersendiri. Adanya budaya sungkeman, berbagi Tunjangan Hari Raya (THR), serta budaya mudik, tidak bisa dipisahkan dari hakikat silaturahmi.
Baca juga: Isyarat Alquran tentang Tanggung Jawab Sosial
Pada dasarnya, semua tradisi itu sebagai ajang untuk membantu kerabat, berbagi, dan saling mendukung sesama yang lemah dalam aspek sosial maupun ekonomi.
Misalnya, menawarkan pekerjaan ke keluarga, memberikan modal usaha, atau hanya dukungan moral. Ini semua merupakan perbuatan sederhana dalam membentuk ketahanan sosial.
Sisi lain dari momentum Idulfitri ini adalah lahirnya sikap altruisme, yaitu sikap yang mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri. Allah Swt. berfirman dalam Q.S al-Hasyr [59]: 9.
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ
“Orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.”
Menurut Ahmad al-Shawi (w. 1241 H) lafaz al-Itsar mempunyai makna mendahulukan yang lain dari pada dirinya sendiri (Hasyiah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, 4: 196). Berdasarkan penafsiran tesebut, mendahulukan hak orang lain lebih diutamakan daripada hak individual. Altruisme (itsar) juga berkaitan erat dengan ketahanan sosial sebagai proses bertahan hidup di tengah perubahan sosial.
Baca juga: Haruskah Zakat Fitrah Dibagikan Secara Merata ke Delapan Golongan?
Sikap altruisme dapat tercipta ketika kita dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mempunyai harta lebih dapat dijadikan media untuk berbagi. Secara sederhana, pembagian zakat fitrah pada hakikatnya untuk membantu sesama yang kurang mampu. Oleh karena itu, momentum Idulfitri diharapkan menjadi perayaan yang dapat memperkuat persaudaraan satu iman, kemanusiaan, dan sebagai satu bangsa. Wallahu a’lam.